HIDUPKATOLIK.com – Di panti ini, komunitas Katolik tumbuh. Panti ini bak sekolah cinta kasih. Para penghuni saling melayani, sementara para pengurus yang melayani para sepuh ini pun tidak berharap imbalan.
Pagi, matahari bersinar cerah, bunga-bunga di taman mekar dan tampak segar. Senin, 11/5, Panti Wherda Melania Rempoa, Ciputat, Tangerang Selatan, ceria. Beberapa orang yang sudah lanjut usia duduk di kursi di depan kamar mereka masing-masing. Ada yang bercengkerama satu sama lain, ada yang membaca koran. Ada pula yang hanya diam sambil memperhatikan aktivitas sesama penghuni.
Panti ini didirikan pada 17 Mei 1980, atas prakarsa Paroki St Perawan Maria Diangkat ke Surga, Katedral Jakarta. Awalnya, paroki ini punya tempat untuk pelayanan para lanjut usia di Panti Wherda Elisabeth Hofje, yang terletak di Jalan Krekot 1, Batu Tulis, Jakarta Pusat. Panti hanya bisa menampung tujuh orang dan tidak bisa meneruskan pelayanan lagi. Kepala Paroki Katedral saat itu, Romo Peter Van Lersel SJ meminta Yayasan Melania untuk meneruskan karya pelayanan dan meminta mereka membangun panti lain. Permintaan itu disambut baik pengurus Yayasan Melania. Lalu, mereka membeli sebidang tanah sekitar enam ribu meter persegi. Di atas lahan itulah, Panti Wherda Melania berdiri sampai saat ini.
Menyesuaikan Diri
Panti Wherda Melania berkapasitas tampung 55 orang. Saat ini, mereka yang tinggal berjumlah 44 orang. Sebagian besar dari mereka tidak menikah. Tujuh belas orang di antaranya menempati kamar khusus. Mereka adalah penghuni yang hanya bisa berbaring di tempat tidur. Salah satunya, Oma Penny Hirawan yang sudah berusia 97 tahun. Sementara 27 lainnya masih bisa mandiri dan mengikuti aturan dan jadwal yang ditetapkan pengurus panti.
Pimpinan panti, Margaretha Maria Ning Sunarwinto, menjelaskan bahwa setiap pagi – khususnya Senin, Rabu dan Sabtu – penghuni yang masih bisa mandiri mengikuti kegiatan senam. Usai senam, mereka mengadakan ibadat pagi di kapel. Pada hari Selasa dan Jumat mereka merayakan Ekaristi, dipersembahkan oleh imam dari Paroki St Nikodemus Ciputat. Sementara pada hari Minggu, Ekaristi dipimpin secara bergantian oleh beberapa imam yang berkarya di komunitas atau rumah pendidikan di Keuskupan Agung Jakarta (KAJ), termasuk Romo Antonius Nugroho Bimo Prakoso OFM yang saat ini bertugas sebagai moderator Yayasan Melania.
Sekali seminggu, yakni pada hari Senin, mereka juga mengadakan pertemuan untuk mendengarkan sharing, keluhan dan usulan para oma dan opa.
Untuk tinggal di panti ini seseorang harus berusia 60 tahun ke atas, dalam keadaan sehat, dan keluarga mereka mau terlibat untuk membiayai kebutuhan sehari-hari. Besarnya biaya tergantung latar belakang setiap penghuni.
Saat pertama datang penghuni diberi kesempatan selama tiga bulan untuk belajar menyesuaikan diri. Jika dalam waktu tiga bulan tidak mampu beradaptasi, pengurus panti akan mengembalikan mereka kepada keluarga atau pihak yang menjadi penanggung jawab.
Tulus Melayani
Sejak awal berdiri, Uskup Agung Jakarta saat itu, Mgr Leo Soekoto SJ selalu berpesan agar Yayasan Melania selalu mengutamakan pelayanan sosial. Para pengurus diminta mengutamakan kesabaran dalam melayani para penghuni, dengan pendekatan personal. “Kalau tidak sabar, akan cepat menyerah dan putus asa,” kata Ning.
Yudiani menuturkan, selama tujuh tahun melayani di tempat ini, ia mengaku banyak belajar untuk bersabar. Ia merasa bahwa mengurus orang tua tidak jauh beda dengan mengurus anak-anak. “Mereka kembali seperti anak-anak,” ujarnya.
Bagi Pauline, pengalaman berkarya di panti ini membuatnya bahagia. Apalagi saat berbagi dan mendengarkan curhat dari para penghuni. Di panti ini, Pauline bertu gas mengurus menu. “Karena saya senang masak, saya mewujudkan pelayanan saya dengan mengatur menu untuk oma dan opa,” ungkapnya. Sementara, Sri Ambar mengakui bahwa melalui pelayanan ini, ia bisa melihat dan membayang kan realitas yang akan dialaminya saat usia senja.
Saat ini, pengurus panti berjumlah delapan orang. Mereka memberikan pelayanan sesuai dengan profesi dan keahlian mereka masing-masing. Di antara mereka ada yang berprofesi sebagai dokter dan bertugas melayani di bidang kesehatan. Bidang-bidang lain yang dikelola adalah keuangan, dan menu makanan. “Para pengurus tidak menerima gaji. Kami melayani tanpa mengharapkan imbalan apa pun,” ungkap Ning.
Dalam rentang waktu 1980-1998, Yayasan Melania pernah bekerja sama dengan Kongregasi Suster-Suster Penyelenggaraan Ilahi (PI), Abdi Kristus (AK) dan Suster-Suster Notre Dame (SND).
Berserah Diri
Seorang penghuni panti, Maria Veronika Magdalena Rochapiningsih mengisahkan, sejak menjadi anggota panti pada 21 Juli 2013, pertama-tama ia mengenali karakter teman-teman penghuni. Perempuan kelahiran Cepu, Jawa Tengah, 1 April 1941 ini, menyadari bahwa penghuni panti berasal dari berbagai latar belakang, termasuk etnis dan budaya. “Saya tinggal di sini bukan untuk mengubah orang, menggurui orang. Saya menghayati kehidupan di sini sebagai kesempatan untuk belajar,” ungkap lulusan Fakultas Pertanian IPB ini.
Setiap hari perempuan sepuh yang akrab disapa Oma Maria ini selalu berdoa agar Tuhan tidak membiarkan dirinya khawatir. “Tuhan bantulah saya, agar saya selalu percaya pada penyelenggaraan- Mu,” demikian doa Oma Maria.
Sementara Opa Yosef Utomo mengungkapkan bahwa dirinya merasa bahagia. Opa yang tidak menikah ini berusaha untuk mengikuti semua peraturan. “Meskipun kami di sini sudah tua, tapi gak bisa semau gue. Kami hidup sesuai dengan aturan,” ungkap pria kelahiran Surabaya, 13 September 1935 ini. Meskipun usianya sudah lanjut, namun ia berkomitmen untuk tetap bisa berbagi dan melayani sesama penghuni sesuai dengan kemampuan. “Saya percaya Tuhan selalu menyertai saya. Itulah yang menguatkan saya,” katanya.
Ning berharap para penghuni, yang biasa dipanggil Oma dan Opa, kerasan sebagai satu keluarga yang bahagia. Umat Paroki St Stefanus Cilandak ini juga berharap agar keluarga selalu berkunjung, agar Oma dan Opa tidak merasa ditinggalkan.
Celtus Jabun