HIDUPKATOLIK.com – Ia keluar masuk kampung untuk merawat orang sakit dan mendampingi anak-anak. Umat di Kenya mengenalnya melalui sepatu bot yang ia kenakan. Akhir Mei ini, ia akan menjadi misionaris di Kenya yang dibeatifikasi pertama kali.
Suster Irene Stefani MC dikenal melalui sepatu bot yang ia pakai. Bot itu tak jauh berbeda dengan alas kaki lain. Bagian upper dari sepatu berwarna coklat tua itu panjang hingga mengurung mata kaki sang pemakai. Talinya berwarna hitam sedikit memudar. Kondisi yang sama dialami juga pada throat bot itu. Warna bagian tersebut coklat terang, terkesan mengelupas, bak ular yang sedang berganti kulit.
Sepatu bot Sr Irene terkesan biasa-biasa saja atau justru butut karena tongue sepatu sebelah kanan hilang. Namun, bot itu mematri kesan dan kenangan mendalam bagi perjalanan misi, serta pengalaman iman umat di Paroki Bunda Penyelenggara Ilahi Gikondi, Keuskupan Agung Nyeri, Kenya. Umat Katolik di sana menyebut sepatu milik biarawati dari Tarekat Misionaris Consolata (Institutum Missionum a Consolata, MC) sebagai “bot of glory”.
Bahkan beberapa orang melihat, sepatu itu mirip milik para serdadu, kerap menemani dan melindungi kaki sang empunya saat pelayanan. Banyak nyawa manusia dari beragam latar belakang agama diselamatkan berkat sentuhan kasih sang pemilik. Misi Gereja di Benua Afrika pun berlimpah buah. Sedikitnya 4000 orang dibaptis oleh Sr Irene.
Tak pelak, benda itu menjadi ikon sang biarawati. “Bot itu berdebu dan usang karena selalu dipakai. Namun, sepatu itu tetap menjadi saksi perjalanannya yang menempuh jarak berkilo-kilometer di segala musim dan waktu,” puji umat Gikondi terhadap pelayanan dan pengorbanan sang biarawati.
Penuh Dedikasi
Selama 16 tahun, Sr Irene berkarya di Kenya. Negara itulah medan karya pertama dan terakhir bagi biarawati kelahiran Anfo, Brescia, Italia, 22 Agustus 1891 ini. Pasca mengikrarkan kaul kekal pada 29 Januari 1914, Sr Irene bersama tiga orang rekan setarekat tiba di Kenya pada 31 Januari 1915.
Pintu masuk misi perdana mereka di Kenya ialah melalui budidaya dan pemanfaatan kopi. Awalnya, mereka melatih penduduk untuk menggunakan pacul dan skop. Lalu mengajari mereka menanam kopi. Setelah itu, penduduk dididik cara merawat dan menyiangi tanaman kopi, serta memanen dan menyajikan kopi sebagai minuman.
Karya ini mendatangkan keuntungan bagi kedua belah pihak. Penduduk mendapat keuntungan dari kopi. Sementara para suster bisa belajar bahasa dan budaya lokal. Sayang, situasi Kenya berubah begitu mencekam ketika pecah Perang Dunia Pertama (PD-I).
Karya misi para suster MC pun berubah haluan. Sr Irene tergerak untuk mem bantu para korban perang. Maka, ia bersama suster muda lain bergabung sebagai relawan Palang Merah.
Sr Irene selalu berada di tengah korban. Setiap hari, ia menghabiskan waktu sekitar 16 jam untuk merawat mereka dengan penuh belas kasih, seperti seorang ibu yang sedang merawat anak-anaknya yang sedang sakit.
Berkat dedikasi dan totalitas pelayanannya, Sr Irene mendapat penghargaan dari Palang Merah Inggris. Namun, ia selalu menyembunyikan tanda kehormatan itu dari rekan-rekan sekomunitasnya. Teladan hidup dan karyanya ternyata menjadi media untuk persemaian dan pertumbuhan benih-benih iman Katolik di hati para korban. Sekitar 3000 orang meminta Sr Irene untuk membaptis mereka.
Totalitas Pelayanan
PD I berakhir, Sr Irene tinggal di komunitas MC Nyeri atas permintaan superior tarekat. Di sana, ia didapuk sebagai pendamping para suster dari Tarekat Maria Immakulata pada 1919-1920. Tarekat tersebut baru didirikan tahun 1918 oleh Vikaris Apostolik Kenya (kini Keuskupan Agung Nyeri, Kenya), Mgr Filippo Perlo IMC (1873-1918).
Usai menunaikan tugasnya, pada 1920 Sr Irene diutus ke Gikondi bersama dua rekannya. Kebetulan di sana sudah ada 208 umat Katolik. Bersama dua rekannya, tiap pagi mereka mengajar anak-anak di sekolah. Lalu pada sore hari, mereka mengajarkan katekismus kepada orang dewasa atau siapa pun yang tertarik dengan iman Katolik.
Bila ada kesempatan, Sr Irene blusukan ke kampung-kampung. Ia berinteraksi dan berkomunikasi dengan warga, merawat orang sakit, dan mengajak anak-anak untuk masuk sekolah. Seringkali karena banyak yang ia layani, perempuan yang sejak belia gemar mendidik itu pun lupa makan.
Sr Irene juga punya perhatian khusus kepada kaum perempuan. Ia memposisikan dirinya seperti ibu kandung bagi gadis-gadis di Gikondi. Ia memberikan sejumlah latihan kepada mereka agar kelak menjadi ibu rumah tangga yang terampil. Ia pun mengukir iman mereka agar gigih menghadapi berbagai cobaan.
Selain itu, Sr Irene selalu mengikuti perkembangan anak didiknya sejak masih belia hingga bisa mencari nafkah. Dalam surat-suratnya, ia selalu mengingatkan para muridnya yang telah dibaptis agar berani mewartakan Kabar Gembira kepada siapapun. Berkat totalitas pelayanan, cinta, dan semangat belarasa, umat Gikondi menjuluki Sr Irene dengan Nyina Wa Tha atau disingkat Nyaatha yang berarti bunda murah hati.
Sayang, ziarah dan pelayanan bunda murah hati dari Gikondi itu terhenti untuk selamanya. Sr Irene terserang wabah pes ketika merawat para penderita penyakit endemik itu di salah satu daerah Gikondi. Meski sakit, ia tetap melanjutkan pelayanannya. Pada 14 September 1930, ia kembali kekomunitasnya di Nyeri un tuk menjalani retret tahunan tarekat. Pada 26 September 1930, penyakit yang men deranya kian kronis. Raga sang biarawati itu pun tak kuasa lagi menahan ganasnya pes. Penyakit itu membelenggu seluruh pelayanan karitatifnya.
Sr Irene hanya bisa terbaring di atas tempat tidur. Beberapa perempuan yang mengunjunginya terkejut dan sedih. Meski mengalami penderitaan hebat, ia masih sempat menasihati mereka, “Janganlah menangis, sebab saya akan pergi ke surga”.
Sr Irene akhirnya wafat pada 31 Oktober 1930. Jasadnya dimakamkan di Paroki St Maria Consolata Mathari, Keuskupan Agung Nyeri. Seorang murid Sr Irene di Gikondi bersaksi, sang guru wafat bukan karena terserang penyakit pes, melain kan kesetiaan cintanya yang mendalam kepada umat di Kenya telah membuatnya berani mempertaruhkan nyawa. Sr Irene meneladani semangat pengorbanan Yesus. Atas nama cinta, ia rela wafat demi menyelamatkan sesamanya.
Beata Pertama
Dalam proses penggelaran kudus, Takhta Suci akhirnya resmi mengakui teladan hidup dan totalitas pelayanan Sr Irene. Pada 2 April 2011, Paus Benediktus XVI menandatangani dekrit keutamaan hidup Sr Irene. Sang biarawati pun digelari venerabilis.
Kemudian, mukjizat yang dialami sekelompok katekis dan umat kristiani di Paroki Nipepe, Keuskupan Lichinga, Mozambik pada 1989, melapangkan proses beatifikasi untuk suster yang bernama asli Aurelia Gia comina Mercede ini. Sekelompok katekis dan umat kristiani ini kehabisan air, setelah beberapa hari bersembunyi dari kejaran tentara pembebasan. Mereka pun berdoa lewat perantaraan Sr Irene agar diberikan air untuk pembaptisan, konsumsi, mandi, dll. Usai mereka berdoa, air tiba-tiba mengucur deras dari wadah air suci di Gereja. Air keluar selama 3,5 hari sehingga katekis dan umat bisa bertahan hidup. Sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada Sr Irene, ada bayi yang dibaptis dengan nama biarawati itu.
Perayaan beatifikasi Sr Irene akan digelar pada 23 Mei 2015 di Universitas Tek nologi Dedan Kimathi, Nyeri, Kenya. Perayaan akan dipimpin oleh Prefek Kongregasi Penggelaran Kudus, Kardinal Angelo Amato SDB. Sr Irene tercatat sebagai misionaris di Kenya yang dibeatifikasi untuk pertama kali dalam sejarah. Gereja mengenang teladan hidup dan pelayanannya tiap 31 Oktober.
Yanuari Marwanto