HIDUPKATOLIK.com – Penghuni biara ini kebanyakan sudah purnabakti. Meski tak lagi kuat secara fisik, penghuninya masih tetap giat menjalani rutinitas harian, bekerja, berdoa dan berbagi.
Pagi itu Pater Gabriel Goran SVD keluar dari kamarnya. Mengenakan jubah putih, ia terlihat bersemangat melangkahkan kaki menuju kapel di sudut biara. Saat menyusuri lorong biara, ia berhenti sebentar, menyapa burung-burung perkutut kesayangannya. Ia bersiul, dan dibalas dengan kicauan merdu burung-burung itu.
Karena pernah mengalami stroke lima tahun silam, Pater Goran harus berjalan sambil menyeret kaki dan memegang sebatang tongkat sebagai penopang kaki kanannya.
Di kapel, tampak beberapa imam dan bruder Societas Verbi Divini (SVD) sedang berdoa. Tepat pukul 06.15 WITA, mereka memulai perayaan Ekaristi. Begitulah kegiatan harian Pater Goran di Biara Simeon Ledalero, Kecamatan Lela, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT). Di biara itu, Pater Goran tinggal bersama imam dan bruder SVD lain yang sudah purnabakti.
Tetap Produktif
Biara Simeon didirikan pada masa kepemimpinan Pater Yohanes Bele SVD sebagai Provinsial dan diresmikan pada 20 Mei 1995 oleh Wakil Superior Jenderal saat itu, Pater Antonio Pernia SVD. Tujuan pendiriannya, pertama-tama berfungsi sebagai tempat tinggal anggota tarekat SVD (imam dan bruder) yang tidak lagi bekerja atau purna bakti. Di antara mereka ada yang masih bisa mandiri, namun ada juga yang sudah tidak bisa mengurus diri sama sekali. Selain digunakan sebagai tempat perawatan, Biara Simeon juga digunakan sebagai tempat retret pribadi/ kelompok, tempat pertemuan, juga sebagai tempat menginap para tamu sejauh tidak mengganggu komunitas biara.
Sebagai bagian dari Komunitas St Paulus Ledalero yang dipimpin seorang Praeses, Biara Simeon berada di bawah wewenang Pater Rektor dan Dewan Rumah Ledalero. Kini, Biara Simeon dipimpin oleh Br Abraham Telling Tarung SVD yang pernah menjadi perawat. Dalam melaksanakan tugasnya, selain dibantu enam orang karyawan, ia dibantu mantan misionaris SVD di Papua Nugini, yang juga seorang perawat, yaitu Br Lukas Tukan SVD.
Sebagai bagian dari Komunitas Ledalero, status Biara Simeon sama dengan unit-unit lain, dengan beberapa kekhususan. Kekhususan itu, antara lain: kehidupan harian dikelola oleh seorang praeses dan mempunyai aturan harian sendiri. Di samping itu, terdapat perbedaan juga dalam anggaran rumah tangga dan fasilitas yang dipakai.
“Masuk panti jompo Biara Simeon tidak berarti semuanya selesai. Biara Simeon bukan stasi terakhir dari hidup. Bagian terakhirnya ada di samping Biara Simeon, yaitu makam yang dikhususkan untuk para biarawan SVD,” kata Br Abraham kepada HIDUP, Senin, 30/3.
Untuk mengisi hari tuanya, para penghuni biara tetap giat melakukan aktivitas sesuai dengan kemampuan masing-masing. Di antara mereka, ada yang bertugas sebagai pembimbing rohani bagi konfater muda, dan melayani pengakuan dosa. Ada juga yang mengisi kegiatannya dengan menulis, membuat rosario, memelihara burung dan ayam, juga mengurus taman. Sedangkan anggota yang sudah tidak bisa mandiri, mengisi aktivitas hariannya dengan menonton televisi. Biara Simeon didirikan dengan tujuan memberikan pelayanan kepada anggota SVD yang sudah lanjut usia. “Kami ingin, setelah mengabdikan diri pada Gereja, mereka diberi perhatian dan pelayanan khusus,” kata Br Abraham.
Spiritualitas Ketaatan
Anggota Biara Simeon berasal dari berbagai latar belakang. Ada yang pernah menjadi kepala paroki, pembina seminari, Staf Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero, mantan provinsial, dsb. Meskipun demikian, mereka taat pada semua aturan biara. Hal itu tampak dalam sikap mereka kepada Br Abraham dan Br Lukas. Meskipun, kedua bruder ini adalah mantan murid mereka. “Saat disuruh untuk makan, minum obat dan beristirahat, semua patuh. Saya salut dengan konfrater tua. Punya banyak pengalaman sebagai orang besar, tetapi mau taat pada aturan,” kata Br Lukas.
Memang, pada kenyataannya banyak juga konfrater tua yang menolak ketika mendapat surat pindah ke Biara Simeon. Bahkan, ada beberapa anggota yang tidak setuju dengan keputusan tersebut. Akibatnya, ketika tiba di Biara Simeon, ada beberapa anggota yang sakit keras dan stres. Hal itu dialami Pater Yohanes Ambur SVD. “Ketika pertama kali tinggal di Biara Simeon, saya stres. Akibatnya, kesehatan saya terganggu. Berat badan saya pun turun. Hidup jauh dari pelayanan kadang membuat waktu berjalan amat lambat,” ungkapnya. Awalnya Pater Yohanes bingung karena tidak tahu apa yang akan dikerjakan. Untung, keluarganya membekali Pater Yohanes perlengkapan dan manik-manik rosario sehingga ia bisa berkegiatan merangkai Rosario.
Demikian pula Pater Goran. Ia mengungkapkan perasaannya itu dengan membaca puisi berjudul “Keheningan di Batas Malam”. Ia merefleksikan bahwa semuanya terjadi begitu alamiah. “Tak pernah terlintas dalam pikiran saya, bahwa dalam rentang masa hidup, kami akan menjadi orang-orang yang sendiri dan kesepian. Tapi, kami telah lulus banyak ujian. Puluhan tahun melewati biduk panggilan dan melewatkan banyak perjalanan hidup,” ungkapnya.
Menurut Br Abraham, ada beberapa anggota Biara Simeon yang merasa sudah tidak dipedulikan orang. Ketika mereka masih muda, banyak yang mengagumi karya dan pelayanan mereka. Namun ketika sudah tua, mereka sendiri tinggal di panti jompo Biara Simeon.
Tulus Melayani
Saat ini jumlah anggota Biara Simeon, sebelas orang. Di antara mereka ada dua misionaris, yakni Pater Lawrence Hambach SVD dan Pater Otto Alfred Bauer SVD. Semua anggota diharapkan mengikuti kegiatan harian yang diputuskan bersama. Jadwal harian yang dibuat bersifat fakultatif tetapi tidak berarti tak dijalankan. Setiap Kamis pertama mereka mengadakan Salve pada pukul 18.45- 9.15. Mereka juga berdoa Rosario bersama setiap Sabtu, pukul 18.45. Dan, pada amis akhir bulan, mereka sharing Kitab Suci.
Sebagai orang yang sehari-hari menemani penghuni Biara Simeon, Br Abraham menghayati tugas dan tanggung jawab yang dipercayakan. Biarpun tidak mudah, ia merasa tugas ini adalah sebuah perutusan. “Jika tidak ikhlas, semuanya terasa berat,” katanya.
Para konfrater tua, lanjut Br Abraham, banyak yang melewatkan hidup dengan kesendirian sambil menanti orang datang mengunjungi. Walau segalanya terasa indah di Biara Simeon, namun para penghuni merasa bahwa hal itu bukan keinginan mereka. “Yang dulu terbiasa bekerja di paroki, lembaga atau karya karitatif lain, terbiasa menjadi orang super aktif, di sini mereka dipaksa untuk beristirahat,” pungkasnya.
Yustinus Hendro Wuarmanuk