HIDUPKATOLIK.com – Doa yang baik adalah doa yang tak hanya meminta, tetapi juga mendengarkan sabda Tuhan. Syair-syair Taise adalah sabda Tuhan karena bersumber dari Kitab Suci.
Penginjil Matius menulis, “Lagi pula dalam doamu itu janganlah kamu bertele-tele seperti kebiasaan orang yang tidak mengenal Allah. Mereka menyangka bahwa karena banyaknya kata-kata doanya akan dikabulkan. Karena Bapamu mengetahui apa yang kamu perlukan, sebelum kamu minta kepada-Nya” (Mat 6:7-8). Kiranya tak berlebihan bila dikatakan bahwa spirit perikop inilah yang dihembuskan oleh lagu-lagu Taize.
Dosen Liturgika dan Musik Gereja Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta, Dr. Ester Pudjo Widiasih memiliki tiga dasar pertimbangan doa dengan nyanyian Taize bisa berkembang dan dihidupi umat kristiani. Pertama, perlu meluruskan cara pandang terhadap Taize. Banyak orang menyebut “Doa Taize”. “Padahal yang mencirikan Taize adalah lagu atau nyanyian. Maka, istilah yang lebih tepat adalah ‘doa dengan nyanyian Taize’,” ujarnya.
Kedua, kita layak berterima kasih kepada Jacques Berthier (1924-1997), komposer ternama asal Perancis yang pertama kali mengaransemen lagu-lagu Taize. Syairnya singkat, nadanya mudah, intervalnya juga tidak terlalu jauh, sehingga memudahkan umat untuk menghafal dan menghayati nyanyian Taize.
Ketiga, lagu-lagu Taize, meskipun sederhana, tetapi tidak murahan. Ia mudah diingat, namun bukan gampangan. Mengapa? Karena yang diutamakan adalah orang bisa merasakan keteduhan dalam tiap kata yang diucapkan. Ada lagu Taize yang semangat, tetapi tetap mengandung keteduhan. “Itu yang tidak mudah,” lanjut Ester.
Lantas, dari mana tradisi lagu-lagu Taize ini? Menurut anggota Programme Executive for Spiritual Life di World Council of Churches ini, pengaruh tradisi hidup menggereja di Eropa Timur berkontribusi besar bagi lagu-lagu Taize. Sejak semula, banyak lagu Taize yang memakai bahasa Rusia. Begitu pula dengan ornamen yang dipakai juga sangat khas Gereja Timur.
Selain itu, cara hidup monastik yang melakukan Lectio Divina harian juga memiliki peran besar. Sabda Allah yang dicecap dalam permenungan harian, kemudian dihidupi dalam keseharian. Dalam Taize, Sabda Allah yang dicecap itu diberi nada yang membantu orang untuk melafalkan sembari mendegarkannya lagi.
Di kalangan Gereja Protestan, lanjut Ester, bentuk kehidupan monastik amat tidak populer. Namun ia melihat saat ini, banyak jemaat Gereja Protestan yang tertarik datang ke Taize, lalu mendalami nyanyian Taize. Rupanya doa meditatif mulai digemari. Doa tidak harus diiringi alat-alat mahal dan di tempat mewah, tetapi bisa dilakukan dalam keheningan dan kesederhanaan.
Meski demikian, kata Ester, lagu-lagu Taize tetap sejalan dengan teologi Gereja Protestan, karena Taize mempermudah ibadat. Lewat nyanyian yang sederhana, Firman Allah lebih mudah meresap dan dimaknai umat. Ia bisa merasuk ke dalam jiwa dan memberi kedamaian. “Taize memberi dimensi yang baru dalam tata cara peribadatan Gereja Protestan. Kalau dulu para Bapak Reformasi Gereja mengata kan bahwa mereka ingin merengkuh kembali bahasa umat, maka sebetulnya Taize telah melakukan hal yang sama. Dengan nyanyian yang sederhana dan mudah, ia menolong umat untuk menghayati sapaan Allah,” tandas Ester saat ditemui di STT Jakarta, Kamis, 4/6.
Semangat ekumene amat kental dalam komunitas Taize. Menurut perempuan yang telah dua kali berkunjung ke Taize ini, semua orang bisa datang dan hidup di Taize. “Taize selalu membuka diri dan merangkul banyak orang, seperti Allah yang membuka diri dan merangkul semua orang. Taize menerima siapapun yang datang dan ingin merasakan kehadiran Allah. Ini paralel dengan Allah yang membuka diri bagi semua orang melalui kehadiran Yesus Kristus.”
Stefanus P. Elu