HIDUPKATOLIK.com – Dengan kondisi keluarga yang sangat miskin, ia menempuh pendidikan hingga sarjana serupa mimpi di siang bolong. Vincent Siboe membuktikan itu bukan utopia.
Jika kau menginginkan sesuatu, maka seluruh alam semesta akan bersatu mendukungmu.” Ini kalimat yang ditulis novelis ternama asal Brasil, Paulo Coelho, dalam novel ”Sang Alkemis”. Kalimat pemicu semangat dan penyemai harapan ini rasanya tepat bila dilekatkan pada perjalanan hidup Vincent Siboe.
Vincent, demikian biasa ia disapa, adalah pria asal Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Tujuh puluh tahun lalu, Vincent hanyalah bayi kecil yang lahir di tengah keluarga yang sangat miskin. Ayahnya, keturunan Tinghoa yang merantau dan menikah dengan ibunya, asal Manggarai. Sehari-hari ayahnya bekerja sebagai penambal perabot rumah tangga. Sementara sang ibu, seorang ibu rumah tangga. Keluarga ini bahkan berpindah-pindah tempat tinggal, tergantung siapa yang berkenan menyewakan lahan atau rumah.
Keadaan ekonomi keluarga saat itu sungguh sangat terbatas, untuk makan sehari saja tidak cukup. Terdesak kebutuhan keluarga mendorong ayah Vincent untuk mencoba hal lain. Ia beralih profesi sebagai penjahit. Sementara sang ibu meski terhimpit berbagai kesulitan dia selalu menasihati anak-anaknya agar jangan pernah meninggalkan Tuhan. ”Setiap malam ibu selalu mengajarkan dan mengajak kami berdoa rosario. Itu sudah menjadi kebiasaan keluarga kami,” tandas Vincent mengenang.
Membantu Di Pastoran
Di tengah kesulitan yang mereka hadapi, ayah dan ibu Vincent menyadari pentingnya pendidikan sebagai jalan ke luar. Mereka berharap suatu hari anak-anak bisa mengangkat derajat keluarga. Itulah pesan yang selalu diingat Vincent dan biasa disampaikan sang ibu.
Maka setiap pulang sekolah sewaktu masih di Sekolah Dasar, Vincent membantu orangtuanya menjual tembakau. Sementara ketika sudah di bangku SMP ia sering membantu di pastoran. Pekerjaan utamanya membersihkan ikan yang akan dimasak sebagai lauk oleh Romo paroki. Sebagai imbalan ia diberi sejumlah uang. Uang itulah yang ia pakai membayar sekolah.
Selepas SMP, Vincent merantau ke Makassar, Sulawesi Selatan. Di tanah Daeng ia sempat melanjutkan sekolah di SMA Katolik Cenderawasih Makassar. Tapi lagi-lagi, karena suplai biaya sangat minim, ia putus di tengah jalan. Tak ada pilihan, selain pulang ke Manggarai. ”Saya tidak bisa bertahan untuk tinggal di sana. Jalan satu-satunya ya pulang,” ujar Vincent.
Di Manggarai ia bekerja sebagai penjual obat antibiotik. Saban hari ia berkeliling dari kampung ke kampung menjajakan barang jualannya. ”Target saya waktu itu hanya satu, bagaimana mendapatkan uang agar bisa melanjutkan sekolah. Jadi soal panas terik dan rasa lapar, bagi saya itu sudah biasa, yang penting dapat duit,” demikian Vincent berkisah.
Setelah uang terkumpul dan dirasa cukup, Vincent kembali ke bangku pendidikan. Kali ini SMA Katolik Suryadikara Ende, Flores jadi tujuan. Di sekolah inilah ia benar-benar bertaruh untuk masa depan. Ia giat belajar agar masuk kelas paspal (sekarang kelas IPA). ”Saya belajar mati-matian supaya bisa masuk kelas itu karena orangtua berpesan supaya saya jadi insinyur,” ujar pria kelahiran 22 Februari 1945 ini.
Gema pesan orangtua “kamu harus jadi insinyur” terpatri kuat dalam hati Vincent juga ketika ia merantau ke Jakara setamat SMA. Di Jakarta Vincent melanjutkan pendidikannya di Univesitas Krisnadwipayana Jakarta, saat itu Vincent mengambil Jurusan Teknik Sipil.
Titik Balik
Harapan untuk meraih sarjana, atau dalam bahasa orangtuanya disebut insinyur, terjawab sudah. Sekarang tinggal mencari kerja. Maka Vincent memutuskan kembali ke tanah kelahirannya. Setibanya di Manggarai, ia mendapat tawaran menangani proyek pembuatan jalan dari Gubernur NTT El Tari (1966- 1978). Vincent dipercaya El Tari menggodok dana sebesar Rp 22 juta untuk pembangunan jalan dan jembatan lintas Ruteng hingga Lembor (waktu itu masih masuk Kabupaten Manggarai).
Vincent yakin kemudahan mendapatkan pekerjaan tidak lepas dari kontribusi sang ibu. ”Saya yakin apa yang saya dapatkan itu berkat doa ibu. Ia selalu berdoa agar kami semua bisa mendapatkan yang terbaik untuk masa depan kami,” kenang ayah tiga anak ini.
Setelah proyek di Manggarai rampung pada 1973 , Vincent memutuskan kembali ke Jakarta. Perlahan namun pasti ia mulai mendapatkan banyak proyek di Jakarta. Empat tahun kemudian, ia mendirikan PT Cipta Taruna yang bergerak di bidang konstruksi bangunan.
Sampai sekarang, melalui badan usahanya, Vincent dipercaya oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) membangun beberapa rumah sakit. Sebut saja Rumah Sakit Angkatan Laut Mintohardjo Jakarta Pusat, Rumah Sakit Pusat Angkatan Udara Halim Perdana Kusuma Jakarta Timur, dan Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto Jakarta.
Pengalaman pahit-getir masa kecil pun selalu menggerakkan hati suami dari Lucia Yvonne. Hal itu mendorong Vincent untuk membantu mereka yang susah, terutama yang terkena gempa bumi atau bencana alam. Musim penghujan 2014, ia membagikan sembako kepada korban banjir di Muara Baru, Bekasi, dan Tangerang. Sementara pada medio September 2014, ia bekerja sama dengan Yayasan Melania Jakarta melakukan bakti sosial ke desa Poco di Manggarai, saat itu diselenggarakan pemeriksaan mata gratis bagi anak-anak tak mampu. Pada 2007, saat longsor menimpa wilayah Gapong, Manggarai, ia pun mengirimkan bantuan untuk para korban.
Rupanya kutipan Paulo Coelho itu tidak sia-sia. Bermula dari bukan siapa-siapa, tetapi karena punya niat yang kuat, diiringi kerja keras dan dukungan semesta, Vincent bisa barhasil.
Vincent Siboe
TTL : Manggarai, 22 Februari 1945
Istri : Lucia Yvonne
Anak : Stefanus Siboe, Andreas Siboe, Maria Martina Siboe, Mario Agustinus Siboe
Pendidikan
• SD Ruteng 1
• SMP Tubi Ruteng
• SMA Katolik Suryadikara Ende
• Universitas Krisnadwipayana Jakarta
Pekerjaan
• Kontraktor PT. Cipta Taruna (1977-sekarang)
• Ketua Ikamada Jakarta (2015- sekarang)
• Penasehat Forum Flobamora (2011-sekarang)
Odorikus Holang