HIDUPKATOLIK.com – Salah satu parameter tugas perutusan Gereja di tengah dunia adalah batas-batas teritorial. Selain batas-batas teritorial, Ensiklik Redemptoris Missio (RM) juga menyebutkan dua parameter lain, yaitu dunia baru, termasuk fenomena sosial baru, dan sektor kultural (bdk. RM art.37). Ensiklik yang dipromulgasikan Bapa Suci Yohanes Paulus II pada 7 Desember 1990 ini menggaris bawahi bahwa tugas perutusan Gereja tak mengenal batas. Namun, parameter dibutuhkan untuk memperoleh pemahaman akan situasi yang nyata dalam karya misi. Secara khusus, yang disebut wilayah yang mesti mendapat perhatian khusus adalah Afrika, Amerika Latin, Asia, dan Oseania.
Di Indonesia, gema ensiklik itu masih terasa hingga kini. Batas-batas teritori Gerejani memang sungguh dibutuhkan untuk memperoleh pemahaman akan situasi di medan karya, sekaligus meningkatkan pelayanan dan kerasulan. Komunitas terkecil umat beriman dalam Lingkungan dimekarkan. Stasi-stasi dan calon-calon paroki bermunculan. Paroki-paroki mulai beranak-pinak. Bahkan, tarekat religius pun mengepakkan sayap dengan membuka biara-biara baru, hingga berdiri sebagai provinsi mandiri. Pemekaran tarekat yang paling anyar dilakukan Ordo Fratrum Minorum (OFM). Kustodi para Saudara Hina Dina Fransiskan Papua secara definitif resmi menjadi Provinsi St Fransiskus Duta Damai pada 14 September 2017.
Jelas bahwa anjuran Bapa Suci Yohanes Paulus II terkait batas teritorial amat berguna dalam reksa kerasulan Gereja. Maka, dengan berdirinya Provinsi OFM Papua tersebut, diharapkan kualitas dan kuantitas pelayanan Fransiskan di Bumi Cenderawasih semakin meningkat. Isu-isu besar yang mengemuka sebagai persoalan di Papua rasanya menjadi “pekerjaan rumah” bagi para penghayat spiritualitas St Fransiskus Assisi ini; mulai persoalan kemiskinan, keterbatasan sarana-prasarana, ketertinggalan, masalah pendidikan, polemik interpretasi sejarah yang beranekaragam, lingkungan hidup, pemberdayaan warga asli Papua, hingga wacana pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terus berlangsung. Lebih dari semua itu, bagaimana Gereja menampilkan wajahnya dalam relasi antara Jakarta-Papua.
Berdirinya Provinsi OFM Papua ini menjadi harapan baru bagi Gereja. Sejak 1937, misi para Saudara Fransiskan di Papua dimulai. Secara kultural, pasti sudah banyak studi dan pengalaman hidup di tengah umat. Menjadi rasul di medan misi yang tak serta merta mudah, adalah panggilan di garda depan untuk turut serta melukis wajah Gereja di tengah dunia. Tonggak-tonggak sejarah dan semangat juang para pendahulu yang telah menjejakkan kaki di sana hendaknya juga digali dan dicecap sebagai oase rohani di tengah medan pelayanan.
Pengalaman mengepakkan sayap pelayanan para Saudara Fransiskan ini juga menjadi pemantik semangat bagi umat beriman di tempat lain untuk secara pribadi atau komuniter memaknai pelayanan masing-masing. Dalam berbagai karya pelayanan, kita dapat selalu berkaca pada heroisme para misionaris yang gigih merasul di daerah misi. Pun tak lupa mempersenjatai diri dengan aneka keutamaan Kristiani sebagai bekal berpelayanan. Kita dapat mengenakan juga parameter, seperti dalam Ensiklik Redemptoris Missio, guna meningkatkan kuantitas dan kualitas pelayanan. Harapannya, kita semua berani mengepakkan sayap pelayanan tanpa merasa takut jatuh dalam karya-karya kita. Selamat berkarya, Saudara!
Redaksi