HIDUPKATOLIK.com – Ia mengekskomunikasi tiga Patriark Gereja Timur. Dengan keras, ia menentang usaha merongrong orthodoksi ajaran Gereja.
Pada masa Paus Felix III, Takhta St Petrus mengeluarkan tiga dekrit ekskomunikasi untuk tiga Patriark Timur dalam waktu yang hampir bersamaan. Pertama, tahun 483, ketika baru naik takhta, Paus Felix III langsung menggelar sinode di Roma. Hasilnya, Patriark Antiokhia, Petrus II Fullo dijatuhi hukuman ekskomunikasi. Keputusan Sinode Roma ini ditanggapi dengan Sinode Konstantinopel yang digelar Patriark Konstantinopel, Akasius (†489). Atas dukungan Kaisar Bizantium, Zeno (425-491), Sinode Konstantinopel pun mengutuk hasil Sinode Roma.
Kedua, tahun 484, Paus Felix III mengekskomunikasi Patriark Aleksandria, Petrus III Mongus (†490). Baik Patriark Antiokhia maupun Aleksandria, mereka dinobatkan secara tidak sah oleh Kaisar Zeno. Ekskomunikasi ini memperuncing konflik antara Gereja Barat dan Timur. Pasalnya, dua patriark itu secara terbuka menerima “Henotikon” Kaisar Zeno dan menyatakan persekutuan penuh dengan Patriark Konstantinopel. Di Timur, para Uskup yang menyatakan persekutuan dengan Gereja Barat pun dimusuhi. Perpecahan di kalangan klerus kian nyata.
Menanggapi sikap Gereja Timur, Paus Felix III menggelar sinode lagi. Ia memutuskan mengirim delegasi khusus untuk menemui Kaisar Zeno dan Patriark Akasius. Mereka menyampaikan pesan Bapa Suci yang meminta Patriark Akasius melengserkan Patriark Petrus III Mongus dari Takhta Aleksandria. Paus juga minta, Patriark Akasius datang ke Roma untuk melaporkan kondisi Gereja Timur. Alihalih disambut baik, delegasi Paus ditangkap dan dipenjara. Tak tahan dengan ancaman, delegasi Paus justru menyerah dan mendeklarasikan diri tunduk di bawah Patriark Akasius.
Kabar pengkhianatan delegasi Paus segera sampai ke Roma berkat seorang rahib Acaemeti, Simeon. Paus langsung menggelar sinode yang dihadiri 77 Uskup di Basilika Lateran. Ketiga, sinode ini mengekskomunikasi Patriark Akasius, Kaisar Zeno, sekaligus delegasi Paus yang dikirim ke Konstantinopel. Ekskomunikasi itu dibalas Patriark Akasius dengan menghilangkan nama Paus Felix III dalam catatan Penerus Takhta St Petrus di Gereja Timur. Selang beberapa tahun, Patriark Akasius wafat pada 489. Sementara Patriark Petrus III Mongus wafat tahun 490, dan Kaisar Zeno tahun 491.
Leluhur Gregorius Agung
Paus Felix III adalah Paus pertama yang memberitahukan keterpilihannya kepada Kaisar Bizantium. Ia terpilih menjadi pengganti Paus Simplicius pada 13 Maret 483. Konon, ia seorang duda dengan dua anak dan tercatat sebagai klerus Roma. Pemilihannya mendapat dukungan penuh dari penguasa Italia, Flavius Odoacer (433-493) yang berhasil menghabisi Kekaisaran Romawi Barat.
Sejak muda, namanya sudah dikenal di lingkaran orang-orang berpengaruh di Roma. Felix lahir dari keturunan keluarga Senator Roma. Ayahnya seorang imam di Fasciola yang memegang gelar tituler St Nereo e Achilleo (hingga kini menjadi gelar tituler untuk Kardinal-Imam). Paus Gregorius Agung (540-604) merupakan keturunan dari keluarga ini.
Masa kepausannya ditandai dengan konflik keras menghadapi Bidaah Monofisitisme. Pada 482, atas usul Patriark Akasius, Kaisar Zeno menerbitkan deklarasi iman “Henotikon” atau “formula untuk kesatuan”, yang bertujuan mendamaikan Gereja dengan Monofisitisme. Aliran ini bertentangan dengan ajaran Konsili Efesus (431) dan Khalsedon (451). Menurut Gereja, Yesus punya dua kodrat, ilahi dan manusiawi; yang tak saling tercampur dan tak dapat dipisahkan. Sementara itu, Monofisitisme percaya bahwa Yesus memiliki satu kodrat Ilahi saja.
Bidaah Monofisitisme punya esensi ajaran sama dengan Bidaah Eutychianisme. Keduanya hanya mengakui satu kodrat Ilahi Yesus. Namun, Eutychianisme menjelaskan, bukan berarti kodrat manusiawi Yesus tak ada. Kodrat manusiawi Yesus tetap ada, tapi telah terserap dalam kodrat Ilahi-Nya karena hakikat Yesus adalah Tuhan. Eutychianisme mencampuradukkan dua kodrat Yesus sehingga bertentangan dengan ajaran Gereja.
Kemelut Antiokhia
Kaisar Zeno sewenang-wenang menegakkan “Henotikon” dan cenderung membela Monofisitisme. Sementara Gereja-gereja yang teguh berpegang pada Konsili Efesus dan Khalsedon diintimidasi. Alhasil, Patriark Antiokhia yang berdarah Khalcedonia, Calendion (479-485) dilengserkan oleh Kaisar Zeno karena menolak “Henotikon”. Kaisar Zeno lalu mengangkat Petrus II Fullo sebagai Patriark Antiokhia.
Patriark Petrus II Fullo sudah pernah naik takhta tahun 470 karena Kaisar Bizantium, Leo I (401-474) melengserkan Patriark Martyrius (461-470). Atas usul menantu sang kaisar–Jenderal Zeno yang waktu itu masih berstatus panglima utama Bizantium–Kaisar Leo I mengangkat Petrus Fullo sebagai Patriark Antiokhia. Namun pada 471, Patriark Petrus Fullo digulingkan, lalu diganti Patriark Julianus (471-476).
Petrus Fullo berhasil melengserkan Patriark Julianus dan mengasingkannya, sehingga Petrus Fullo naik takhta kembali pada 476. Ia dibantu Kaisar Basiliscus (†477) yang berhasil menggulingkan Kaisar Zeno (474-491) dan bertakhta sebagai Kaisar Bizantium pada 475-476, hingga dilengserkan lagi oleh Kaisar Zeno.
Kemelut Aleksandria
Selain mencopot Patriark Antiokhia, Kaisar Zeno juga melengserkan Patriark Aleksandria, Yohanes I Talaia (481-482) karena tak mau tunduk pada “Henotikon”. Petrus III Mongus akhirnya dinobatkan sebagai Patriark Aleksandria (482-490). Ini merupakan kedua kali Patriark Petrus Mongus naik Takhta Aleksandria. Sebelumnya, ia menggantikan pendukung Monofisitisme, Patriark Timotius II Aelurus (†477).
Patriark Timotius Aelurus pernah bertakhta dua kali. Pertama, Patriark Timotius Aelurus menggantikan Patriark Proterius (451-457). Lalu, takhtanya diambil alih Patriark Timotius III Salophakiolos (460-475). Kedua, Patriark Timotius Aelurus berhasil menumbangkan Patriark Timotius Salophakiolos dan menduduki kembali Takhta Aleksandria pada 475 hingga wafat.
Pegang Orthodoksi
Usai Patriark Akasius wafat, Patriark Flavianus II (Fravittas) naik takhta. Patriark Flavianus II (489-490) berusaha berkomunikasi dengan Roma. Ia mengirim utusan untuk menghadap Paus Felix III dengan pesan bahwa dirinya akan memutus hubungan dengan Patriark Petrus III Mongus dan ingin bersekutu dengan Roma. Namun, Paus menolak permintaan Patriark Flavianus II. Menurut Bapa Suci, permintaan itu hanyalah tipu daya. Masa kepatriarkan Flavianus II amat singkat dan skisma pun terus berlangsung.
Patriark Flavianus II diganti Patriark Euphemius (Euthymius). Patriark Euphemius (490-495) ini melanjutkan usaha untuk bersekutu kembali dengan Roma. Paus Felix III mulai mempertimbangkan permintaan Patriark Euphemius dan mengajukan syarat agar namanya sebagai Penerus Takhta St Petrus dituliskan kembali dalam catatan mereka dan dua nama pendahulunya–Patriark Akasius dan Flavianus II–dihapus dari catatan Penerus Takhta St Andreas. Namun, permintaan ini tak dipenuhi. Lagi-lagi, Bapa Suci menolak permintaan sang patriark. Skisma Akasius ini terus berlangsung hingga tahun 518.
Paus Felix III wafat pada 1 Maret 492. Jenazahnya dimakamkan di Basilika St Paulus Roma. Ia dikenang sebagai santo dan diperingati tiap 1 Maret. Petuahnya yang terkenal, “Tidak menentang kesalahan adalah menyetujuinya; dan dengan menyembunyikannya berarti tidak membela kebenaran; dan lalai mengutuk orang jahat–ketika kita dapat melakukannya–sesungguhnya dosanya lebih kecil daripada mendukungnya.”
R.B.E. Agung Nugroho