HIDUPKATOLIK.com – Akhir-akhir ini, berita tentang ISIS (diterjemahkan menjadi “Negara Islam Irak dan Suriah) terus-terusan menjadi berita besar di hampir semua media massa. Harus diakui, ISIS memang layak diberitakan. Fenomena yang dihadirkannya luar biasa. Jika kelompok-kelompok radikal Islam di seluruh dunia berdiri mirip sel-sel kecil karena ditekan oleh pemerintahan demokratis, maka ISIS pada dasarnya justru mengumpulkannya. Di kota kecil di Irak, ISIS mengundang orang dari seluruh penjuru dunia untuk datang, baik dari negara dunia ketiga (termasuk Indonesia) maupun dunia maju.
ISIS menampilkan dua, atau bahkan lebih wajah yang berbeda. Ada wajah kejam luar biasa. Tapi ada pula wajah kesejahteraan, yang menjanjikan penghidupan mewah. Ini juga yang menjadi daya tarik bagi banyak freedom fighters asing yang di negaranya sendiri telah memiliki profesi dan penghasilan baik.
Selain mengandalkan donasi, ISIS juga menguasai ladang-ladang minyak yang satu persatu direbut setelah berkoalisi dengan gerilyawan setempat. Itu berarti, ada faksi ISIS yang tidak tampil garang dan bersenjata, tapi berbaju pantalon yang licin di pusat-pusat keuangan dunia. Juga ada faksi yang bersliweran di dunia maya, dalam rangka membangun pencitraan. Menghadapi itu, pasukan sekutu dari berbagai negara membombardir ISIS. Demikian pula Irak, Suriah, dan kini Turki, susah-payah menghadapi mereka. Sayangnya, negara-negara itu tak kompak sehingga menjadikan gerombolan ini, jika bisa dibilang demikian, semakin percaya diri dan mulai ofensif.
Relevansi bagi Indonesia mulai terasa. Sudah ada berita tentang beberapa kelompok Muslim yang mengikrarkan sebagai “pro-ISIS”. Juga sudah ada berita tentang beberapa orang Indonesia menghilang, pergi ke Irak. Beberapa kali penyergapan telah dilakukan aparat dengan hasil positif: menyita dokumen, bendera serta senjata. Jangan lupa, ISIS juga telah pernah menyasar Indonesia melalui media dengan video yang mengundang orang untuk bergabung.
Indonesia, kalau mau jujur, amat terbuka untuk disasar oleh faham keagamaan yang memainkan jurus transendental plus profan secara bersamaan. Maksudnya, menjanjikan pembentukan negara berdasarkan ajaran Islam dan sekaligus kaya- raya. Mereka yang baru melek agama serta memiliki kemampuan ekonomi rendah, tentu bisa terpikat. Dan kalangan ini, ada di mana-mana, tidak hanya di kantong-kantong Islam yang dikenal keras di negeri ini.
Relevansi bagi Komunitas Katolik Indonesia juga mulai terasa. ISIS yang kini aktif ribuan kilometer dari negeri kita sudah terasa dekat. Walau belum mengancam secara stratejik, tetapi bibit-bibitnya sudah terasa. Saat gereja semakin sulit dibangun, perusakan gereja meruyak serta kecurigaan terhadap orang-orang Kristiani tetap tinggi, maka itulah kualitas kehidupan keagamaan di mana ISIS akan dengan mudah berdiri di atasnya dan kemudian mengakumulasikannya.
ISIS memiliki ideologi yang sama dengan kelompok radikal keagamaan yang pernah dan masih aktif di Indonesia. ISIS juga punya metode perjuangan yang sama saat berbicara tentang politik, kekuasaan dan negara. Artinya, kemungkinan besar Komunitas Katolik Indonesia memang tidak memperoleh “musuh baru“. Tetapi, yang ada adalah hadirnya “musuh” lama namun dengan kekuatan lebih besar.
Apa yang perlu kita lakukan? Sejauh ini, telah ada beberapa pertemuan diadakan dan beberapa kajian dilakukan terkait fenomena ISIS dan bahaya latennya bagi Komunitas Katolik Indonesia. Namun, sejauh ini belum ada langkah kongkret dilakukan. Perihal langkah spesifik tersebut, bisa saja melalui pembuatan surat edaran KWI perihal bahaya ISIS dan hal-hal teknis yang perlu dilakukan oleh umat Katolik. Hal teknis itu, antara lain: selalu membuka kontak dengan aparat serta selalu menginformasikan situasi yang terjadi di lingkungan sekitar kepada aparat.
Jika langkah spesifik itu dianggap belum perlu dilakukan, mungkin karena dikhawatirkan akan mengundang masalah berikutnya, maka ada baiknya KWI mengingatkan umat untuk melakukan langkah-langkah umum dengan menebalkan kehidupan plural dan demokratis yang justru didukung oleh sebagian besar umat Islam di Indonesia.
Adrianus Meliala