HIDUPKATOLIK.com – Historia Docet, belajarlah dari sejarah. Ada pula diktum yang cukup terkenal, “masa lalu adalah guru yang paling berharga”. Diktum ini seolah mau menempatkan bahwa masa lalu adalah sumber dari segala tindak-tanduk manusia pada masa kini maupun masa nanti. Masa lalu menjadi pedoman bagi perilaku manusia pada masa-masa berikutnya. Berbicara tentang masa lalu rasanya tak afdol jika tidak menyinggung tentang sejarah, karena masa lalu adalah sejarah itu sendiri.
Ujaran itu, bisa jadi untuk masa kini, hanya pemanis bibir saja. Mayoritas manusia saat ini cenderung tak menghargai masa lalu. Kita cenderung acuh dengan masa lalu. Masa lalu dianggap sebagai sesuatu yang tak penting untuk masa kini, lantaran sudah terjadi dan tidak dapat diputar kembali. Jika sudah cuek terhadap masa lalu, maka mustahil untuk belajar memahami atau menghargai masa lalu sebagai sarana belajar.
Kemampuan untuk mengambil intisari masa lalu akan berpengaruh sangat penting terhadap peningkatan kualitas manusia dalam cara memandang, cara berpikir, dan cara bertindak. Pelajaran dari masa lalu menuntut manusia agar tidak terjatuh dalam lubang yang sama. Masa lalu bukanlah sebuah kesiasiaan belaka. Ia sejatinya yang menentukan apa yang kita hadapi pada masa kini dan nanti.
Itulah yang membuat masa lalu senantiasa aktual. Misal peristiwa Gerakan 30 September 1965 setiap tahun selalu dibincangkan, terlepas dari beragam versi yang melingkupi peristiwa tersebut. Pun peristiwa Mei 1998, yang hingga kini masih menjadi percakapan di ruang diskusi, seminar, hingga obrolan di warung kopi. Bahkan kehadiran Yesus di dunia ini secara historis juga kadang masih diperdebatkan.
Nah, apakah Gereja, terutama Gereja Katolik Indonesia, menghargai masa lalunya? Apakah ada paroki, keuskupan, atau lembaga-lembaga gerejani yang merawat dengan apik dokumen-dokumen masa lalu? Banyak lembaga gerejani di Indonesia yang masih menyepelekan dokumen, foto, arsip, benda-benda, atau bahkan bangunan peninggalan masa lalu. Dokumen-dokumen terserak di mana-mana. Benda-benda peninggalan para misionaris yang menjadi tonggak sejarah pun hanya ditumpuk di gudang. Foto-foto bersejarah tersebar di mana-mana. Bangunan tua dibiarkan dimakan usia, atau bahkan dibongkar dan diganti dengan bangunan baru yang kadang menghilangkan arti keberadaannya pada masa lalu.
Dari ribuan imam yang ada di Indonesia, apakah ada yang tertarik belajar secara serius tentang sejarah Gereja? Tercatat hanya ada dua imam di Indonesia yang studi sejarah Gereja hingga mencapai gelar doktor.
Ini sebuah ironi. Tapi juga menjadi tantangan. Apalagi ketika berbicara tentang sebuah museum misi Gereja Katolik Indonesia yang bisa merawat ingatan masa lalu Gereja. Kehadiran museum misi mestinya menjadi agenda Gereja Katolik Indonesia ke depan. Pembicaraan tentang museum misi bukan lagi menjadi obrolan yang ecek-ecek, bukan lagi isu yang berada di pinggiran. Ia harus terus diwacanakan, agar ada orang-orang yang terdorong untuk mewujudkannya.
Kehadiran museum misi Gereja Katolik Indonesia ini sejatinya bukanlah sekadar membangun gedung, mengumpulkan koleksi, lalu mengundang pengunjung datang. Itu memang penting, tapi itu bukanlah yang pertama. Kehadiran museum misi Gereja Katolik mestinya dilandasi semangat merawat dan menawarkan nilai-nilai masa lalu yang masih relevan bagi masa kini dan nanti. Karena masa lalu selalu aktual.
Redaksi