HIDUPKATOLIK.com – Romo Erwin yang baik, saya seorang ibu, punya anak perempuan yang menikah pada usia 22 tahun. Sementara usia suaminya kala itu 30 tahun. Usia perkawinan mereka kini sudah empat tahun. Saya baru mengetahui, terjadi skandal besar di rumah tangga mereka. Anak saya ternyata “dijual” oleh suaminya.
Suaminya berjudi dan banyak berutang. Mereka punya dua anak kecil. Saya sering mendengar, anak saya dipukuli oleh suaminya sampai babak belur kalau tidak mau menutup utang dan menjual diri (sebagai pekerja seks komersial). Saya tahu ini sangat berdosa, tetapi saya tidak berdaya. Apa yang harus saya lakukan?
Endang, Semarang
Bu Endang yang baik, saya mengerti kesulitan yang Ibu hadapi. Peristiwa yang dialami Ibu adalah sebuah dukacita mendalam dalam hidup berkeluarga. Apa yang Ibu sampaikan adalah kesedihan dan cacat hidup perkawinan. Perkawinan sebagai sebuah sakramen harus bebas dari semua hal yang merugikan salah satu pihak. Perkawinan harus bersifat eksklusif (hanya bagi kedua pihak yang menikah) dan tidak boleh ada pihak lain yang mengganggu kehidupan suami-istri itu.
Memang Ibu adalah orang di luar keluarga inti. Akan tetapi, Ibu tetaplah Ibu yang boleh membantu, saat anak dalam bahaya besar. Mengapa dulu menikah dengan suaminya? Apakah mereka pacaran sudah cukup? Sayang sekali, pada usia yang masih amat muda sudah mengalami situasi yang memprihatinkan. Kebebasan memilih pasangan, tak sama dengan memilih asal-asalan calon suami.
Bahaya besar yang ditimbulkan dalam perkawinan ini adalah, pertama, mengenai “kekerasan dalam rumah tangga” atau KDRT. Kedua, soal pemaksaan istri menjadi pekerja seks komersial. Kedua hal itu tak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Sejauh mana Ibu mengetahui hukum yang mengatur keduanya? Jika Ibu belum merasa jelas, cobalah menghubungi ahli hukum sipil yang mengatur hal ini. Memang ada kesulitan bahwa laporan ini bukan dari pihak korban.
Apakah putri Ibu juga merasa tersiksa atau dikorbankan? Mengapa membiarkan suami berjudi dan melakukan KDRT? Jika putri Ibu tak bermasalah, maka ada kesulitan untuk menjadikannya perkara. Persoalan KDRT dan pemaksaan bukan persoalan Gerejani saja, tetapi juga terutama soal hukum yang berlaku di Indonesia. KDRT bahkan adalah persoalan kriminal.
Gereja sama sekali tak mendukung perceraian, tetapi lebih lagi tak mendukung pencideraan atau penganiayaan. Gereja ingin kehidupan perkawinan sejahtera dan membahagiakan kedua belah pihak. Setiap usaha yang bisa membahayakan salah satu pihak atau membuat perkawinan menjadi begitu sulit untuk dijalankan, akan membawa masalah hukum (Gereja dan tentu sipil).
Jangan membiarkan rumah tangga putri Ibu dinodai oleh “kejahatan” suaminya. Perkawinan bertujuan kesejahteraan, bukan kecelakaan. Cobalah perhatikan salah satu kanon dalam Kitab Hukum Kanonik berikut ini, “Jika salah satu pasangan menyebabkan bahaya besar bagi jiwa atau badan pihak lain atau anaknya, atau membuat hidup bersama terlalu berat, maka ia memberi alasan legitim kepada pihak lain untuk berpisah dengan keputusan Ordinaris wilayah, dan juga atas kewenangannya sendiri, bila penundaan membahayakan”. (KHK. Kan.1153 art.1)
Dalam hal ini, pertama, kehidupan rumah tangga harus menjadi kesejahteraan jiwa dan badan. Kedua, hidup bersama tak boleh terlalu berat atau membahayakan karena salah satu pihak. Ada kemungkinan bagi pasangan yang mengalami ini, setelah berdiskusi dengan Romo paroki atau pendamping setempat, mencari jalan keluar dan salah satunya adalah berpisah demi keselamatan, bukan demi egoisme pribadi.
Saran saya, sebagai orangtua, Ibu boleh memberi inspirasi, tanpa memaksa, kepada putri Ibu, untuk dengan bijaksana mengambil langkah terbaik demi dirinya dan kedua anaknya. Berdoa juga menjadi cara yang baik untuk menemukan kebijaksanaan dalam mengambil keputusan suci. Semoga informasi ini menginspirasi. Menikah bukan berkorban dan mati konyol tanpa nilai yang diperjuangkan.
Alexander Erwin Santoso MSF