HIDUPKATOLIK.COM – Menurut pahlawan nasional Uskup Albertus Soegijapranoto, setiap orang Katolik mestilah utuh sebagai orang Indonesia dan Katolik. Dari sinilah tersohor slogan yang telah menjadi klasik “100 Persen Indonesia, 100 Persen Katolik”.
Memasuki bulan November ini, sangat relevan merenungkan kembali makna kepahlawanan. Pada 1 November, berdasarkan kalender liturgi, Gereja Katolik memeringati hari raya semua orang kudus, baik mereka yang telah dikanonisasikan atau diakui Gereja sebagai Santo – Santa, maupun para orang kudus lainnya yang tidak atau belum dikenal.
Seseorang digelari kudus (Santo atau Santa) minimal karena unggul dalam nilai-nilai hidup rohani. Lalu pada 2 November diadakan peringatan arwah semua orang beriman.
Dalam konteks hidup berbangsa, pada 10 November kita memeringati sebagai Hari Pahlawan Nasional, untuk mengenang kegagahan Bung Tomo dan kawan-kawan. Mereka memertaruhkan jiwa dan raga demi Indonesia yang berdaulat.
Hari-hari penting tersebut sama-sama bermakna jiwa kepahlawanan. Yang satu pahlawan iman dan yang lain pahlawan bangsa. Di sini kita diajak merenungkan hal yang paling esensial, yakni kebermaknaan hidup. Bahwa hidup harus membawa makna, minimal bagi setiap orang di sekitar kita. Ketika kehadiran kita memberi makna, di situ kita telah juga menjadi pahlawan.
Secara etimologis, kata pahlawan berasal dari bahasa Sanskerta, yakni kata phala-wan yang berarti orang yang dari dirinya menghasilkan buah (phala) yang berkualitas bagi bangsa, negara, dan agama. Pahlawan berarti juga orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran. Seorang pahlawan disebut juga pejuang yang gagah berani. Lantas, sudakah kita menjadi “pahlawan” dalam hal yang sekecil-kecilnya?
Menjadi pahlawan adalah menghasikan buah. Buah semacam apa yang telah kita hasilkan? Buah itu muncul dari hal-hal yang kita lakukan melalui keterampilan—mestinya secara professional. Hanyalah, mengharapkan buah yang baik dari setiap orang yang dilekati predikat “professional” acap kali menjadi sesuatu yang berlebihan. Alasannya, karena yang bersangkutan tidak sungguh professional secara penuh. Barangkali secara ilmu dia kompeten—dan mestinya dia professional. Tapi dari sisi yang lain, dia tidak cukup kuat memertahankan profesionalitasnya sehingga jatuh dan melalukan hal-hal sebagai pengkhianatan atas diri dan profesinya.
Para pelaku korupsi, bukanlah orang-orang yang tidak pandai, tapi karena tidak cukup tangguh di sisi mental dan moral, lalu mereka menggunakan kepandaian—yang mestinya membuat mereka professional—untuk hal-hal yang hanya menguntungkan dan memenuhi nafsu sendiri. Kepandaian yang mereka miliki, mereka pakai untuk bersiasat menyembunyikan kuku agar tidak terendus.
Buah apa yang dihasilkan oleh orang semacam ini? Hanya penderitaan dalam aneka wajah bagi banyak orang lain. Berapa banyak orang yang kehilangan harapan dan masa depan oleh karena perilaku korup? Dana yang bermilyar bahkan bertrilyun—sejatinya telah dipercayakan pengelolaannya kepada orang yang professional—sayangnya yang professional dalam ilmu ini, lemah mentalnya. Rasa kepeduliannya pada hidup dan nasib orang lain lemah.
Di sililah diperlukan revolusi dalam mental dan moral. Mestinya, yang pertama-tama dipikirkan ketika akan menduduki dan saat benar-benar menduduki sebuah jabatan, “Apa yang saya bisa berikan kepada orang lain agar mereka sejahtera? Bagaimana memberikan?” Bukannya cepat-cepat bersiasat untuk mengambil atau mencuri.
Adalah sangat baik memiliki pengetahuan yang mumpuni tentang ajaran iman yang mengatur ikhwal pelayanan publik. Sayangnya, pengetahuan tersebut juga dipakai untuk “memperlancar” aksi maling. Ayat-ayat Kitab Suci atau ajaran iman acapkali “diplintir secara “cerdas” sedemikian rupa untuk mengelabui dan membuat pembenaran diri.
Saudaraku, marilah kembali kepada hati nurani. Selami dan dengarkan dia, lalu perjumpakan dengan realitas yang ada. Berimajinasilah sedikit tentang hidup dan penderitaan orang lain jika hak mereka sudah diambil secara rakus dan tanpa ampun.
Hidup manusia harus bermakna, bukan? Hidup ini benar-benar tidak hanya satu kali lalu selesai. Sesudah kehidupan di dunia ini, masih ada kehidupan lain yang membawa kita memasuki salah satu dari dua pintu, yakni pintu surga atau neraka. Mau ke surga, bukan? Berubalah, di sini dan kini!
Penulis adalah Ketua Paguyuban Wartawan Katolik Indonesia (PWKI)
dan warga Gereja Santa Clara