HIDUPKATOLIK.com – Diskusi kelompok kategorial yang kebetulan saya pimpin malam itu sebenarnya membicarakan tentang mengelola perubahan (change management) dalam kaitan dengan organisasi. Ketika dibuka sesi tanya jawab pertanyaan yang justru paling mencuat adalah tentang peran Katolik; umat dan hirarki dalam kehidupan. Pada saat membicarakan peran Katolik, ranah politik dan aktivitas Katolik mainstream,seperti pendidikan, kesehatan dan tanggung jawab sosial, menjadi diskusi yang ramai.
Menyoal politik, diskusi tanpa ujung pangkal; perlu tidaknya keterlibatan umat Katolik dalam politik praktis, entah sebagai pejabat negara maupun wakil rakyat. Ujung satu berpendapat umat Katolik harus dan perlu terlibat politik praktis. Sementara ujung yang lain mengusung cerita masa lalu tentang “kejayaan” tokoh-tokoh Katolik, seperti I.J. Kasimo, Frans Seda, Cosmas Batubara, J.B. Sumarlin, atau Benny Moerdani.
Pangkal yang satu justru berkebalikan dengan ujung-ujungnya. Mereka kontra politik. Umat Katolik tidak perlu terjun dalam politik praktis. Hirarki maupun ormas Katolik tidak perlu melakukan lobi-lobi politik agar ada umat yang menduduki kursi menteri. Ketika kehidupan politik sungguh hitam seperti terjadi dalam beberapa dekade ini, keterlibatan umat Katolik dalam politik praktis justru kontra produktif.
Ketika ada tokoh Katolik yang terjun dalam politik praktis dan melakukan tindakan tidak terpuji, tentu akan berimbas kepada umat Katolik secara lebih luas. Paling bagus adalah tidak terlibat dalam politik praktis, namun “mempengaruhi” kehidupan politik secara keseluruhan. Sebuah ungkapan yang terlampau susah untuk dicerna.
Alhasil, ketika ujung satu berbeda mencolok dengan pangkal satunya, diskusi menjadi tanpa kesimpulan. Persis sama dengan diskusi dalam kelompok Katolik yang lain ketika membicarakan politik. Pun dalam hirarki Gereja, pergulatan tentang perlu tidaknya Gereja terlibat dalam politik praktis menjadi diskusi tanpa kesimpulan. Ketika ada anggota hirarki yang terlibat jauh dengan politik, dikhawatirkan akan mempengaruhi kehidupan Gereja. Namun ketika hirarki tidak terlibat dalam politik praktis, sebagian umat akan mempertanyakan aksi nyata hirarki dalam menghadapi dinamika politik kontemporer.
Dua puluh empat Maret 1980, Uskup Agung Oscar Romero sedang mempersem bahkan Misa Kudus. Di tengah kekhusyukan, seseorang menyeruak lalu mengokang bedil. Bedil menyalak. Sebuah peluru tepat menembus dada Sang Uskup Agung. Tepat di atas altar, darahnya membasahi rumah Tuhan. Sejarah kemudian mencatat, kematian Uskup Agung Romero memberi inspirasi rakyat El Salvador untuk melawan pemerintah tiran. Gereja menjadi sumber inspirasi sekaligus dorongan kekuatan kepada rakyat Amerika Latin untuk terjun dalam politik praktis.
Pada 2015 ini, tepat 35 tahun kematian Uskup Agung Romero. Berkaca kepada aktivitas Uskup Agung Romero dan berbasis diskusi hangat menyoal peran Katolik dalam ranah politik, saya setuju apabila Katolik; umat dan hirarki, terjun dalam politik praktis. Sudah saatnya Gereja memberi inspirasi dan dorongan kepada umat agar terjun berpolitik.
Lalu apa yang perlu dimiliki agar peran Katolik dalam berpolitik menjadi signifikan? Untuk umat, maka ia wajib memiliki integritas utuh, kompetensi jauh di atas rata-rata, dan kemampuan ulung melakukan negosiasi politik. Jika umat Katolik ingin diperhatikan, bahkan dijadikan rujukan mayoritas, maka prasyarat ini harus dipenuhi.
Untuk tingkat organisasi, maka organisasi kader bernama PMKRI, Pemuda Katolik, WKRI, dan FMKI harus solid, memiliki sistem kuat, dan dipimpin orang yang memiliki visi besar, terutama PMKRI dan Pemuda Katolik yang terlihat masih sempoyongan tubuh organisasinya. Ormas Katolik memiliki nama organisasi dan reputasi bagus masa lalu, namun lowong dalam jumlah anggota yang berkualitas dan aktivitas mencerahkan, maka penguatan organisasi wajib dilakukan. Peran Katolik dalam ranah politik dengan demikian berbicara.
A.M. Lilik Agung