HIDUPKATOLIK.com – Beberapa imam dengan setia menjadi bapa rohani para Warga Binaan (WB) Katolik –khususnya terpidana mati. Gereja ingin menguatkan, mendampingi, dan mempersiapkan mereka. Namun Gereja tak henti menolak hukuman mati.
Ruang Sidang Pengadilan Negeri (PN) Sleman, Yogyakarta, nampak berbeda. Dengan suara tersedu-sedu, terpidana mati kasus narkoba, Mary Jane Fiesta Veloso melantunkan doa. “Bapa kami yang ada di surga, dimuliakanlah nama-Mu. Datanglah kerajaan-Mu. Jadilah kehendak-Mu, di atas bumi seperti di dalam surga … Ampunilah kesalahan kami, seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami …”
Kata demi kata doa Bapa Kami dalam Bahasa Indonesia meluncur dari mulut Mary Jane kala sidang kedua permohonan Peninjauan Kembali (PK) atas kasusnya, Rabu pagi, 4/3. Ia dibimbing oleh Romo Bernhard Kieser SJ.
Romo Kieser adalah bapa pengakuan bagi Mary Jane. Perkenalan Romo Kieser dengan Mary Jane berawal pada 2011. Saat itu, Romo Kieser diminta pihak Pembimbing Masyarakat (Bimas) Katolik Departemen Agama Yogyakarta untuk menjadi bapa pengakuannya.
“Saya datang ke Pusat Rehabilitasi Narkoba Pakem sebagai bapa pengakuan bagi Mary Jane yang tidak bisa berbahasa Indonesia,” ujar imam Jesuit kelahiran Jerman ini saat ditemui HIDUP di Komunitas Kolese St Ignatius (Kolsani), Yog yakarta.
Persiapkan untuk Hidup
Mary Jane ditangkap petugas Bea dan Cukai Bandara Internasional Adisucipto Yogyakarta karena terbukti membawa narkoba jenis heroin saat turun dari pesawat tujuan Kuala Lumpur-Yogyakarta pada 24 April 2010. Kala itu, ia bekerja sebagai tenaga kerja wanita (TKW) Filipina di Malaysia. Di sana, agen tenaga kerja memberinya hadiah sebuah koper dan menugaskan agar dirinya menemui seorang teman di Yogyakarta. Di koper hadiah itulah, petugas di Bandara Internasional Adisucipto menemukan heroin seberat 2,6 kilogram senilai 5,5 miliar rupiah.
Alhasil, Mary Jane divonis hukuman mati oleh PN Sleman tahun 2010. Perempuan berkewarganegaraan Filipina ini merupakan satu di antara sepuluh terpidana mati kasus narkoba yang permohonan grasinya ditolak presiden. Se telah grasinya ditolak presiden, perempuan yang dikaruniai dua anak ini meng ajukan permohonan PK. Lagi-lagi, Mahkamah Agung menolak permohonan PK itu.
Selama Mary Jane berada di Pusat Rehabilitasi Narkoba Pakem dan kemudian dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan Kelas II Wirogunan, Yogyakarta, dua tahun yang lalu, Romo Kieserlah yang mendampinginya. Romo Kieser menegaskan, mendampingi orang yang diadili dan dikenai hukuman mati seperti Mary Jane, bukan untuk mempersiapkannya agar siap mati, melainkan untuk tetap hidup.
Romo Kieser pun mengajak umat untuk mendoakan para terpidana hukuman mati. Ajakan itu disampaikannya melalui para uskup di Keuskupan Agung Semarang, Keuskupan Agung Jakarta, Keuskupan Bandung, dan Keuskupan Purwokerto untuk bersama-sama mendaraskan doa bagi Mary Jane dan para terpidana mati lain, serta untuk negara dan Gereja di Indonesia. “Saya minta agar keuskupan-keuskupan mendoakan, tapi saya tidak tahu konkretnya di keuskupan lain,” kata Romo Kieser.
Romo Kieser berharap, Gereja Katolik bersikap kritis terhadap penetapan hukuman mati. “Manusia tidak berhak mengakhiri hidup orang lain!”kata dosen emeritus Teologi Moral di Fakultas Teologi Wedabhakti/ Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta ini.
Setia Mendampingi
Imam lain yang menjadi pendamping para Warga Binaan (WB), termasuk terpidana mati adalah Romo Yuventius Fusi Nusantoro. Sebulan sekali, ia berpastoral di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Madiun, Jawa Timur. Romo Fusi mendampingi seorang terpidana mati, Raheem. Ia ditangkap di Bandara Juanda, Surabaya tahun 1998 karena kasus narkoba. Nama “Raheem” bukanlah nama asli. Nama itu sudah tercantum di dalam paspor yang diurus dan diberikan oleh seseorang kepadanya saat membawa narkoba. Di dalam paspor itu pun disebutkan, laki-laki yang lahir 26 April 1974 ini berasal dari Cordova, Spanyol. Padahal, ia berasal dari Nigeria.
Romo Fusi mengungkapkan, Raheem telah dibaptis di Kapela Lapas Madiun oleh Romo Franciscus Xaverius Hardi Aswinarno, 14 April 2009. Raheem memilih nama baptis Stefanus, lengkapnya Stefanus Stephen Jamiu Owolabi Abashin. Ia terkesan dengan teladan hidup Sang Proto Martir. St Stefanus, menurutnya, pribadi yang teguh beriman, bahkan rela mati dan mendoakan mereka yang membunuhnya.
Sejak menjadi warga Gereja Katolik, lanjut Romo Fusi, Raheem lebih senang dipanggil Stefanus karena nama itu lebih jelas daripada nama yang disandangnya dulu. Stefanus juga mengaku kepada Romo Fusi bahwa Yesus telah mengampuni dosa-dosanya. Ia percaya, Yesus telah menyelamatkan dirinya dari keterpurukan dan kesesatan hidup. Pengalaman inilah yang membedakan hukum Tuhan dengan hukum manusia. “Dalam hukum Tuhan, ada pengampunan. Sementara hukum manusia tak ada pengampunan dan terus diingat,” papar Pastor Kepala Paroki St Cornelius Madiun ini mengutip pernyataan Stefanus.
Selama 17 tahun, Stefanus mendekam di balik jeruji. Tahun 2007, ia dipindahkan dari Lapas Porong, Sidoarjo ke Lapas Madiun. Kemudian, 4 Maret 2015, pukul 02.00 WIB, ia digelandang menuju Lapas Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.
Meski hampir separuh hidup di habiskan di dalam kesunyian dan lembabnya bilik penjara, serta namanya tercantum dalam daftar eksekusi mati jilid II, Stefanus tetap merawat harapan untuk bisa hidup. “Dasar dari pengharapan itu adalah hidup dan matinya bukan di tangan manusia, melainkan hanya di tangan Allah,” ujar Romo Fusi.
Menurut Romo Fusi, Stefanus berbesar hati dan siap menjemput maut jika hari eksekusi itu tiba. Stefanus memandang eksekusi mati sebagai cara Tuhan memanggil untuk bersatu dan berbahagia bersama-Nya. Tak pelak tiap kali usai memberikan komuni dan minyak pengurapan orang sakit, Romo Fusi bersama Stefanus melantunkan lagu Amazing Grace. “Amazing Grace, how sweet the sound, that saved a wretch like me. I once was lost but now am found, was blind, but now I see. T’was Grace that taught my heart to fear. And Grace, my fears relieved. How precious did that Grace appear. The hour I first believed ….,” demikian syair lagu itu.
Hingga detik ini, Stefanus belum tahu kapan hari eksekusi itu tiba. Detik demi detik yang ia lewati selalu disyukuri sebagai kebaikan Tuhan. Ia pun berpasrah kepada Tuhan. Romo Fusi mengatakan, dalam surat, Stefanus meminta maaf kepada bangsa Indonesia atas kesalahan yang sudah dilakukannya. Selain itu, lanjut imam yang ditahbiskan pada 15 Agustus 2002 ini, jika eksekusi mati dilaksanakan, Stefanus berharap bisa dimakamkan di Madiun dan ingin men donorkan organ tubuhnya bagi yang membutuhkan.
Selama memberikan pelayanan kepada para Warga Binaan (WB) terutama terpidana mati, Romo Fusi mengakui bahwa pelayanan seperti ini tidak mudah, butuh banyak doa dan perjuangan. Romo Fusi pun berharap hukuman mati di Indonesia dihilangkan dan ia juga berharap negara ini harus bebas dari narkoba.
Tolak Hukuman Mati
Pastoral untuk mendampingi WB hingga menjelang dihukum mati juga menjadi fokus Romo Charles Patrick Edward Burrow OMI atau Romo Carolus. Ia mendampingi WB di Lapas Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Ia rajin berkunjung ke Lapas tiap Rabu minggu ketiga. Kadang ia berkunjung sendiri, kadang mengajak sekelompok umat.
Rodrigo Gularte adalah salah satu WB dampingan Romo Carolus di Lapas Pasir Putih Nusakambangan dengan tingkat pengamanan Super Maximum Security (SMS). Nama Rodrigo termasuk daftar eksekusi terpidana mati jilid II. Tahun 2005, ia divonis mati setelah tertangkap menyelundupkan enam kilogram kokain ke Indonesia. Kokain itu di sembunyikan dalam papan selancar.
Romo Carolus cukup lama memantau kondisi kejiwaan Rodrigo. Menurut Romo Paroki St Stephanus Cilacap ini, awal mula mengenal Rodrigo, ia menemukan warga Brazil itu begitu halus perasaannya. Rodrigo memelihara seekor kancil dengan penuh kasih sayang. Kancil itu dititipkan Rodrigo kepada Romo Carolus, agar aman dari gangguan teman-teman WB lain. “Tetapi belakangan, Rodrigo mengalami gangguan mental. Sering terlihat ia berbicara pada tembok penjara. Rodrigo itu sakit jiwa. Mestinya disembuhkan dahulu. Seorang penderita sakit jiwa tidak seharusnya dihukum,” ungkap Romo kelahiran Serville Palace, Dublin, Irlandia, 8 April 1943 ini.
Selain Rodrido, Romo Carolus juga mendampingi terpidana mati lain untuk kasus narkoba, seperti Okwudili Ayotanze atau Dili di Lapas Pasir Putih. Pemuda asal Nigeria itu kini menjadi pelayan rohani yang tekun. Ia menyiapkan berbagai keperluan Misa atau kebaktian, menyiapkan dan memandu nyanyian pujian. Ia juga menghubungi teman-teman WB lain ketika romo atau pendeta datang.
Menurut Romo Carolus, Dili sudah menyesali kesalahannya, yang menyelundup kan narkotika ke Indonesia. Secara Katolik, lanjutnya, Dili berniat untuk bertobat dan sudah bertobat sehingga pantas di kasihani dan diberi kesempatan hidup untuk menebus kesalahannya.
Menyapa dan menguatkan WB, terutama terpidana mati, setia dilakukan Romo Carolus. Menjelang eksekusi terpidana mati kasus narkotika jilid I, Romo Carolus sibuk mengupayakan pendampingan bagi Marco Archer Cardoso Moreira, warga negara Brazil yang beragama Katolik. Ia di eksekusi mati di Nusakambangan.
Pihak Lapas memberitahu agar Romo Carolus datang ke Lapas Besi untuk mendampingi Marco yang akan dieksekusi pada Minggu, 18/1, tiga hari sebelumnya. Hingga saat-saat terakhir, Sabtu, 17/1, surat tugas pendampingan belum juga ia terima. Hingga detik terakhir, surat itu tak kunjung datang. Romo Carolus berusaha menghubungi berbagai pihak yang berkepentingan. Alhasil, mereka tak bisa memberikan keterangan yang memuaskan. Ia pun melancarkan protes keras kala diberitahu bahwa pihak berwenang telah meminta seorang pendeta Kristen untuk mendampingi Marco. Ia sadar betul, Marco butuh pendampingan rohani, termasuk Sakramen Pengakuan Dosa dan Sakramen Perminyakan Suci. Hari berikutnya, ia menyaksikan berita di televisi, Marco telah dieksekusi pada Minggu dini hari, 18/1. Menurutnya, kekeliruan penunjukan pendamping rohani bagi Marco itu menjadi salah satu pemicu sikap keras Pemerintah Brazil atas Indonesia.
Sejak 1995, Romo Carolus menjadi bapa rohani WB dan pendamping rohani pa da saat-saat terakhir WB Katolik akan di eksekusi mati ini. Menurutnya, eksekusi dengan ditembak juga bermasalah. Ia menjadi saksi mata bagaimana mereka yang dieksekusi tidak segera mati. Kesaksian ini ia sampaikan atas permintaan terpidana mati kasus teroris Amrozi dalam sebuah sidang. “Saya menyaksikan dua orang dieksekusi. Delapan menit mereka tidak mati,” ungkapnya. Dengan tegas, ia menolak hukuman mati, sesuai prinsip Gereja Katolik.
Maria Pertiwi/Yanuari Marwanto
Laporan: H. Bambang S. (Yogyakarta)/Sutriyono (Purwokerto)