HIDUPKATOLIK.com – Dari pengalaman 25 tahun menjadi organis, setidaknya ada tiga lagu persembahan yang menjadi favorit umat, termasuk saya; “Bawalah Persembahanku Nanti” (gaya kroncong, Paul Widyawan) yang aransemennya ibarat ombak yang susul-menyusul indah sekali; “Trimalah Roti Anggur Persembahan Diri Kami” (gaya Flores); dan “Ambillah Ya Tuhan Kebebasanku” (versi Madah Bakti; versi Puji Syukur hanya mengacaknya saja). Adapun lagu-lagu persembahan kontemporer (karya Putut Pudyantoro) masih menunggu waktu untuk sampai kepada orbitnya.
Namun, ada satu lagu persembahan, “Terimalah Ya Bapa”, yang saya sebut terhebat yang selama ini hilang, mungkin karena isi pesan teologisnya merupakan sisa-sisa Pra Konsili Vatikan II. Lagu itu, baru saya dengar lagi saat berkunjung ke Indonesia bagian timur. Lagunya relatif tenang, tidak berkobar-kobar, namun penuh hikmat.
Lirik lagu itu seperti berikut: Terimalah ya Bapa Pujian Yesus-Mu. Yang mengurbankan diri di atas altar-Nya. Untuk menyilih dosa, serta memuji Dikau. Ya Tuhan Mahatinggi Terima kurban-Nya, Terima Kurban-Nya. Akupun yang terhina turut mengorbankan. Kurbanku Tuhan Yesus pengganti diriku. Kutadahkan milikku, segala cinta hati. Kerjaku dan usaha, ke atas altar-Mu. Ke atas altar-Mu.
Mengapa lagu ini, yang saya katakan terhebat tetapi nyatanya selama ini menghilang? Barangkali karena pengaruh “nostalgia” masa kecil. Namun yang jelas secara teologis kandungan syairnya sangat kuat. Inti Misa bahwa Kristus mempersembahkan diri-Nya sebagai kurban silih pada Bapa bagi dosa-dosa dunia, terangkum dengan indah dalam bait pertama. Imam menghadirkan Kristus dalam tiga rangkap sekaligus, sebagai Imam, Altar, dan Kurban. Ini paralel dengan para imam Yahudi dulu yang mempersembahkan kurban bakaran dan kurban sembelihan. Namun lebih penuh, bahwa Anak Domba Allah sendiri yang dikurbankan secara tak berdarah, sesuai pesan Kristus, “Lakukan ini sebagai kenangan akan Daku”.
Namun perkembangan zaman, saya mengamati, membuat Misa sebagai “Kurban Kristus”, perlahan- lahan tersingkir, sampai hanya disebut sambil lalu saja, padahal ini soal fundamental. Tekanan lebih banyak pada Misa sebagai “Perjamuan Syukur.”
Hal ini langsung atau tidak langsung berdampak kepada lagu-lagu yang digubah oleh para penulis lagu Gereja pasca Konsili Vatikan II. Kita lihat lagu persembahan Paul Widyawan, dan lagu pesembahan gaya Flores, yang kini amat digemari umat dan juga organis seperti saya, ternyata hanya mengelaborasi tiga baris terakhir saja dari bait kedua lagu persembahan terhebat itu. Isi lagu-lagu persembahan yang lain, juga mengikuti garis yang sama, memohon Bapa menerima persembahan hasil karya jerih payah kita siang dan malam yang tak seberapa artinya ini. Sementara isi bait pertama sudah sama sekali hilang!
Memang ada juga lagu yang masih memasukkan unsur kurban Kristus itu, namun terkesan hanya datar-datar saja. Apakah fenomena ini merupakan “inflasi berat” inti Kurban Misa? Bahkan para pastor sering disindir, “jangan jadi sekadar tukang Misa?” Kurban Misa yang adalah poros hidup Katolik, akhirnya terkena imbas juga. Sedangkan lagu persembahan
“Ambillah Ya Tuhan”, yang inspirasinya diambil dari doa St Ignatius Loyola, mengambil jalannya sendiri yang syukurlah tetap bagus, yaitu jawaban umat yang total menyerahkan diri “Totus Tuus” terhadap kurban Kristus pada bait pertama.
Mungkin ini pertanyaan untuk para teolog liturgi dan para penulis lagu Gereja: mengapa terjadi pergeseran makna penghayatan persembahan ini, yang perlahan-lahan tapi pasti meninggalkan misteri Kurban Kristus, yang justru Dia perintahkan untuk dikenang, dan hanya menitikberatkan pada hasil karya kita siang dan malam?
Gubahan lagu-lagu persembahan kontemporer yang ada pun, meski meriah dan secara estetika bagus, pun terjangkiti nuansa untuk semakin jauh dari inti itu. Tidak bisa lain, kita hanya bisa berharap, semoga banyak penulis lagu Gereja mulai mengarahkan hati dan menimba inspirasi untuk membuat lagu-lagu persembahan dengan mengelaborasi “Terimalah Ya Bapa.”
Th. Bambang Murtianto, Organis