HIDUPKATOLIK.com – Mengapa para imam dalam Gereja Katolik dipanggil “Romo” atau “Pater” (bapak), sedangkan Mat 23:9 mengajarkan, “Janganlah kamu menyebut siapa pun bapa di bumi ini, karena hanya satu Bapa-mu, yaitu Dia yang di surga”?
Lina Katarina, Malang
Pertama, praktik memanggil para imam sebagai Pater (Latin, artinya ‘bapak’) atau Romo (Jawa, artinya ‘bapak’) berasal dari tradisi yang sudah sangat kuno, yaitu pada abad-abad awal agama Kristiani. Tradisi Kristiani bisa memberikan kesaksian bahwa praktik pemanggilan itu sudah setua usia Gereja. Di beberapa tempat, panggilan “Pater” lebih diarahkan untuk para imam dari tarekat, sedangkan imam diosesan dipanggil Romo. Saudara-saudari Protestan berangsur-angsur meninggalkan tradisi pemanggilan ini sesudah Reformasi.
Kedua, para imam dipanggil “Pater” atau “Romo” karena alasan yang sangat sederhana, yaitu karena mereka adalah pelayan biasa dari sakramen-sakramen, misal Sakramen Baptis, yang dalam nama Kristus dan dalam nama Gereja, mereka melahirkan kita kembali dalam hidup rahmat. Juga melalui Sakramen Ekaristi, mereka bertindak bagaikan seorang ayah yang memberikan makanan rohani untuk menumbuhkan kita dalam hidup rahmat. Belum lagi, Sakramen Rekonsiliasi yang mendamaikan kita kembali dengan Allah dan dengan sesama.
Para imam juga memelihara hidup iman kita dengan pengajaran dan bimbingannya. Bisa juga mereka memberikan teguran dan koreksi, agar hidup kita dalam Kristus tetap berada di jalur yang benar. Singkat kata, para imam melakukan tindakan-tindakan bagaikan seorang ayah alami terhadap anak-anaknya. Maka sudah sepantasnya, mereka dipanggil “Romo” atau “Pater.
Ketiga, praktik pemanggilan sesorang sebagai “Bapak” tidaklah asing dalam Perjanjian Baru. Rasul Paulus sendiri tanpa ragu menyebut diri sendiri sebagai “bapak” dari orang-orang yang tertobat melalui pelayanannya. Kepada orang-orang di Korintus, Paulus berkata, “Sebab sekalipun kamu mempunyai beribu-ribu pendidik dalam Kristus, kamu tidak mempunyai banyak bapa. Karena akulah yang dalam Kristus Yesus telah menjadi bapamu oleh Injil yang kuberitakan kepadamu.” Juga kepada Timotius, Paulus menyebut dirinya sebagai bapa dan dua kali memanggil Timotius sebagai anaknya karena Paulus sudah membawa Timotius dan keluarganya kepada iman pada Kristus (bdk. Flp 2:22 dan 1 Tim 1:2). Contoh konkret dari sang Rasul Agung ini tentu sangat mendukung seluruh Gereja untuk tanpa ragu memanggil para gembala sebagai Bapak (Pater, Romo). Maka, kita bisa mengerti mengapa pemanggilan “Pater” (Romo) sudah setua usia Gereja itu sendiri.
Keempat, jika kita mengerti secara harafiah teks Mat 23:9, maka kita akan dilarang memanggil ayah-ayah alami kita sebagai bapak, atau memanggil para pengajar kita sebagai guru. Jika demikian, semua praktik pemanggilan bapak, bukan hanya dalam Gereja tetapi juga di bidang lain, bertentangan dengan Mat 23:9. Maka, kita perlu mengerti Mat 23:9 dalam konteks asli dan menggali maksud pengajaran Yesus.
Konteks asli Mat 23:9 adalah kecaman Yesus kepada para ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Kedua golongan ini dikecam karena munafik. Mereka mengejar penghormatan dari manusia dan mengabaikan apa yang dilihat Allah. Hal-hal lahiriah dipentingkan tanpa pendasaran yang sungguh pada penghayatan. Mereka berusaha mendapatkan penghormatan dari orang-orang, sehingga mereka suka berada di keramaian untuk memamerkan hidup kerohanian mereka yang hanya luarnya saja tanpa dasar yang mendalam. Dalam konteks ini, larangan Yesus dalam Mat 23:9 berarti agar jangan menumpuk gelar-gelar (Bapa, Guru, doktor, profesor) hanya untuk menyombongkan diri dan merasa diri penting, atau untuk mendapatkan penghormatan orang-orang. Dengan penafsiran seperti ini, berarti Yesus tidak melarang pemakaian kata panggilan “bapak” (Romo, Pater) atau “guru”.
Petrus Maria Handoko CM