HIDUPKATOLIK.com – Di sekolah ini, siswa bandel akan dikirim ke Lembah Doa Mageria. Para siswa berprestasi dalam bimbingan guru-guru yang berbekal pengalaman, bukan ijazah.
Pagi, Kampung Paga cerah. Mentari baru saja muncul dari balik awan. Desa di 45 kilometer arah Barat Kota Maumere ini makin indah. Panorama alam bukit nan hijau membentang di sebelah Barat. Seindah senyum ramah warga Paga.
Suasana Kampung Paga, desa di wilayah Kecamatan Paga, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT), pada Sabtu, 28/3, itu justru semakin riang. Menjelang pukul 11.00, sayup-sayup terdengar dentuman drum dan suara klakson kendaraan bersaut-sautan. Warga yang sedang melintas di Jl Trans Maumere-Ende terheran-heran. Para ibu pun keluar dari rumah, tampak antusias ingin melihat apa yang terjadi.
Remaja berseragam Sekolah Menengah Atas (SMA) menumpang sebuah truk. Dari truk itu pula, menggema lagu Gemu Fa Mi Re. Suasana kampung mendadak menjadi riang gembira. Dari atribut yang dikenakan, mereka adalah siswa SMA Katolik Alvarez Paga. Sambil mengangkat trofi, mereka bersorak-sorai gembira. Itu adalah pawai kemenangan setelah menjuarai lomba koor tingkat SMA se- Kabupaten Sikka.
Misionaris Abad XVI
Anak-anak Alvarez, begitulah sebutan untuk siswa Sekolah Alvarez. Sekolah ini berada di bawah naungan Yayasan Santa Maria Carmel Flores, yang didirikan Ordo Saudara-Saudara Santa Perawan Maria dari Gunung Karmel (OCarm).
Awalnya, sekolah ini didirikan dan dikelola oleh Serikat Jesus. Tetapi, sekitar 1992 diserahkan kepada OCarm. Pemilihan nama Alvarez, bukan tanpa alasan. Alvarez adalah nama imam Jesuit yang berlabuh di Paga pada pertengahan abad ke-16. Di tempat inilah, ia mengajarkan iman Katolik kepada anak-anak. Sekarang, Sekolah Alvarez terdiri dari dua jenjang sekolah, yakni Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan SMA.
SMA Alvarez resmi berdiri pada 2002. Tercatat sebagai kepala sekolah pertama adalah Br Vianey OCarm. Sekarang, diampu Romo Hermenegildus Paskalis Mame OCarm. Romo Paskalis dibantu 29 tenaga guru yang pada umumnya bukan lulusan sekolah guru, dimana lima diantaranya merupakan Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Romo Paskalis, mengungkapkan bahwa biaya operasional sekolah menjadi persolanan yang tidak mudah dikelola. “Kami tidak bisa menggantungkan pemasukan dari orangtua murid, karena banyak orangtua tidak mampu. Setiap bulan, kami selalu pontang-panting mencari uang untuk membayar gaji guru, sekitar 60-70 juta per bulan. Belum lagi harus membantu kekurangan anggaran SMP Alvarez yang kadang bisa mencapai 100 juta,” ujar Romo Paskalis.
Meski banyak kendala, para guru Sekolah Alvarez tetap memelihara semangat pengabdian. Usai sekolah sering beberapa guru tidak langsung pulang ke rumah. Mereka memberikan pelajaran tambahan kepada anak-anak yang tertinggal dalam berlajar. “Hal itu saya lakukan, supaya mereka bisa mengikuti pelajaran selanjutnya. Saya kadang dimarahi suami karena terlambat pulang,” ujar Maria Gemi, guru Matematika.
Gema Alvarez
Meski jauh dari kota kabupaten, Sekolah Alvarez merupakan sekolah unggulan. Banyak orangtua berebut menyekolahkan anaknya di tempat ini. “Kami mengutamakan cinta kasih. Walau orangtua murid kurang mampu, asal anak punya niat sekolah, kami akan usahakan biayanya,” kata Romo Paskalis.
Untuk mengatasi kekurangan biaya, komite sekolah bekerja sama dengan Yayasan Santa Maria Carmel mencari beasiswa ataupun orang tua asuh dari luar Kabupaten Sikka. Alhasil, banyak orang mau membantu. Berkat bantuan itu, Sekolah Alvarez bisa menampung anak-anak kurang mampu dari Kecamatan Paga, juga kecamatan Mego dan Lela.
Dengan adanya beasiswa, anak-anak Sekolah Alvarez bisa fokus belajar dan meraih prestasi. Hasilnya, Sekolah Alvarez pernah meraih beberapa penghargaan, diantaranya menjuarai lomba seni dan budaya dalam Karnaval Provinsi NTT di Maumere 2012, menjuarai lomba drum bandtingkat SMA se-Kabupaten Nagakeo pada 2013, dan juara umum bidang olahraga Kabupaten Sikka pada 2014.
Spiritualitas Karmelit
Saat ini siswa yang belajar di Sekolah Alvarez tercatat 580 orang, SMP sebanyak 200 orang, dan SMA berjumlah 380 orang. Seperti anak-anak pada umumnya, kadang para siswa susah diatur. Awalnya para guru sedikit keras dalam mendidik. “Saya sering menegur anak-anak bukan cuma sekali. Lama-kelamaan kami bosan juga. Kemudian kami mencari cara lain dalam menegur siswa yang bandel,” ujar Romo Paskalis. Ketika anak-anak berbuat salah, pertama-tama kepala sekolah akan menegur. Bila teguran itu tidak digubris, orangtua murid akan dipanggil untuk diajak berdiskusi.
Apabila cara itu tidak berhasil, kepala sekolah akan mengirim anak ini ke Lembah Doa Mageria, Kecamatan Paga, Kabupaten Sikka. Di tempat itu, mereka akan mengikuti cara hidup biarawan Karmelit, meditasi, misa harian, silentium dan aturan lain di bawah bimbingan Romo Thomas Aquino Gheta OCarm.
Anak-anak ini akan tinggal satu minggu sebelum dikembalikan lagi ke Sekolah. “Kebanyakan dari mereka yang pulang dari lembah doa langsung berubah, kapok karena di tempat itu mereka tidak bisa menonton televisi atau tidak bisa bermain bebas seperti teman-teman lainnya,” jelas Romo Thomas.
Setiap hari, sebelum memasuki kelas, para siswa dibiasakan berdoa bersama. Doa-doa khas Karmelit seperti doa penyerahan harian, doa bagi karya misi, doa bagi berbagai panggilan Ordo Karmel dan doa kepada Santa Perawan Maria dari Gunung Karmel. “Doa-doa ini harus dihafal para siswa Katolik. Saat ibadah pagi, mereka akan diminta secara bergiliran untuk memimpin ibadat dengan mengucapkan doa-doa tersebut,” tambah Romo Paskalis.
Tidak semua siswa beragama Katolik. Ada siswa beragama Kristen dan Islam. Pada Kamis dan Jumat pertama, para siswa Katolik mengikuti Misa. Sedangkan Jumat, Siswa yang beragama Islam diberi kesempatan untuk Shalat Jumat.
Yustinus H. Wuarmanuk