web page hit counter
Senin, 23 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Guru, Katolisitas dan Kecerdasan

Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Pemerintahan Joko Widodo – Yusuf Kala menetapkan Ujian Nasional (UN) tidak lagi menjadi syarat kelulusan melainkan hanya untuk pemetaan dan syarat masuk ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Dengan demikian UN sudah tidak menjadi momok lagi bagi siswa dan guru.

Kerusakan generasi bangsa dihentikan, karena dulu akibat UN peserta didik dan guru banyak yang terlibat kecurangan. Ketika itu, UN merupakan syarat kelulusan. Para guru pun mengarahkan segala pengajarannya ke sasaran akhir, yakni men- drillpeserta didik agar lulus UN. Sekarang Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan mengajak pendidik untuk fokus pada gerakan pencerdasan dan penumbuhan generasi yang berkualitas, baik dari segi kepribadadian (berkarakter) maupun dari segi otak (cerdas).

Paradigma baru ini mengembalikan fokus pendidikan pada esensinya. Dulu, tatkala menjadi penentu kelulusan, UN malah jadi menjadi hantu paling menakutkan. Kini hak dan kewenangan evaluasi diserahkan ke tangan guru, yang paham mengenai kemampuan para murid.

Para guru perlu menyadari prinsip-prinsip alamiah pembentukan karakter. Peserta didik membentuk cara pikirnya melalui relasinya dengan guru-guru. Bila seorang guru selalu mengajar dengan kritis, menjelaskan sesuatu dengan komprehensif – akar masalah, kemudian proses penyelesaian dan akibat-akibatnya, maka kelak peserta didik akan terbiasa menalar secara kritis. Bahkan, setiap komentar guru turut membentuk pola pikir peserta didik yang mendengarkannya. Misalnya, ketika guru memberi komentar terhadap siswa yang selalu terlambat, dengan komentar: “Pantas, anak ….” (lalu menyebut suku anak itu), seluruh peserta didik yang mendengar telah membentuk prasangka bahwa suku anak tadi adalah suku pemalas.

Begitulah proses terbentuknya prasangka-prasangka dalam diri kita. Hal ini sudah disadari oleh Quintillian (35-95), guru dan pendidik anak-anak Kaisar Romawi (Nero, Seneca), ketika merumuskan keyakinan pedagogisnya: “Apapun penyakit yang ditularkan di rumah, pasti bisa disembuhkan di sekolah.” Artinya, kalau para guru berrelasi dengan anak-anak secara positif, anak-anak akan membentuk pola pikir dan pola laku (cara berrelasi) yang semestinya karena mendapat model dan pengalaman langsung dari guru.

Dari kenyataan itu, guru yang tidak kompeten, dengan sendirinya, secara moral tidak mendapat hak (lisensi) untuk mengajar. Sebab, setiap kata dan perbuatan diobservasi oleh peserta didik dan membentuk pola pikir, pola rasa dan pola laku mereka. Bayangkan dampak pada pribadi peserta didik bersama dengan guru yang selama enam jam sehari terus-menerus menegur, mengoreksi, mengkritik,menyalahkan dan menghukum. Para murid akan kehilangan rasa percaya diri dan kemampuan berempati dengan orang lain.

Dari situ Terbentuklah pola pikir yang selalu negatif, suka menyalahkan dan mengkritik orang lain. Bahkan, memandang dirinya juga negatif dan tidak kompeten. Katakanlah ke depan, peserta-didik ini akan menjadi orang pintar, tetapi kecerdasan emosionalnya rendah dan berkarakter kurang baik.

Pada dasarnya pendidikan karakter bukan sesuatu tambahan mata pelajaran khusus. Tapi cara guru berelasi itulah yang membentuk karakter peserta didik. Kita bersyukur bahwa UN sudah tidak menjadi momok lagi. Para guru bisa lebih fokus menyiapkan murid untuk memahami konsep dasar tentang pendidikan dan menjadi panutan bagi para murid.

Kalau kita kaitkan dengan “karakter katoliksitas”, berarti di sekolah-sekolah Katolik, perilaku, ucapan dan perbuatan guru di depan kelas mesti menghadirkan nilai-nilai kekatolikan. Bila guru mengajar dengan penuh empati, mendampingi peserta didik yang terlambat, melanggar aturan, tidak membuat PR, malas, membuat onar di dalam kelas, dengan penuh kelembutan dan dialog penuh empati, maka peserta- didik mengalami secara langsung nilai-nilai kekatolikan.

Untuk bisa melakukan ini, selain kompeten sebagai pendidik, para guru perlu berusaha menghadapi setiap peserta didik seolah sedang menghadapi Kanak- kanak Yesus.

Fidelis Waruwu

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles