HIDUPKATOLIK.com – Romo yang terkasih, usia perkawinan kami sudah lebih dari lima tahun. Kami belum dikaruniai anak. Dan ketika pernikahan kami berusia tiga tahun, pernah ada orang ketiga yang masuk dalam hubungan kami dan hampir mengakibatkan perceraian. Hingga saat ini, kami tetap hidup bersama meskipun tidak tidur seranjang. Kami juga tetap tampil secara normal di hadapan keluarga besar dan lingkungan. Kami menyadari, api cinta di antara kami sudah tidak lagi berkobar seperti dulu. Meskipun saat ini kami hidup bersama, kami tetap memiliki niat untuk berpisah/cerai. Kami tahu, di Gereja Katolik tidak ada perceraian. Anehnya, istri saya pun juga enggan saya ajak untuk konsultasi dengan penasihat perkawinan. Pertanyaan saya: apakah hidup seperti ini layak untuk diteruskan? Bagaimana mungkin kami dapat memperoleh keturunan dalam kondisi seperti itu? Mohon pencerahan dari Romo. Terima kasih.
Koko, Yogyakarta
Saudara Koko yang sedang dilanda persoalan. Saya ikut prihatin dengan persoalan kalian berdua. Kadang, rumah tangga dilanda relasi yang sangat parah sampai rasanya seperti tidak ada harapan lagi. Relasi memang sangat ditentukan oleh kehangatan dan banyak faktor yang menentukannya. Kehangatan tergantung pada waktu bersama, perhatian, bicara, kerja sama, dan hubungan seksual yang terpelihara. Tanpa itu, biasanya masalah berkembang memburuk.
Kebersamaan adalah suatu hal yang mendasar dalam perkawinan Katolik, entah dalam senang atau susah. Kebersamaan menjadi syarat mutlak yang harus dipertahankan pasangan suami istri yang berjanji sehidup dan semati. Tanpa kebersamaan, maka perkawinan mustahil diarahkan pada tujuan dasarnya, seperti kesatuan, keturunan, atau kesejahteraan lahir batin.
Kehadiran orang ketiga dapat terjadi sewaktu-waktu dan akan sangat berpengaruh jika kondisi kebersamaan Pasangan Suami Istri (Pasutri) sedang buruk. Orang ketiga bisa menjadi semacam oase bagi kekeringan hubungan Pasutri. Ini barangkali yang menjadi awal masalah. Menyalahkan kehadiran orang ketiga saja bukanlah tindakan yang bijaksana. Sebagai pihak yang berperan, kitalah yang harus bertanggung jawab atas peristiwa ini.
Kalau Anda pikir bahwa Anda adalah korban, ini juga akan melemahkan semangat juang Anda dalam relasi suami istri. Anda perlu memperjuangkan suatu kesetiaan dan sangat perlu membuang semua kekerasan hati yang melemahkan. Jangan malu merayu istri untuk kembali dan jangan ragu berjanji jika itu bisa mengembalikan relasi ke arah yang baik. Jangan malu meminta maaf, jika memang itu diperlukan.
Pikiran jadi semakin “melayang” ke mana-mana jika Anda berdua justru merencanakan perpisahan, meskipun itu pisah ranjang sekalipun. Dalam situasi ini, pikiran Anda berdua seharusnya mencari cara menambah waktu bicara. Jangan memutuskan apapun, jika Anda sedang dalam situasi emosional (ini tip populer = psikologis). Pastikan Anda tidak main-main atau setengah hati menyelesaikan masalah ini.
Kalau Anda berdua merasa bahwa ini semua adalah karena belum adanya anak, maka fokuskan pada soal itu. Jika ini masalah relasi dan kurangnya pertemuan, fokuskan di sana. Jadi yang penting adalah mengerjakan PR, bukan menambah PR baru, apalagi Anda sendiri tidak tahu apa manfaat dari keputusan yang sekarang ini dibuat.
Ingatlah janji perkawinan Anda berdua, bukan hanya rasa kasihan atau hormat pada orangtua. Alasan pokok adalah janji Anda berdua sendiri. Jika Anda berdua percaya bahwa Tuhan telah mempersatukan Anda, maka akan muncul penghargaan pada diri sendiri, pasangan, dan perkawinan di antara Anda. Saya percaya, orang yang bertahan sampai pada kesudahannya akan mendapatkan “mahkota” sukacita (bdk. Mat.24:13).
Kesulitan apapun, jika dipercaya sebagai pengalaman rohani akan lain maknanya. Kita tidak hanya dianugerahi masalah oleh Tuhan, tetapi terutama diberi kekuatan untuk menambah suatu keterampilan dan kemampuan untuk menjadi makin dewasa. Masalah orang beriman tidak membuatnya kerdil, tetapi justru membuat nya makin matang sebagai pribadi. Semoga Anda mengerti inspirasi rohani ini. Tuhan memberkati Anda berdua.
Alexander Erwin Santoso MSF