web page hit counter
Kamis, 19 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Ingat Mama, Ingat Angciang-nya

Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Uskup Manado, Mgr Josef Suwatan, memiliki kedekatan dengan keluarganya. Maklum, dia adalah anak laki-laki tunggal dalam keluarga itu. Ia punya satu adik perempuan yang usianya bertaut tujuh tahun. Mgr Suwatan menuturkan perihal keluarganya seperti ditulis dalam buku kenangan Gembala di Tengah Umat (Sebuah Kesaksian tentang Pastoral Kehadiran).

“Hari itu, tanggal 28 Agustus 2011. Tengah malam, sekitar pukul 22.45, saya baru saja selesai berdoa malam di Rumah Keuskupan Manado. Adik saya satu-satunya, Mariatin, mengabarkan bahwa ibu Chatarina Srilany (Jo Tjwie Lan Nio) meninggal dunia di rumah adik di Kelapa Gading – Jakarta. Berita itu sungguh menyesakkan, karena saya putra satu-satunya. Saya sungguh dekat dengannya. Saya bersyukur karena Tuhan sudah memberi ibu umur panjang, 94 tahun delapan bulan. Saya mengenangnya sebagai ibu rumah tangga yang penyayang, pintar memasak dan memiliki hidup rohani yang mendalam. Saya begitu fanatik dengan masakan anchiang– nya. Makanan yang terbuat dari daging yang dicincang halus kemudian dimasukkan ke dalam usus babi. Rasanya .. wow.. sangat enak. Saya juga menyenangi masakan ayam bakar dan ayam kecap ibu.

Baca Juga:  RS Brayat Minulya Surakarta Bertekad Menjadi Sarana Kehadiran Cinta dan Kuasa Allah

Selain makanannya, saya mengenang hidup rohani ibu yang mendalam. Hidupnya diisi dengan doa dan devosi. Ibu mengantar dan membentuk kami menjadi anak-anak gereja yang taat. Sampai masa tuanya, ibu selalu setia dalam Misa harian. Hal tersebut menjadi contoh kuat yang sangat membekas.

Apakah sosok yang paling kuingat dari ayah saya, Theodorus Chairwakim (Tan Kwan Kim). Dia itu sosok disiplin dan jujur. Kenangan paling membekas adalah peristiwa suatu malam ketika saya berumur 11 tahun. Ayah yang biasa dipanggil Om Dirk begitu marah ketika saya tidak pulang tepat waktu sehabis bermain bulutangkis dengan teman-teman. Dia mengambil raket saya satu-satunya yang dibeli dengan harga cukup mahal dan membantingnya. Aduh… raketku patah. Dari situ, saya belajar betapa mahal harga sebuah disiplin.

Ayah saya adalah bungsu dari sembilan bersaudara. Sambil mengurus toko,ayah membangun home industry kecap. Kelihatan ayah tidak sesukses kakak-kakaknya. Namun ayah begitu bahagia dengan keadaan kami. Ayah bukan pengusaha yang ngotot tetapi pengusaha yang dikenal jujur dan berprinsip.

Baca Juga:  RS Brayat Minulya Surakarta Bertekad Menjadi Sarana Kehadiran Cinta dan Kuasa Allah

Peristiwa Cirebon yang menjalar ke Tegal tahun 1963 menjadi saksi bagaimana ayah dihargai karena kejujurannya. Pada saat itu, rumah-rumah warga keturunan dilempari batu dan dihancurkan. Seharusnya, rumah kami, sebagai warga keturunan dan rumah besar di antara rumah lain, menjadi sasaran amarah. Namun, ketika ada yang akan melempari, spontan sejumlah orang mencegahnya. Sosok ayah yang baik dan jujur menghindarkan kami dari kemarahan warga.

Kami tinggal di jalan Pasar Sore sampai saya duduk di kelas V SD. Sesudah itu kami tinggal di jalan Peganjaran (sekarang jalan Brigjen Katamso). Sebuah rumah besar warisan keluarga ayah. Karena ada ruangan yang cukup, kami tinggal di rumah itu dan ayah meneruskan home industry pembuatan kecap, teh, dan kemudian usaha rokok di gedung bagian belakang, samping utara.

Pada tahun 1956, ayah mengubah rumah kami menjadi hotel kecil, terdiri dari 14 kamar. Hotel itu dikenal sebagai hotel asri, bersih, terutama bersih secara moral. Nama Hotel Tropic kemudian diubah menjadi Hotel Kota. Ayah meninggal 12 September 1984 karena penyakit kanker dalam usia 68 tahun.

Baca Juga:  RS Brayat Minulya Surakarta Bertekad Menjadi Sarana Kehadiran Cinta dan Kuasa Allah

Adik saya, Mariatin (Tien) berumur tujuh tahun lebih muda dari saya. Jarak yang cukup jauh membuat saya merasa berbeda dunia dengan adik saya. Namun kami berdua adalah kakak beradik yang saling menyayangi. Dia begitu antusias menemani dan menyemangati tahap-tahap panggilan saya. Dia selalu hadir ketika saya merayakan pesta atau perayaan khusus, termasuk tanggal 29 Juni 1990, ketika saya ditahbiskan sebagai Uskup.

Saya memberkati pernikahan Tien yang disunting Herman Sutrisna di Gereja Kerawang 1974. Tien dan Herman tinggal di Kelapa Gading, Jakarta. Herman tekun merintis dan mengembangkan usaha bahan bangunan. Tien memiliki dua anak, yakni Yusuf yang menikah dengan Vera (tinggal di Jakarta) dan Lucia menikah dengan Kent (tinggal di Melbourne – Australia).

A. Margana

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles