HIDUPKATOLIK.com – Seruan Paus pada Hari Komsos Sedunia ke-49 berfokus pada keluarga. Merefleksikan tema ini, Keuskupan Manokwari-Sorong, Papua menjadi potret perjuangan internalisasi nilai-nilai kristiani dalam keluarga dengan konteks budaya lokal
Paus Fransiskus mengusung tema keluarga untuk Hari Komunikasi Sosial (Komsos) Sedunia pada tahun ini, “Mengkomunikasikan Keluarga: Tempat Istimewa Perjumpaan Karunia Kasih”. Topik ini berkelindan dengan Sinode Luar Biasa III pada Oktober 2014 dan Sinode Biasa XIV yang akan berlangsung pada Oktober 2015.
Kedua Sinode itu membahas tantangan, panggilan, dan perutusan keluarga. Bapa Suci memiliki perhatian besar terhadap kehidupan keluarga. Kesan itu sudah tampak jelas jauh sebelum Sinode Luar Bisa III digelar. Kala Sidang Pleno XXI Dewan Kepausan untuk Keluarga pada 23-25 Oktober 2013, Bapa Suci sudah mengatakan, keluarga adalah pusat kehidupan manusia, tempat kita belajar mengasihi.
Dalam Nasihat Apostolik Evangelii Gaudium (EG) pun Paus secara eksplisit menyebut keluarga sebagai sel terkecil masyarakat. Selain itu, keluarga menjadi tempat perlindungan. Setiap orang menemukan ketentraman dan kedamaian. Bapa Suci menyebut keluarga sebagai benteng bagi setiap nilai negatif yang tumbuh di tengah masyarakat modern (EG no.6).
Sekolah Komunikasi Pertama
Sementara itu, dalam pesannya pada Hari Komsos Sedunia ke-49, Bapa Suci menandaskan, keluarga merupakan tempat pertama individu belajar komunikasi. Proses belajar itu, tulis Paus, bahkan terjadi sejak seseorang masih berada di dalam rahim. Di sana, manusia baru sudah mendengarkan dan berkontak fisik dengan dunia luar, walaupun dalam sebuah lingkungan yang terlindung.
Kandungan sebagai sekolah komunikasi pertama terinspirasi dari kisah kunjungan Maria kepada Elisabet (Luk 1:39-56). Respon pertama terhadap salam Maria datang dari anak di dalam rahim Elisabet. Bayi saudari Maria itu melonjak kegirangan begitu mendengar sapaannya. Kegembiraan, kegirangan, dan sukacita itulah buah komunikasi dan perjumpaan sejati dengan sesama.
Kendati telah terlahir kedunia,setiap insan masih tetap berada dalam rahim, yakni keluarga. Di dalam keluarga terhimpun berbagai orang yang saling terkait satu sama lain. Meskipun di dalam keluarga terdapat berbagai perbedaan, seperti jenis kelamin dan usia, namun disanalah kita bisa belajar hidup bersama dan menerima kehadiran orang karena ada ikatan satu sama lain (EG no.66).
Tak dapat dipungkiri, keluarga juga menjadi tempat bertemunya aneka keterbatasan, entah itu diri sendiri atau orang lain. Di sana kerap ditemui berbagai masalah besar maupun kecil. Sebab tak ada keluarga yang sempurna di dunia ini. Namun yang terpenting, kita harus saling mengasihi dan mendukung secara konstruktif . Sebab itulah, keluarga disebut juga sebagai sekolah pengampunan.
Pengampunan itu sendiri merupakan proses komunikasi. Ketika penyesalan diungkapkan dan diterima, ada kemungkinan untuk memulihkan dan membangun kembali komunikasi yang putus.
Wajah Dualistis Media
Dewasa ini, media komunikasi modern menjadi bagian atau bahkan kebutuhan hidup manusia, secara khusus orang muda di daerah perkotaan. Sarana komunikasi abad ini memiliki wajah dualistis. Benda itu bisa memberi manfaat, tapi juga halangan bagi kehidupan sosial manusia.
Media komunikasi memberi manfaat jika memungkinkan orang untuk saling berbagi kisah, menjalin kontak dengan teman atau kerabat yang jauh, meminta peng ampunan, serta membuka pintu bagi perjumpaan-perjumpaan baru.
Namun sarana itu bisa menjadi penghambat bila mencegah individu untuk mendengarkan orang lain, menggantikan kontak fisik, mengisi saat hening dan istirahat, sehingga kita lupa bahwa “keheningan adalah bagian terpadu dari komunikasi; tanpa keheningan, kata-kata yang kaya pesan tak akan ada” (Paus Benediktus XVI dalam Pesan Hari Komsos Sedunia 2012).
Menyasar Orang Muda
Merefleksikan pesan yang disampaikan Paus Fransiskus, Uskup Manokwari-Sorong, Mgr Hilarion Datus Lega mengakui, tak sedikit relasi antar anggota keluarga dikuasai oleh perangkat teknologi. Hal itu menyebabkan hubungan antar keluarga menjadi renggang.
Oleh karena itu, sebagai tuan rumah perhelatan Hari Komsos Sedunia tahun ini, Mgr Datus memberikan porsi perhatian lebih besar kepada anak-anak dan orang muda. Ia berharap, lewat kegiatan yang berlangsung pada Selasa-Minggu, 12-17 Mei 2015, bisa memberi nilai-nilai positif untuk perkembangan diri dan iman tulang punggung Gereja Manokwari-Sorong.
Namun Ketua Komisi Komsos Keuskupan Manokwari-Sorong (KMS), Romo Stepanus Istoto Raharjo tak menampik, topik yang diberikan oleh Komisi Komsos KWI tentang dampak media sosial bakal hanya diikuti oleh pelajar di Kota Sorong. “Internet hanya ada di Sorong, kalau di pedalaman akses internet hanya dimiliki oleh perusahaan tambang atau kayu,” ungkapnya ketika dihubungi lewat telepon, Selasa, 5/5.
Selain itu, Romo Istoto menambahkan, jarak antar paroki dengan keuskupan berjauhan. Medan dan jalanannya pun sulit sehingga harus ditempuh lewat sungai atau udara, dengan biaya transportasi yang mahal. Di Sorong, harga bensin jenis premium Rp 15 ribu/ liter. Sementara di pedalaman Paparo dan Baum, Papua Barat bahan bakar yang sama seharga Rp 20-25 ribu/ liter.
Meski demikian, imam yang di tahbiskan pada 8 Juli 1995 ini mengungkapkan, Mgr Datus sangat concern pada persoalan pendidikan/pelatihan dan kesehatan. Uskup yang menerima tahbisan episkopal pada 7 September 2003 ini yakin, jika generasi muda KMS cerdas dan sehat, mereka akan bijak untuk mengatur hidup dan membangun tanah kelahirannya. Tak heran demi tujuan itu, pelaksanaan Pekan Hari Komsos Sedunia (PHKS) merogoh ko cek Rp 450 juta.
Bersama Tanpa Nikah
Papua secara khusus KMS merupakan tanah migran. Wilayah yang berada di kepala burung Pulau Papua ini menjadi destinasi perpindahan beragam suku, baik melalui program transmigrasi pemerintah maupun pilihan pribadi. Saat ini, Sorong dihuni berbagai suku, seperti Papua, Jawa, Madura, NTT, Medan, Toraja, Manado, Minahasa, Buton, Bugis, dan Makassar. Keanekaragaman suku juga diikuti dengan keyakinan yang berbeda-beda.
Menurut Ketua Komisi Pendampingan Keluarga, Romo Zepto-Triffon Polii, jumlah umat Katolik di KMS sekitar 7,5-8 persen dari 850 ribu jiwa di Provinsi Papua Barat. Lebih spesifik di Sorong, umat Katolik hanya 9 persen dari total penduduk 2.500 jiwa. Selebihnya beragama Protestan sebagai mayoritas, dan Islam.
Posisi umat Katolik sebagai kelompok minoritas dan hadirnya berbagai macam suku dari luar Papua di Sorong serta di berbagai wilayah KMS cenderung melemahkan kontrol sosial. Meski belum ada penelitian yang memberikan nilai pasti, fenomena itu nampak dari gaya hidup masyarakat. Di sana, hidup bersama tanpa ikatan nikah menjadi pola hidup lumrah dan dilakoni oleh setiap suku. “Saya tidak ingin mengklaim semua orang seperti itu, tapi dalam pertemuan para imam di KMS, para romo mengungkapkan hal serupa di parokinya masing-masing,” tandas imam yang sejak 2006 berkarya di KMS.
Lebih lanjut, moderator Marriage Encounter (ME) wilayah Sorong ini menambahkan, di sini lebih dari 50 persen terjadi perkawinan campur, baik beda suku, beda gereja maupun beda agama. Dan lebih dari 60 persen persoalan yang dihadapi bukan terletak pada saat pemberkatan nikah, tapi justru pemberesan pernikahan. Artinya, ada pasangan yang hidup bersama sekian tahun, punya anak, tapi baru diberkati pernikahannya. “Kejadian seperti ini normal dan tidak aneh di sini,” jelasnya.
Menurut Romo Zepto, ada beberapa penyebab yang melatarbelakangi persoalan di Bumi Cenderawasih ini. Pertama, mas kawin untuk perempuan yang ingin dinikahkan sangat mahal, tergantung tingkat pendidikan atau suku yang bersangkutan. Di daerah tertentu ada yang menuntut mas kawin uang dan benda-benda yang memiliki nilai historis dan kultural tinggi, seperti kampak, piring, dan meriam peninggalan Belanda.
Kedua, beda agama/ baku tahan agama. Masing- masing pasangan, terutama dari pihak keluarga mempelai tidak ingin anak, keponakan, saudara dan saudarinya pindah ke agama lain. Ketiga,salah satu pasangan atau bahkan keduanya masih terikat perkawinan dengan orang lain. Secara adat, pria harus bertanggung jawab menafkahi istri pertamanya.
Meski problem ini terjadi merata dan lumrah di setiap paroki, imam yang ditahbiskan pada 15 Mei 2003 ini yakin masih banyak keluarga Katolik yang baik, setia, dan menjadi teladan bagi keluarga lain.
Kolaborasi Komisi
Romo Istoto mengakui, peran Komsos terhadap sejumlah problem yang dihadapi keluarga di KMS belum secara langsung dan khusus. Hingga saat ini, dalam keterbatasan tenaga pastoral, Komsos memanfaatkan radio dan televisi sebagai sarana pewartaan dan pendidikan meski hanya hari-hari tertentu siaran.
Selain program siaran di radio dan televisi, Komsos juga menerbitkan buletin keuskupan dwi bulanan. Dari tiga media itu, Komsos berusaha memberi ruang dan kesempatan bagi Komisi Keluarga, setidaknya tiga kali dalam setahun untuk mengisi program pendampingan keluarga.
Komsos juga melibatkan Yayasan Sosial Agustinus, karya keuskupan yang berfokus pada persoalan HIV/AIDS dan pendampingan orang-orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA). Sementara itu, Komisi Keluarga melakukan pendampingan lewat gerakan ME di paroki-paroki dan berkoordinasi dengan Tim Pastoral Wilayah, yang terdiri dari pastor paroki dan tim khusus, saat akan menggelar kegiatan seputar keluarga.
Selain melalui media dan pendampingan umum, para pelayan pastoral memakai sarana komunikasi khas Papua, MOB/ MOP sebagai pintu masuk pewartaan atau penyampaian pesan. Tradisi lisan dengan mengangkat kisah-kisah lucu dalam balutan dialek lokal ini bisa menghibur, mengakrabkan, sekaligus menyampaikan pesan kepada pendengar.
Yanuari Marwanto/Maria Pertiwi