HIDUPKATOLIK.com – Uskup Pangkalpinang Mgr Adrianus Sunarko OFM adalah rekan saya pada lima lingkaran masa, yakni masa seminari menengah di Mertoyudan, masa belajar filsafat di STF Driyarkara Jakarta, masa studi di Jerman–dia belajar Ilmu Ketuhanan di Freiburg, sementara saya menekuni ateisme di Frankfurt–dan masa menjadi pengajar di STF Driyarkara. Namun kemudian, “posisi” berubah di lingkaran masa yang kelima. Di sini sebagai Minister Provinsial OFM, ia menjadi anggota Pembina Yayasan Pendidikan Driyarkara, sedangkan saya kepala sekolahnya yang bertugas antara lain menjalankan kebijakannya.
Mgr Sunarko merupakan pribadi yang kalem, gembira, dan memiliki keceriaan orang muda. Meskipun seorang teolog dogmatik yang ulung, gaya bicaranya jauh dari sifat dogmatis dan eliter. Ia membuka perspektif rekan bicaranya, dan selalu siap untuk berdialog, sambil sekaligus tetap sanggup mempertahankan pendirian pribadinya. Pembicaraan dengan dia memperkaya. Ia suka membarui ilmunya dengan pelbagai pengetahuan yang relevan, lantas produktif membagikan ilmu itu dengan murah hati kepada orang lain lewat aneka tulisan.
Para dosen dan mahasiswa STF Driyarkara senang memiliki Romo Sunarko sebagai dosen dan sparring partner mereka dalam berdialog. Selain itu, kebijaksanaan dan kepiawaian praktisnya tampak antara lain dalam kegiatan sebagai anggota pembina Yayasan Pendidikan Driyarkara dan Provinsial Ordo Fransiskan. Maka itu kami merasa kehilangan sekali, bahwa ia kini menjadi Uskup Pangkalpinang.
Menarik bahwa seorang Fransiskan seperti Romo Sunarko menjadi Uskup di tempat dia dan ordonya tidak berkarya. Pangkalpinang jelas bukan Bogor atau Papua, tempat para Fransiskan telah lama dan masih berkarya. Namun, Pangkalpinang mempunyai dua keunikan dalam sejarah Gereja Indonesia. Pertama, ini adalah Keuskupan yang embrionya pada medio abad XIX merupakan stasi pertama dengan umat Tionghoa sebagai pelopor. Di sinilah untuk pertama kalinya misi Katolik menjalankan reksa pastoral di kalangan orang non Belanda. Pemerintah Belanda tempo doeloe tidak menyukai karya terobosan misi ini.
Kedua, Pangkalpinang adalah Keuskupan pertama yang memiliki imam diosesan, yakni Romo Yohanes Maria Boen (tahbisan 1935), pada saat keuskupan-keuskupan lain belum berpikir serius mengenai salah satu faktor penting untuk kemandirian Gereja setempat dengan adanya imam praja. Dari fakta ini kiranya jelas, Pangkalpinang termasuk dalam Keuskupan pelopor kemandirian Gereja dengan awam sebagai basisnya. Meskipun lewat tahbisan Uskup diosesannya Mgr Sunarko menjadi praja alias bukan wakil “OFM cabang Pangkalpinang” (maka itu, akan ada insinuasi aneh nanti, jika inisial OFM masih dilekatkan padanya sebagai Uskup Pangkalpinang). Bisa jadi, ia akan menjadikan Pangkalpinang sebagai pelopor penting dalam dialog mendalam antara Gereja Katolik dan agama lain, khususnya kepercayaan dan budaya Tionghoa.
Dialog dengan kepercayaan dan budaya Tionghoa ini entah mengapa tampaknya belum diupayakan secara serius oleh Gereja Katolik Indonesia, padahal umat Tionghoa dari sejarahnya merupakan salah satu golongan terkuat yang ikut mendukung perkembangan Gereja Katolik bahkan hingga masa kini. Adapun kemampuan berdialog dengan kepercayaan lain merupakan keutamaan Fransiskus Asisi, pendiri Ordo Fransiskan, yang terkenal juga dengan kecintaan akan persaudaraan universalnya itu. Okay, kita lihat saja nanti!
Akhirnya, ada satu “kekurangan kecil” pada Uskup yang berasal dari daerah pertanian Sedayu, Yogyakarta ini: Mgr Sunarko mengaku tidak bisa berenang. Namun, hal ini tidak akan menjadi masalah sama sekali. Di wilayah Keuskupan yang wilayah perairannya (270.212 kilometer persegi) nyaris sepuluh kali wilayah daratnya (39.442 kilometer persegi) ada banyak tempat bagi dia untuk belajar berenang. Ini keterampilan amat praktis yang kiranya ia perlukan untuk aneka visitasi pastoral. Proficiat, Mgr Sunarko!
Simon Petrus L. Tjahjadi