web page hit counter
Minggu, 22 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Peran Maria Dalam Sejarah Gereja

4.1/5 - (9 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Dalam tradisi dan refleksi Gereja, terdapat empat dogma yang mencoba merumuskan posisi dan peran Maria dalam rencana keselamatan. Kita memandang sosok Maria sebagai cermin bagi penghayatan iman kita.

Di atas bukit yang bernama tengkorak (Golgota) itu, dengan menahan derita dari bilur-bilurnya, Yesus memandang Maria dan mengatakan: “Ibu, inilah anakmu! Kemudian kepada murid yang dikasihinya, “Inilah ibumu.” Dan sejak saat itu murid itu menerima dia di dalam rumahnya (Yoh 19:26-27).

“Pernyataan Yesus itu menyiratkan pesan yang begitu jelas bahwa Maria, ibu Yesus, sudah mendapat tempat yang istimewa sejak awal, sejak di bawah kaki salib itu,” ujar alumnus Teologi Dogmatik Universitas Kepausan Urbaniana Roma, Italia, Romo Yosef Riki Maulana Baruwarsa.

Selasa dua pekan lalu, saat ditemui di ruang kerjanya di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta, Romo Riki berkenan berbagi pengetahuan mengapa kita perlu menghormati Maria ibu Yesus. Atau, mengapa Maria mendapat tempat yang begitu istimewa dalam perjalanan sejarah Gereja.

Menurutnya, dogma tidak lain dan tidak bukan adalah upaya resmi Gereja untuk melestarikan apa yang sudah dihidupi dan dihayati oleh Gereja. Dogma adalah suatu rumusan atas iman yang sudah dihidupi oleh Gereja. Dogma bukan penemuan Gereja akan sesuatu hal yang baru tetapi rumusan dari penghayatan atau keyakinan Gereja yang sudah ada sebelumnya.

Sampai hari ini, ada empat dogma yang dipegang Gereja sebagai ajaran resmi mengenai siapakah Maria di mata Gereja dan seperti apa kedudukannya dalam Gereja. Keempat dogma itu adalah Konsili Efesus (431), Sinode Lateran (649), dogma tentang Maria Dikandung Tanpa Dosa (Asal) melalui Konstitutsi Apostolik, Ineffabilis Deus, 8 Desember 1854, dan Maria Diangkat Ke Surga melalui ensiklik Munificentissimus Deus, 1 November 1950.

Bunda Allah dan Perawan

Dogma pertama berbicara tentang Maria sebagai Bunda Allah, Theotókos. Dogma ini dilahirkan oleh Konsili Efesus (431), pada masa kepausan St Celestinus I (422-432). Konsili Efesus digelar sebagai tanggapan terhadap perdebatan teologis yang sudah berkembang sebelumnya. Perdebatan itu seputar kesatuan kodrat Yesus sebagai Allah dan manusia.

Pertanyaan yang menjadi dasar perdebatan ini adalah apakah Maria yang melahirkan Yesus Putra Allah itu disebut Bunda Kristus atau Bunda Allah. Seorang Rahib Kristiani bernama Nestorius (381- 451) berpandangan bahwa Yesus Kristus hanya penjelmaan kecil dari Allah yang maha besar. Karena kerendah-hatian Allah ia mau menjadi kecil dengan mengambil rupa seperti manusia yaitu dalam diri Yesus Kristus. Kalau Kristus hanya jelmaan kecil dari Allah yang maha besar, dan Maria melahirkan yang kecil itu, maka Maria hanya disebut sebagai Cristotókos, Bunda Kristus, bukan Bunda Allah.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Romo Riki menjelaskan, dalam konsili, pandangan Nestorius ini disanggah oleh teolog Cirillus dari Alexandria. Teolog ini mengecam pandangan Nestorius dengan mengatakan bahwa kalau Maria dipilih Allah untuk melahirkan Yesus Kristus, dan kita percaya bahwa dalam diri Yesus bersatu dua kodrat yang tak terpisahkan yaitu kodrat ke-Allah-an dan kodrat kemanusiaan, mengapa kita masih ragu untuk mengakui bahwa Maria adalah Theotókos, ibu yang melahirkan Kristus. Pandangan Cirillus inilah yang kemudian diterima oleh para bapak konsili, dan di kemudian hari diyakni bahwa inilah dogma pertama tentang Maria, sekaligus menjadi dasar munculnya tiga dogma Maria selanjutnya.

Dogma pertama itu kemudian dikonfirmasi dalam Konsili Kalsedon (451) pada masa kepausan St Leo Agung (440-461). Tak heran jika pada abad V sudah muncul hari pesta St Maria, seperti: Kelahiran Maria tiap 8 September dan Kabar Sukacita pada 25 Maret.

Perdebatan seputar Maria rupanya tidak berhenti di situ. Refleksi keterkaitan antara kelahiran Yesus dan kesediaan Maria untuk ikut ambil bagian dalam sejarah keselamatan terus berkembang. Dalam Sinode Lateran (649), kata Romo Riki, dibahas pandangan mengenai keperawanan Maria. Lagi-lagi perlu diingat bahwa sebelum sinode ini berlangsung, di kalangan umat Kristiani sudah berkembang pandangan bahwa Maria adalah perawan abadi. Artinya, Maria tetap perawan ‘sebelum, saat, dan setelah’ melahirkan Yesus (ante partum, in partu, post partum).

“Pada masa itu, ada dua pemahaman mengenai keperawanan Maria. Ada sebagian bapak Gereja dan teolog memandang keperawanan Maria dari sisi fisiologis. Sementara sebagian memandangnya sebagai keperawanan spiritual atau rohani,” urai pengajar mata kuliah kristologi dan trinitas, Prodi Ilmu Teologi, STF Driyarkara ini.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Dari pilihan kata yang dipakai dalam Sinode Lateran, lanjutnya, kita bisa menduga bahwa areal pembahasan dalam sinode ini adalah seputar keperawanan fisik Maria. Tentu saja, hingga hari ini diskusi seputar hal ini tidak pernah akan usai.

Tetapi Romo Riki mengajak kita untuk mengarahkan lajur pikir pada pendapat St Agustinus (354-430). Ia mengatakan bahwa campur tangan Allah dalam diri manusia, tidak pernah menghancurkan kemanusiaan kita. Artinya, ketika Maria dipilih oleh Allah untuk menjadi ibu yang melahirkan Putra Allah, kemanusiaan Maria tidak ada yang dirusak oleh Allah maupun PutraNya. Termasuk, dalam konteks pembicaraan kita mengenai keperawanan.

Pertimbangan lain, lanjut Romo Riki, jika proses Maria mengandung Yesus tidak datang dari pertemuan antara ovum dan sperma, dan kemudian kita menyebutnya mukjizat, mengapa kita tidak meyakini juga bahwa sebelum, saat, dan setelah melahirkan Yesus, Maria tetap perawan? Dan kita menerima ketetap-perawanan Maria sebagai mukjizat?

Perihal segala perdebatan mengenai status keibuan dan keperawanan Maria, Romo Riki menegaskan bahwa kunci hermeneutik tentang Maria adalah bahwa karena Yesus Putranya, Maria mendapat tempat yang sangat istimewa dalam Gereja. “Inilah yang harus kita pegang. Segala diskusi dan refleksi mengenai Maria harus selalu dibaca dari konteks keterkaitannya dengan Yesus dan Bapa,” kata Romo Riki.

Dua Dogma
Selain dua dogma di atas, masih ada dua dogma lain yang lahir kemudian. Dogma pertama berbicara mengenai Maria Dikandung Tanpa Dosa (Asali), immaculata’. Romo Riki menjelaskan, dalam tradisi kristiani awal berkembang penghayatan bahwa Maria yang dipilih Allah untuk melahirkan Yesus disucikan sejak awal kelahirannya.

Pandangan mengenai kesucian Maria pertama kali dinyatakan ke publik oleh St Agustinus. Uskup Hippo ini mengatakan bahwa demi kehormatan Allah (proper honorem Domini), segala macam dosa harus disingkirkan dari Maria sejak awal sampai akhir. Memang beberapa teolog lain seperti Origenes, Basilius Agung, dan Cirillus dari Alexandria tidak mudah menerima padangan ini.

Berangkat dari perdebatan itu, Gereja akhirnya mengambil sikap yang dinyatakan dalam Konsili Trente (1545-1562) bahwa Maria tidak diikutsertakan dalam pembicaraan mengenai dosa asal karena previlese yang diterima dari Allah sendiri. Pandangan inilah yang kemudian menjadi dasar bagi Paus Pius IX untuk mempromulgasikan ensikliknya, Ineffabilis Deus (1854) yang menegaskan bahwa Maria Dikandung Tanpa Dosa.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Nah, ada kisah unik jelang pengumuman dogma Maria Dikandung Tanpa Dosa (Asali) ini. Romo Riki bercerita, konon, malam sebelum dogma ini dipromulgasi kan para biarawan dominikan berdoa Rosario sepanjang malam agar Tuhan cepat-cepat memanggil Paus Pius IX sebelum fajar. Sebab, menurut para Dominikan, dogma yang akan diumumkan itu akan menyesatkan banyak orang. “Tapi ternyata sampai pagi hari, Paus Pius IX masih sehat walafiat dan jadilah dogma itu tetap diumumkan,” kata Romo Riki membeberkan sambil tertawa.

Hampir seabad kemudian, Paus Pius XII mengumumkan lagi Konstitusi Apostolik Munificentissimus Deus (1950) yang menyatakan bahwa setelah kematiannya, Maria diangkat ke surga dengan jiwa dan raganya. “Lagi-lagi, berbicara tentang Maria kita perlu mengacu pada pemahaman bahwa segala previlese yang diterima Maria adalah karena Bapa dan PutraNya, Yesus Kristus,” tegas Romo Riki.

Meneladan Maria
Menurut Romo Riki, refleksi mengenai kedudukan dan figur Maria sejak awal Gereja ini memberi kita pemahaman bahwa penghormatan kepada Maria sudah ada sejak awal ziarah Gereja. Jika sekarang devosi kepada Maria menjadi marak di kalangan umat Katolik, maka kita bisa menerimanya karena penghormatan kepada Maria telah lebih dulu menyejarah sejak semula.

Bersamaan dengan itu, sari yang bisa kita petik dari dogma dan refleksi Gereja tentang Maria adalah bahwa sosok Maria mencerminkan gambar ideal seorang murid Kristus. Dalam Konsili Vatikan II dikatakan “… ia menerima salam sebagai anggota Gereja yang serba unggul dan sangat istimewa, pun sebagai pola teladan yang mengagumkan dalam iman dan cinta kasih”(Lumen Gentium 53).

Maka tidak heran juga kalau dalam tradisi Serikat Yesus berkembang penghayatan bahwa sebetulnya penampakan pertama Yesus setelah Ia bangkit bukan kepada Maria Magdalena tetapi kepada Maria, ibunya. Karena Maria bukan hanya sebatas ibu fisik, tetapi Maria adalah murid pertama Yesus, ketika ia menyetujui kabar dari Malaikat Gabriel untuk mengandung Putra Allah.

Stefanus P. Elu

ARTIKEL SEBELUMNYA
ARTIKEL SELANJUTNYA

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles