HIDUPKATOLIK.com – Kesembuhan sang ayah akibat kecelakaan mendorongnya menjadi dokter spesialis saraf. Ilmu kedokteran yang ia pelajari justru kian menggemburkan imannya kepada Sang Pencipta.
Rinai air mata Maria Edith Lia Angelin Adriana mengalir deras di kedua pipinya. Tubuhnya seketika ruai begitu mendengar risiko operasi besar yang bakal ditanggung ayahnya, Fredericus Joseph Adrianto Darmadi. “Ia harus segera dioperasi (kepalanya). Kemungkinan separuh tubuhnya akan mengalami kelumpuhan,” kata Lia, mengutip dokter spesialis saraf yang menangani ayahnya.
Berdasarkan hasil pemeriksaan dokter, luka menganga di kepala Darmadi mengalami infeksi. Cedera itu akibat kecelakaan. Menurut Lia, kondisi ayahnya sebetulnya sudah berangsur pulih setelah berobat pasca kecelakaan. Tiba-tiba keadaan berbalik. Darmadi kejang-kejang. Keluarga segera melarikannya ke rumah sakit.
Lia takkan bisa melupakan kejadian dua puluh tahun silam itu. Sebuah peristiwa yang tentu tak ia harapkan kembali terjadi. Meski demikian, perempuan kelahiran Semarang, 22 September 1985 ini mengakui, peristiwa itu justru menjadi alasan utamanya memilih profesi sebagai dokter spesialis saraf. Kejadian nahas itu pulalah yang kelak membuatnya takjub dengan karya agung Tuhan.
Motivasi Pilihan
Operasi Darmadi berjalan lancar. Kekuatiran keluarga soal efek bedah terhadapnya tak terjadi. Bahkan baru tiga hari di rumah, Darmadi sanggup berjalan seperti biasa. Peristiwa itu membuat dokter dan keluarga Darmadi terpukau. Kejadian itu pulalah yang memotivasi Lia masuk Fakultas Kedokteran. Sementara keinginannya untuk mendalami saraf muncul setelah bertugas sebagai dokter pegawai tidak tetap (PTT) di Puskemas Pulau Bunyu, Kabupaten Bulungan, Provinsi Kalimantan Timur.
Perempuan berwajah oriental ini mengenang pengalamannya selama PTT. Banyak masyarakat terkena stroke di sana. Lantaran kurang informasi mengenai penyakit itu, penduduk menganggap orang yang terkena stroke akibat disantet atau diguna-gunai. Karena itu jarang “pasien” dibawa ke rumah sakit atau unit kesehatan lain. Situasi kian pelik, dokter spesialis saraf di wilayah Bulungan pun minim.
Keprihatinan seperti itu mendorong alumna Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang ini mengambil spesialisasi saraf. Ia berharap, ilmu yang akan ditekuninya itu bisa membantu masyarakat yang mengalami kondisi serupa di tempat lain. Namun, Lia menyadari, bukan perkara mudah menyabet predikat spesialis saraf. “Saraf manusia begitu banyak dan rumit,” tandasnya.
Studi dan praktik mengenai saraf ternyata mengasah dan mempertebal iman umat Paroki St Fransiscus Xaverius Kebondalem, Keuskupan Agung Semarang. Saraf manusia yang begitu kecil dan rapuh, beber Lia, sanggup berkomunikasi satu sama lain dan menggerakkan seluruh aktivitas kehidupan manusia. “Sungguh luar biasa karya penciptaan Tuhan,” ujarnya, takjub.
Lia juga pernah tercengang dengan sebuah kejadian di rumah sakit. Suatu hari, lulusan Program Pendidikan Dokter Spesialis Saraf Universitas Diponegoro Semarang itu menangani pria berusia 60 tahun. Orang itu terkena stroke-pendarahan intraserebral (perdarahan yang terjadi di dalam otak). Ia tiba di rumah sakit dalam kondisi amat buruk: kesadaran menurun, kejang, demam, ditambah infeksi paru-paru. Secara statistik, angka kematian pasien dengan kondisi seperti itu amat tinggi.
Istri dan ketiga anak angkat pasien itu datang, menunggu, dan merawatnya dengan sabar setiap hari. Ternyata, pasien itu selamat. Setelah 15 hari di rumah sakit, ia boleh kembali ke rumah dan melanjutkan pemulihan di rumah. “Mata saya ‘terbuka’ berkat doa, semangat, dan dukungan orang-orang tercinta, suatu hal yang tak mungkin justru bisa terjadi,” kenangnya.
Lia pun mengakui, nas yang tertuang dalam Amsal 17:22 adalah kuncinya. Obat yang paling manjur adalah hati yang bergembira. Karena itu, dokter di RSU Kumala Siwi Kudus ini berpesan, meski raga dilanda gering, hati harus tetap riang.
Manajemen Stres
Bagi Lia penyakit saraf yang paling sulit disembuhkan adalah pola pikir. Banyak pasien datang kepadanya dengan keluhan nyeri atau tegang di kepala. Penyakit ini disebabkan stres, baik psikis maupun fisik. Seandainya pasien mampu menata stresnya dengan baik, kata Lia, nyeri di kepala takkan kambuh.
Pengagum St Teresa dari Kalkuta ini kerap merasa prihatin, banyak masyarakat belum memiliki pengetahuan tentang penyakit saraf secara memadai. Ia mencontohkan, ada yang mengalami kelumpuhan separuh badan dianggap masuk angin, kejang dikira terkena guna-guna, atau ada orang yang sering berbicara sendiri, pelupa, dan berubah-ubah kepribadian dicap gila. Menurut Lia, hal-hal tersebut merupakan gejala penyakit saraf.
Ketidaktahuan atau bahkan mengabaikan berbagai keluhan justru kerap membuat pasien terlambat mendapat penanganan medis. Tak pelak kematian atau kecacatan permanen pasien akibat gangguan saraf sering terjadi. “Inilah menjadi keprihatinan kami. Sehingga penyuluhan tentang stroke kepada masyarakat terus-menerus kami sampaikan,” ungkap Ketua Komite Medik RSU Kumala Siwi, Kudus ini.
Profesi dokter adalah pembelajaran seumur hidup, kata istri dokter Raymond Adiwicaksana. Bila seseorang menjadi dokter, ia harus belajar terusmenerus sebab ilmu kedokteran senantiasa berkembang. Usaha itu juga demi kebaikan para pasien yang ditangani, serta pengembangan profesinya.
Selain pengetahuan dan pengalaman, dokter juga harus memiliki kasih selama menangani pasiennya. Melayani dengan kasih, tambah Lia, akan memberikan hasil yang optimal. Dengan berlandaskan kasih, lanjutnya, seorang dokter akan melayani pasiennya secara tulus.
Pasien akan merasa nyaman selama masa perawatan dan pengobatan. Suasana itulah yang sejatinya ikut membantu proses penyembuhan. Menurut Lia, hubungan antara dokter dan pasien pada prinsipnya berdasarkan kepercayaan. Keberhasilan pengobatan salah satunya bergantung pada kepercayaan pasien terhadap dokternya.
Menjadi Penolong
Menjadi dokter, bagi ibu dengan satu putri itu, bukanlah semata-mata profesi, melainkan panggilan. Dalam Kitab Kejadian 2:18-25, kutip Lia, Tuhan tak hanya menciptakan manusia (perempuan), tapi Dia juga meletakkan misi kepada-Nya. “Tuhan memanggil saya sebagai seorang dokter agar menjadi penolong keluarga dan masyarakat,” ujarnya.
Kesadarannya terhadap panggilan Tuhan itulah yang membuat Lia selalu berusaha optimal memberikan pelayanan kesehatan kepada tiap pasiennya. Lia pun menyadari, meski di rumah sakit ia adalah dokter, tapi di rumah ia tetap seorang istri sekaligus ibu. “Saya harus berusaha menjadi teladan yang baik bagi keluarga saya,” ungkapnya, bertekad.
Ivonne Suryanto