HIDUPKATOLIK.com – Sebagai misionaris di Sierra Leone. ia menembus pedalaman untuk menyapa umat. Di tengah berjangkitnya virus ebola yang mematikan, ia bertahan mendampingi dan menguatkan umat.
Rabu, 14 April 2010, Romo Fransiskus Xaverius Sudarmanto SX tiba di Sierra Leone, Afrika Barat. Meskipun bahasa resmi di sana Bahasa Inggris, ia disambut masyarakat dengan Bahasa Krio. Selama tiga bulan, imam Paroki Siberut, Kepulauan Mentawai (20012008) ini belajar bahasa setempat.
Tak terbayang sebelumnya, tanah misi di mana ia diutus, bakal dirundung wabah mengerikan. Empat tahun setelah kehadirannya, ebola merenggut banyak nyawa penduduk Sierra Leone. Data dari Kementerian Kesehatan dan Sanitasi Sierra Leone per 13 April 2015 menunjukkan, total penduduk terinfeksi ebola sebanyak 8.563 orang. Di antara mereka, 3.491 orang meninggal dunia, 3.454 sembuh, dan 1.618 orang masih di dalam perawatan.
Sierra Leone berpenduduk sekitar enam juta jiwa, mayoritas beragama Islam (71,3 persen). Sementara, pemeluk Protestan dan Katolik berjumlah 26,8 persen sedangkan 1,9 persen menganut agama tradisional. Umat Katolik tersebar di empat keuskupan, yakni Keuskupan Agung Freetown, Keuskupan Kenema, Keus kupan Makeni, dan Keuskupan Bo.
Merawat Tanah Misi
Para imam Serikat Misionaris Xaverian (SX) hadir di Sierra Leone sejak 1950. Mereka berkarya khususnya di Sierra Leone Utara, wilayah pedalaman yang wak tu itu sebagian besar belum terjamah iman Katolik. Menurut Romo Sudar, hingga sekarang karya misi di sana masih terbentang. “SX masih terus melanjutkan kar ya misi bersama dengan Gereja Lokal (Keuskupan) Makeni,” kata kelahiran Gu nungkidul, Yogyakarta, 10 November 1972 ini.
Sejak 29 Desember 2014, Romo Sudar di tugaskan sebagai Pastor Paroki St Maria Ratu Para Rasul Mongo Bendugu. Paroki ini diresmikan pada 2011, oleh Uskup Makeni Mgr George Biguzzi SX. Paroki berada di tengah penduduk mayoritas Islam di Timur Laut Sierra Leone, berbatasan langsung dengan Guyana (Guinea ).
“Sebagai kawanan kecil di tengah ladang yang luas, saya bersama umat Paroki Mongo Bendugu mengemban misi mewujudkan semangat, cita-cita dan karisma Xa verian: menekuni karya evangelisasi, menyebarkan iman di kawasan yang belum mengenal Kristus,” ujar bungsu dari lima bersaudara ini.
Karya Gereja berwujud aktivitas pastoral paroki dan pelayanan di bidang pen didikan. Selain di pusat paroki, Romo Sudar mendampingi tujuh komunitas baru sebagai stasi. Terdapat satu SMP, satu SMA, dan 21 SD yang tersebar di seluruh wilayah paroki yang menjadi bagian karya Gereja.
“Selain memelihara iman yang telah ditaburkan, tumbuh dan berkembang di paroki, kami bergerak ke desa-desa sekitar, baik yang dekat maupun yang jauh untuk membangun persahabatan dan persaudaraan dengan penduduk dan pemimpin- pemimpin tradisional,” kata imam yang masuk Novisiat Xaverian Jakarta pada 1992 ini.
Pemimpin masyarakat dan orangtua umumnya menyekolahkan anak mereka di sekolah Katolik. Setidaknya mereka memperkenankan anak-anak tumbuh dan berkembang dalam iman Katolik.
Dibantu relawan katekis dari kalangan umat serta guru-guru, imam yang ditahbiskan di Yogyakarta, 11 Juli 2001 ini juga membuka kelas katekumen. Ia mengajarkan hidup menjemaat dengan perayaan liturgi serta sakramen-sakramen. “Ini benar-benar karya pewartaan pertama.”
Sebuah pengalaman unik dijumpai Romo Sudar di Kampung Walia. Dua tahun lalu, paroki membuka kelas katekumen di sekolah Katolik. Katekis sukarela dari paroki dan imam datang secara berkala untuk mengajar. Untuk menambah pengetahuan iman bagi para katekumen, kepala sekolah yang bukan Katolik berinisiatif untuk mengajar katekismus kepada anak-anak. Foday Kamara, nama Kepala Sekolah itu, bahkan menjadi “ketua stasi” di Kampung Walia.
Romo Sudar mendapati ada juga umat yang semula dididik dan tumbuh dalam iman Katolik akhirnya kembali ke tradisi lama mereka dan meninggalkan Gereja. “Kami menyadari proses pengakaran iman agar bisa sampai pada tahap dihidupi dengan komitmen yang tulus, membutuhkan waktu yang panjang. Butuh pendampingan yang tekun dan kesabaran,” katanya.
Berharap Ebola Pergi
Empat tahun sebelum wabah ebola, Romo Sudar menjadi saksi optimisme perkembangan kehidupan masyarakat. Tekad pemerintah setempat untuk mewujudkan agenda perubahan dan kemakmuran terlihat. Masyarakat mengembangkan sumber-sumber pendapatan kreatif. Banyak orang Sierra Leone diaspora yang pulang kembali untuk tinggal dan bekerja di tanah airnya. Investasi juga masuk ke berbagai sektor ekonomi. Restoran dan hotel dibuka dalam perkembangan industri pariwisata.
“Saya melihat adanya tanda-tanda kemajuan hari demi hari. Sayangnya, dengan merajalelanya wabah ebola, suasana benar-benar berubah. Stigma negara virus ebola kini menjadi beban baru yang cukup berat,” ujarnya.
Keganasan virus ebola dapat dilihat dari cepatnya virus ini beraksi hingga menyebabkan banyak orang terinfeksi dan meninggal. Ebola dengan mudah menyebar melalui kontak cairan tubuh orang yang terinfeksi (keringat, air liur, darah, muntahan, semen), atau cairan tubuh orang yang meninggal karena virus ebola.
Di sisi lain, pada masa awal berkembangnya virus, sebagian masyarakat meyakini berbagai kematian terjadi karena ilmu sihir. Cepatnya penyebaran ebola juga terkait dengan perilaku budaya khususnya dalam ritual pemakaman. Di Afrika Barat, pemakaman merupakan ritual budaya yang sangat penting. Ritual pemakaman melibatkan banyak orang. Saudara- saudari, keluarga dan sahabat akan memandikan, menyentuh bahkan mencium jasad orang yang meninggal sebagai tanda rasa hormat. Mereka yang berduka akan menyentuh tubuh orang me ninggal dalam keintiman, karena saat itu terjadi perpisahan rohani dengan orang yang dicintai.
Meskipun pemerintah setempat memberi peringatan keras agar sementara waktu tidak menjalani ritual budaya itu, kenyataannya sebagian masyarakat melakukannya diam-diam pada malam hari. Pada Agustus 2014, pemerintah Sierra Leone menetapkan kebijakan semua orang meninggal harus dikuburkan seperti korban virus ebola. Mayat dibungkus dalam plastik dan dikuburkan oleh tim khusus yang terlatih dan terlindung. Keluarga boleh menghadiri proses penguburan, tetapi tidak diperbolehkan berdekatan dengan jasad orang yang meninggal.
Romo Sudar merasakan keprihatinan mendalam atas wabah ebola. Kehidupan masyarakat berantakan. Sekolah diliburkan tanpa kejelasan kapan dibuka lagi. Orang menghindari untuk berjabat tangan sebagai tanda kehangatan. “Ebola telah mengurangi kehangatan kontak manusiawi. Bahkan, anak-anak harus belajar hal yang sangat berat ketika setiap saat harus berkata: Jangan sentuh aku, jangan sentuh aku, nanti kamu mati! Ini masa ebola!” kisahnya.
Tekanan ebola membuat masyarakat lelah. Beruntung, upaya keras masyarakat dan pemerintah setempat untuk menanggulangi penyebaran virus ebola menunjukkan hasil. Pemerintah mengumumkan, sekolah dibuka kembali pada 14 April 2015. Meski demikian, semua pihak tetap diminta waspada. Alat-alat kesehatan dibagikan. Guru-guru dilatih cara pencegahan dan penanganan virus ebola. “Seperti salah satu lirik lagu ciptaan musisi Sierra Leone: Ebola, pergilah… kami telah lelah…. Begitulah harapan kami semua,” pungkas Romo Sudar.
Sutriyono