HIDUPKATOLIK.com – Presiden RI Soekarno pernah berpesan, “Jasmerah. Jangan sampai melupakan sejarah.” Sejarah apa? Salah satunya peranan diplomasi Mgr Albertus Soegijapranata SJ (1896-1963) atas kemerdekaan RI dari penjajahan Belanda.
Takhta Suci Vatikan merupakan salah satu negara Eropa pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia. Hal ini ditandai dengan pembukaan misi diplomatik Vatikan di Jakarta pada 1947, kunjungan delegasi Takhta Suci Vatikan beberapa kali medio 1947-1948, dan akhirnya Indonesia menempatkan Wirjopranoto sebagai Duta Besar di Vatikan pada 25 Mei 1950.
Gerry van Klinken (2010) memaparkan, pengakuan Vatikan tersebut berkat jasa Mgr Soegija. Dengan gaya silent diplomacy, Mgr Soegija melakukan diplomasi ke Eropa dan Amerika. Tulisan-tulisannya di berbagai media di Eropa, seperti Majalah ANP yang terbit di Amsterdam dan Majalah Commonwealth untuk pembaca di Amerika Serikat, membuka mata dunia akan situasi Indonesia yang sudah merdeka dari penjajahan Belanda. Pengakuan Vatikan ini memiliki nilai yang sangat strategis dalam kancah hubungan internasional. Sebelumnya, Mesir tercatat sebagai negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia.
Apresiasi Pemerintah
Atas jasa dan perjuangan Mgr Soegija, Pemerintah Indonesia tidak menutup mata. Selain dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal Semarang, Jawa Tengah, Mgr Soegija diangkat sebagai Pahlawan Nasional. Hal ini tertuang dalam Surat Keputusan Presiden No. 152/ 26 Juli 1963. Penghormatan dan pengakuan pemerintah itu semakin lengkap dengan penganugerahan pangkat Djenderal TNI Kehormatan kepada Mgr Soegijapranata sebagaimana tertuang dalam Kepres/Panglima Tertinggi ABRI No. 223/AB-AD, 17 Desember 1964.
Mgr Soegija dikenal dan dikenang sebagai seorang tokoh religius sekaligus nasionalis. Di kompleks pemakaman seluas 3,64 hektar itu ada sebuah cungkup berbentuk joglo. Cungkup adalah bangunan beratap di atas makam sebagai pelindung makam. Cungkup itu ada di atas makam Mgr Soegija. Di dalam cungkup itu ada aneka simbol yang sarat makna terkait nilai religiositas dan nasionalisme: atap tujuh tingkat simbol tujuh sakramen, logo uskup simbol pemimpin umat, daun sirih simbol keabadian, gunungan simbol budaya Jawa, gambar kelima sila Pancasila simbol jiwa nasionalis, dan empat pilar cungkup yang miring ke luar simbol sikap tangan terbuka yang berserah diri pada Tuhan.
Mgr Soegija wafat pada 22 Juli 1963 saat berobat di Belanda. Ada interlokal dari KBRI Bonn, Jerman Barat kepada Pastor Harsasusanta, selaku sekretaris pribadi Mgr Soegija. Pejabat KBRI itu mengatakan, “Romo, ada berita dari Jakarta. Bapak Presiden Soekarno menghendaki supaya jenazah Romo Agung Soegijapranata dibawa kembali ke Indonesia, lalu dimakamkan di Indonesia. Segala pembiayaan mengenai perawatan jenazah, transport sampai di Indonesia dan sebagainya ditanggung oleh Negara. Koordinasi dengan KBRI di Den Haag… Jelas, Romo ? Coba diulang ….”.
Peradaban Kasih
Mengenang jasa Mgr Soegija sangat relevan saat kita merayakan ulang tahun Kemerdekaan RI ke-72. Presiden RI Joko Widodo melalui Kementerian Sekretariat Negara mengumumkan tema dan logo dalam rangka peringatan ulang tahun Kemerdekaan RI ke-72. Di situs setneg.go.id, diuraikan temanya “kebersamaan”. Logonya “72 Tahun Indonesia Kerja Bersama”.
Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, kita harus terlibat dalam mengisi kemerdekaan. Semboyan yang diwariskan Mgr Soegija: “100 persen Indonesia, 100 persen Katolik”. Kita harus ber-Indonesia sungguhsungguh dan ber-Katolik sungguh-sungguh. Mencintai negara dan Gereja secara total. Kita perlu bekerjasama dengan setiap warga negara dalam mengisi kemerdekaan ini.
Caranya bagaimana? Menjadi patriot (Latin: patria, yaitu tanah air). Seorang patriot adalah seorang yang mencintai tanah airnya. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang menghadapi gerakan radikalisme dan merevitalisasi nilai-nilai Pancasila saat ini, kita harus berkomitmen pada Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945. Harapannya, peradaban kasih kian terwujud di bumi Pancasila, rumah kita bersama, agar semakin banyak warga mengalami hidup sejahtera, beriman, dan bermartabat.
Y. Gunawan, Imam Keuskupan Agung Semarang