YESI Hendriani berasal dari Jawa Tengah. Namun, ia tumbuh di Manado dan saat kuliah tinggal di Bogor, Jawa Barat. Yesi merasa, bahwa masyarakat Manado lebih toleran daripada masyarakat di Bogor. Ketika sedang mencari kamar kos, sang pemilik kos menanyakan tentang agamanya.
Selama 20 tahunan tinggal di Manado, Yesi belum pernah megalami perlakuan kurang mengenakan terkait masalah toleransi. Hal itu sangat berbeda ketika berada di Bogor. “Ibu kos mungkin merasa aneh, ketika melihat ada orang Manado yang menggunakan jilbab,” ungkap Yesi dalam diskusi buku Cerita untuk sahabat di Kantor Konferensi Waligereja Indonesia, Cikini, Jakarta Pusat, 14/10.
Buku Cerita untuk Sahabat berisi kumpulan tulisan terbaik dalam lomba menulis esai “Surat untuk Sahabat” yang dilaksanakan oleh Komisi Kepemudaan KWI menyambut kegiatan Asian Youth Day 2017. Ada 20 tulisan terbaik dari lomba tersebut yang diterbitkan menjadi buku oleh penerbit Obor ini.
Indonesia adalah negeri majemuk. Kemajemukan ini mengakar dalam sejarah terbentukknya Indonesia. Romo Baskoro Tulus Wardaya menyampaikan, itulah yang menjadi keistimewaan Indonesia. Kondisi kebegeragaman sudah menjadi ciri khas Bangsa Indonesia yang merupakan negara kepulaua. Persebaran bangsa Austronesia dan pertemuan dengan Melanesia membuat banyak persamaan dalam bahasa, pakaian maupun kuliner dari Pulau Madagaskar, Kepulauan Nusantara sampai Christmas Island di Pasific.
Romo Baskara menyampaikan, kegiatan diskusi ini adalah sebuah dialog yang baik karena orang-orang yang hadir beragam agama, latar belakang serta asalnya. “Dengan semangat Konsili Vatikan II, kegiatan ini bisa dilaksanakan juga di daerah-daerah sampai juga ke tingkat paroki-paroki.”
Ditanya tentang isi buku, Romo Baskara berpendapat bahwa buku pantas untuk disimak dan dipelajari lebih lanjut. Ditulis oleh anak-anak muda berdasarkan pengalaman langsung mereka, hidup dan berinteraksi dengan agama-agama lain, baik secara individu dalam keluarga maupun sosial dalam persahabatan di masyarakat.
Romo Baskoro menambahkan, untuk menghindari perpecahan antar agama, untuk menghindari agama yang digunakan sebagai alat politik, perlu ada kerjasama penganut berbagai agama untuk merlakukan proyek tertentu. “Harus ada ‘proyek bersama’: mirip pada pendiri republik kita dulu dan mirip dengan apa yang dilakukan teman-teman muda dalam rangka menerbitkan buku ini.”
Sementara itu, Mardiyah Chamin, menduga bahwa 20 tulisan dalam buku “Cerita Untuk Sahabat” banyak terjadi di Indonesia. Tetapi seringkali persoalan multikultural tidak dibicarakan terbuka di forum resmi. Persoalan lain menurutnya, kemampuan masyarakat dalam beragumen. “Ketika ada persoalan, tidak dibahas mendalam tetapi terhenti dan tidak saling campuri atau bahas perbedaan,” kata Direktur Eksekutif Tempo Intitute ini.
Mardiyah sangat mengapresiasi terbitnya buku ini serta diskusi yang dilakukan hari ini. Langkah ini sebagai daya upaya untuk mengangkat dan membicarakan persoalan-persoalan multikultural di Indonesia. “Kegiatan diskusi ini adalah inisiatif awal yang baik. Tantangannya adalah bagaimana untuk menyebar luaskan ke sekolah-sekolah ataupun kampus-kampus atau bahkan sampai di kampung-kampung. Lebih mudah bila dilakukan di kota tapi akan ada tantangan dan lebih sulit ketika dilakukan di kampung-kampung.”
Diskusi buku ini merupakan kerjasama Komisi Kepemudaan KWI, Indonesia untuk kemanusiaan (IKa), dan Penerbit Obor. Hadir sebagai juga narasumber adalah Filisianus Richardus Victor pemenang lomba menulis esai “Surat untuk Sahabat”.
Pingkan Serafien