HIDUPKATOLIK.com – Penderitaan dan kekerasan mewarnai perjalanan hidup Germaine. Ia mendapat mukjizat sungai terbelah kering sehingga ia bisa menyeberang dengan aman.
Pada suatu hari, Germaine membawa domba-domba piaraannya ke padang rumput. Pekerjaan ini merupakan aktivitas hariannya. Ketika ternak piaraannya merumput, dari kejauhan ia mendengar dentang genta gereja. Germaine pun meninggalkan dombanya. Ia berlari agar bisa tiba di gereja tepat waktu.
Sayang, sungai yang biasa ia lewati sedang tidak bersahabat. Airnya sedang tinggi dan arusnya pun deras. Tak ada jalan lain, rute tersebut adalah satu-satunya jalur tercepat sampai tujuan. Germaine bingung dan takut. Meski demikian, ia memberanikan diri untuk melintas.
Tak dinyana, setelah ia membuat tanda salib, air sungai terbelah menjadi dua. Germaine berjalan di tanah yang kering dan sampai ke tujuan dengan selamat. Kejadian tersebut mirip kisah orang Israel di bawah pimpinan Musa melintasi Laut Merah setelah keluar dari Mesir.
Mukjizat itu segera tersebar ke pelosok desa. Banyak orang kagum dan menganggap gadis penggembala domba itu sebagai orang kudus. Namun peristiwa tersebut justru membuat ibu tirinya, Armande de Rajols iri dan berang. Perempuan tua itu mencari akal untuk menjatuhkan harga diri dan simpati masyarakat terhadap anak tirinya.
Beragam Penderitaan
Germaine tak sempat mengenali wajah ibu kandungnya. Sang ibu meninggal tak lama setelah melahirkannya. Selang beberapa waktu kemudian, ayahnya, Laurent Cousin menikah lagi dan mendapat empat anak. Mulanya biduk rumah tangga Laurent berlayar mulus. Namun sikap Armande kepada Germaine berubah total sejak salah satu anak kandungnya meninggal. Ia menghasut suaminya Laurent dan anak-anaknya sehingga ikut membenci Germaine. Gadis malang itu pun hidup sebatang kara.
Antipati Armande kepada Germaine tak berhenti sampai di situ. Ia mengusir Germaine dari dalam rumahnya sendiri. Armande merasa jijik dan tak ingin tinggal satu atap dengan gadis kurus, cacat tangan kanan, dan menderita penyakit TBC kelenjar (scrofula). Agar perbuatan kejinya tidak mencolok di mata masyarakat, Armande memaksa Germaine tinggal di gudang. Alas tidurnya hanya kumpulan ranting, dengan bantal dari tumpukan jerami.
Saban pagi, gadis kelahiran Pibrac, Perancis, 1579 itu menghadap ibu tirinya untuk menerima tugas. Setelah sarapan dengan sepotong roti dan air putih, Germaine menggembalakan domba serta mengerjakan beragam tugas dari Armande. Salah satu di antaranya adalah memintal bulu domba. Meski cacat, Germaine pantang menyerah. Semua tugas ia tuntaskan dengan penuh tanggung jawab dan gembira.
Akibat perlakuan kasar ibu tirinya, Germaine acap kali terserang sakit. Namun, ia tidak pernah mengeluh dan minta belas kasihan dari siapa pun. Suatu kali, Laurent sadar dan iba melihat putrinya bekerja keras dan tinggal seorang diri di dalam gudang. Lantas, ia meminta Germaine tinggal bersamanya. Namun, putrinya itu menolak. “Saya tidak mungkin memilih kenyamanan sementara tahu dan merasakan penderitaan yang Yesus alami,” ungkapnya tegas.
Semangat Berbagi
Suatu hari di musim dingin, Germaine melihat seorang pria miskin dan kelaparan lewat di depan pintu rumahnya. Saat itu ia sedang sarapan. Germaine sontak berdiri dan keluar dari rumahnya. Begitu mendapati lelaki malang itu, ia memberi kan roti jatah sarapannya. Selain itu, Germaine juga kerap mengumpulkan dan membagi makanannya kepada setiap orang yang lebih miskin dan menderita darinya.
Suatu hari, Germaine hendak membawa makanan kepada orang-orang miskin di kampungnya. Makanan itu ia simpan di dalam celemeknya. Naas, ibu tirinya tahu hal itu. Ia mengejar Germaine dan memberi hukuman atas tindakannya. Armande sengaja mencari kesempatan untuk bisa ‘menangkap’ Germaine di tengah banyak orang.
Siasat tersebut ia terapkan untuk menjatuhkan harga diri dan membangkitkan kebencian masyarakat kepada Germaine. Semenjak peristiwa air sungai terbelah, banyak warga Pibrac mengangapnya sebagai orang kudus. Penilaian tersebut justru membuat Armande tambah benci kapada anak tirinya itu.
Setelah berhasil ‘menangkap’ Germaine, Armande memaksa anak tirinya mengeluarkan seluruh isi celemek. Betapa kagetnya Armande saat Germaine mengeluarkan seluruh isi celemek ternyata bukan roti, melainkan bunga aneka warna yang tak tumbuh di Pibrac. Armande malu bukan kepalang. Namun Germaine memberikan seluruh bunga itu kepada ibu tirinya sebagai permohonan maaf.
Tak hanya berbagi makanan. Germaine kerap membagi waktunya untuk mengajar iman kepada anak-anak seusianya. Padahal sejak sepanjang hidupnya, Germaine sama sekali tak pernah merasakan sedikit pun dunia pendidikan. Semua ia peroleh dari pengalaman rohaninya yang intens.
Setiap hari, di tengah kesibukan menggembala ternak piarannya, Germaine selalu menyisihkan waktu untuk mengikuti Misa, berdoa rosario, dan Angelus. Salah satu intensi setiap doa-doanya adalah pertobatan, terutama untuk ibu tirinya. Setelah menanti belasan tahun, doanya baru terkabul, namun sayang pertobatan itu terjadi ketika Germaine meninggal dalam usia 22 tahun.
Armande membungkus tubuh Germaine dengan pakaian terindah. Ia senantiasa berada di samping anak tirinya, menangisi dan meminta maaf untuk semua sikapnya. Jasad Germaine dimakamkan di Gereja Pibrac, satu-satunya tempat yang ia anggap sebagai rumah dan dikunjunginya setiap hari.
Tak Rusak
Setelah 43 tahun sejak kematiannya, makam Germaine dibongkar. Kebetulan saat itu ada keluarganya yang meninggal dan ingin dimakamkan selokasi dengan Germaine. Begitu para penggali kubur membuka peti Germaine, mereka terkejut mendapati jenazahnya tidak hancur. Berita ini lagi-lagi tersebar ke seluruh Pibrac.
Jasad Germaine dimakamkan kembali dalam peti kaca dan diletakan di bawah altar Gereja Pibrac. Sejak saat itu, banyak orang datang dan berdoa lewat perantaraan Germaine. Umat Pibrac sudah menggangap Germaine sebagai ‘orang kudus’ meski Tahta Suci belum mengeluarkan keputusan resmi.
Banyak orang bersaksi tentang mukjizat yang terjadi lewat perantaraan Germaine. Salah satunya dialami oleh istri bangsawan François de Beauregard. Mulanya, istri François mengutuk devosi kepada Germaine dan menyuruh orang agar jasad gadis itu disimpan di sakristi. Selang beberapa hari, ia dan anaknya sakit keras dan hampir mati. Beruntung nyawa dia dan anaknya tertolong setelah meminta maaf dan meletakkan kembali peti Germaine di tempat semula.
Pada 1843 Tahta Suci secara resmi membuka proses penggelaran kudus bagi Germaine. Pada 7 Mei 1854, Bapa Suci Pius IX membeatifikasinya. Lalu, Paus yang sama mengkanonisasi Beata Germaine sebagai santa 29 Juni 1867. Gereja mengenang teladan iman dan hidup pelindung anak-anak terlantar dan korban kekerasan ini setiap 15 Juni.
Yanuari Marwanto