HIDUPKATOLIK.com – Dear Romo Erwin, perkenalkan nama saya Doni. Saya seorang bapak yang sudah menikah dan mempunyai seorang putra berusia tujuh tahun. Selama hampir empat tahun terakhir ini, saya mengalami kerenggangan hubungan dengan istri saya. Dalam hidup sehari-hari, saya masih tinggal satu atap dengan istri tetapi tidak seranjang. Kami juga sudah tidak berkomunikasi lagi dan hubungan kami terasa hambar.
Suatu waktu, pernah terungkap keinginan untuk bercerai tetapi masih belum terealisasi. Tampaknya, istri saya sudah tidak mempunyai perasaan lagi dan sudah tidak mau tahu keadaan saya. Saya sudah mencoba untuk memperbaiki hubungan, tetapi gagal.
Awal tahun 2014, hidup saya berantakan, mencoba untuk usaha tetapi bangkrut. Di saat saya depresi, ada orang lain yang mendukung. Saya bingung apakah tetap berusaha untuk mempertahankan keluarga saya, atau bercerai saja dan memulai hidup baru?
Mohon pencerahan dari Romo. Terima Kasih.
Doni, Jakarta
Pak Doni yang sedang bingung, keadaan rumah tangga Anda sedang dilanda kekeringan. Anda mempunyai masalah dengan komunikasi dan ketidakpercayaan satu sama lain. Masalah ini banyak dialami di usia muda perkawinan, ketika satu sama lain masih mempunyai kesempatan untuk saling mencoba pengalaman pengalaman baru bersama orang lain.
Harus saya katakan, saya tidak sepenuhnya mengerti peristiwa yang sedang melanda Anda. Saya perlu mengetahui apa masalah yang memicu kekeringan dalam keluarga Anda, khususnya dengan pasangan. Saya perlu memahami siapa yang mula-mula menciptakan situasi ini. Anda berdua jelas mengalami komunikasi yang buruk, karena masalah tidak diselesaikan tetapi didiamkan.
Masalah komunikasi paling sering dialami oleh mereka yang sangat sibuk dengan pekerjaannya. Pada umumnya pasangan muda ditantang untuk hal ini. Kesibukan memang kekhasan Anda berdua, tetapi hubungan sebagai suami istri tidak boleh diabaikan. Bisnis bukan segalanya dibanding situasi seperti sekarang ini. Rasanya terlalu mahal kebersamaan diabaikan untuk sesuatu yang tak ada habisnya dicari.
Situasi makin memburuk karena kemauan untuk memperbaiki situasi juga tidak tercipta. Saya menganjurkan Anda berusaha untuk membangun komunikasi lagi. Jangan malu. Lebih baik bertengkar kecil daripada tidak ada komunikasi sama sekali. Maksud saya, ciptakanlah kebersamaan dan diskusi. Berusahalah sabar dan mendengarkan keluhan istri Anda. Barangkali istri Anda sedang ingin didengarkan, tetapi tak pernah merasakannya dari Anda.
Pernikahan Anda masih seumur jagung dan anak Anda sedang dalam pertumbuhan yang membutuhkan situasi yang nyaman untuk perkembangannya. Pikirkanlah diri Anda sebagai seorang ayah yang mempunyai tanggung jawab bukan hanya mencari nafkah, tetapi menciptakan suasana nyaman juga. Dengan perhatian dan kerendahan hati, barangkali Anda berdua akan dapat menyelesaikan persoalan yang belum ada penyelesaiannya.
Jangan malu juga bertanya pada seorang ahli atau seseorang yang dianggap bijaksana, misalnya imam/pastor setempat atau kerabat yang mempunyai keahlian tertentu. Penyelesaian sendiri memang perlu, tetapi kita mempunyai keterbatasan untuk memikirkan banyak hal sekaligus: pekerjaan, keluarga, ekonomi, dan anak. Anda perlu beristirahat agar dapat berpikir dengan tenang dan tidak emosional.
Orang ketiga, dapat selalu hadir dalam kondisi yang parah dan tidak menentu. Kehadiran perempuan lain menjadi godaan yang menggiurkan. Benahi dulu keluarga Anda. Tidak ada perkawinan lain dalam Gereja Katolik. Berpikir pun jangan, karena situasi Anda adalah situasi biasa, bukan luar biasa. Dalam arti, masalah Anda tidak bisa mendapat restu untuk bercerai, karena di dalam Gereja tidak ada hal itu.
Saya bergembira, karena Anda masih menghubungi Gereja untuk membantu masalah Anda, tetapi saya lebih bergembira lagi jika Anda berdoa kepada Tuhan, Sang Penasihat Ajaib yang akan memberikan kepada Anda terang pikir. Jangan ragu, berdoalah. Saya akan berdoa untuk Anda dan banyak keluarga yang sedang mengalami situasi parah dalam keluarganya. Saya percaya Tuhan pasti mempunyai cara untuk melembutkan hati kalian berdua. Salam dan doa saya.
Alexander Erwin Santoso MSF