HIDUPKATOLIK.com – Bersama dengan perkembangan teknologi, masyarakat kita disuguhi berbagai bentuk informasi melalui berbagai media, baik tutur, elektronik, cetak maupun internet. Dunia menjadi ajang persaingan informasi. Mereka yang menguasi informasi berpengaruh pada gerak masyarakat.
Berita tentang bagaimana milisi ISIS menanamkan pengaruhnya di negeri-negeri yang jauh melalui sarana komunikasi modern menjadi salah satu bukti kemenangan mereka atas sebagian kecil persaingan ini. Pengakses situs pornografi yang marak di Indonesia menjadi contoh lain. Menurut keterangan dari Kominfo, Indonesia menjadi pengakses ketiga terbesar di dunia. 74 persen di antaranya adalah mereka yang lahir setelah tahun 2000.
Informasi mempengaruhi cara orang untuk memandang kehidupan; mulai dari cara memandang diri sendiri sampai cara memandang orang lain; mulai dari cara mengejar ilmu sampai dengan cara beragama. Louis Althusser, seorang teoris sosial, menyebut bahwa wacana bisa berakumulasi menjadi ideologi. Kata Ideologi berasal dari bahasa Yunani “idea” dan “logos” yang berarti pikiran, melihat dengan budi. Adapun kata logos mengandung arti gagasan, pengertian, kata, dan ilmu. Jadi, ideologi berarti kumpulan ide atau gagasan, pemahaman, pendapat, atau pengalaman.
Menurut Althusser, terdapat tujuh kelompok yang membangun ideologi yaitu sekolah, keluarga, Gereja atau insititusi keagamaan, pemerintahan, partai politik, kelompok dagang, dan media massa. Di antara mereka terjadi perang pengaruh. Gereja Katolik pernah mempunyai pengaruh besar di masyarakat Eropa di abad pertengahan. Tetapi hadirnya Protestantisme, menurunkan pengaruhnya.
Di Indonesia, dipertanyakan bagaimana perang pengaruh di kalangan generasi muda kita. Apakah pesan Gereja tentang hal-hal seperti penghargaan terhadap martabat kehidupan dengan sikap anti aborsi; hormat terhadap perkawinan yang monogami dan tak terceraikan; cinta terhadap alam lingkungan seperti diwacanakan oleh Paus Fransiskus masih menjadi wacana yang diacu? Jangan-jangan masyarakat kita lebih memilih aborsi sehingga klinik aborsi semakin marak; pernikahan yang dengan mudah meminta pemisahan; dan alam sebagai sarana mencapai kesuksesan manusia.
Membangun Ideologi
Gereja sebagai salah satu pembawa wacana, perlu menegaskan perannya sebagai aktor penting, paling tidak di antara umatnya. Semakin sering kita menyuarakan wacana Gereja, kita semakin bisa menawarkan wacana tandingan. Kalau tidak, orang dengan mudah menerima wacana lain yang berlawanan dengan wacana kekatolikan.
Dalam konstitusi pastoral Gaudium et Spes dikatakan, “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga.” (GS art 1). Kita meyakini bahwa nilai-nilai Gereja membawa orang pada kegembiraan sejati. Di tengah arus masyarakat yang mengabaikan nilai-nilai yang dibawa oleh Gereja, rasanya suara Gereja harus menjadi semakin keras. Apa medianya? Satu elemen penting yang pernah dan akan selalu menjadi media penting adalah sekolah-sekolah Katolik. Sudah bukan rahasia lagi sekolah Katolik punya dua kemungkinan: berbiaya mahal atau berada dalam keterbatasan dana, semakin tertinggal lalu ditutup.
Kalau demikian, kita menutup akses terhadap mereka yang harusnya menerima pesan kekatolikan kita. Belakangan ada terobosan, dari beberapa lembaga yang mengumpulkan dana pendidikan untuk sekolahsekolah pinggiran. Tujuannya untuk menopang kelangsungan pendidikan Katolik, dan agar wacana-wacana kekatolikan tidak mati bersamaan dengan robohnya satu per satu sekolah Katolik. Dalam hal ini, dibutuhkan dukungan semakin banyak orang guna atas program penyelamatan ini.
Sudah saatnya kita merebut kembali hak ideologi kita. Kalau tidak, bersamaan dengan meredupnya wacana kekatolikan kita, meredup pula peran Gereja kita dan kepunahannya hanyalah soal waktu.
M. Joko Lelono