HIDUPKATOLIK.com – Injil merupakan pegangan dan pedoman hidup bagi umat. Umat jangan sampai terhanyut oleh arus zaman.
Pada zaman modern seperti sekarang, segala sesuatu diukur dengan uang dan kenikmatan. Bagaimana Kabar Gembira serta pewarta hadir di tengah gaya hidup seperti itu? Berikut nukilan wawancara dengan Delegatus Kitab Suci KWI sekaligus Delegatus LBI, Mgr Johannes Liku Ada’, di Wisma Uskup, Jalan Kemiri 15, Jakarta Pusat, Kamis, 24/8:
Apa latar LBI memilih tema BKSN tahun ini?
Tema itu dipilih oleh Lembaga Biblika Indonesia (LBI) sebagai tanggapan atas seruan apostolik Paus Fransiskus, Evangelii Gaudium (Sukacita Injil), menyangkut pewartaan Injil kepada manusia dewasa ini. Dalam himbauannya itu juga, Paus menyinggung dua persoalan yang melanda dunia modern, termasuk Gereja, yakni konsumerisme dan hedonisme.
Injil merupakan pegangan dan pedoman hidup bagi umat beriman Kristiani. Namun, dengan adanya perubahan gaya hidup, ikut mempengaruhi kehidupan manusia juga. Karena itu, melalui tema ini, diharapkan umat tidak terseret dan terhanyut oleh arus zaman modern, dengan terus berpegang pada nilai-nilai Injili.
Dampak modernitas apa yang paling dirasakan?
Teknologi dan hedonisme. Orang sekarang memandang segala sesuatu serba fungsional (kegunaan) dan material (bisa diraba). Tanpa disadari itu bertentangan dengan nilai Injili, yakni materialisme yang mendewakan uang atau “teologi sukses” yang menekankan kesejahteraan semata.
Dalam teologi sukses, ayat-ayat Kitab Suci dicomot, lalu digunakan dalam khotbah. Tuhan, menurut mereka, menginginkan umat-Nya bahagia. Kebahagian itu didapat dengan menjadi kaya, karena itu mereka mengajak umat untuk berdoa kepada Tuhan agar menjadi kaya. Jadi, Tuhan mereka anggap sebagai “kuda tunggangan”, sementara tuannya adalah uang.
Saya jadi ingat khotbah Kardinal Julius Riyadi Darmaatmadja SJ beberapa tahun silam. Beliau mengatakan, sekarang sila pertama Pancasila sudah diganti, bukan lagi Ketuhanan yang Mahaesa, tapi “keuangan yang mahakuasa”.
Sementara itu, hedonisme menekankan kesenangan jasmani. Ini bertentangan dengan Injil. Sebab Injil tak mendorong untuk mencari kesenangan pribadi, tapi justru mengajarkan pengorbanan bagi sesama. “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh. 15:13).
Kualitas hidup seperti apa yang dimiliki umat atau pewarta pada zaman modern?
Teolog asal Jerman, Pater Karl Rahner SJ (1904-1984) punya “ramalan” untuk umat Kristiani pada masa depan. Katanya, orang-orang Kristen mendatang akan menjadi mistikus atau tak menjadi apaapa. Menjadi mistikus artinya mengalami kehadiran misteri dalam hidupnya. Pater Rahner tak melulu bicara mistisisme dalam hidup rohani, tapi kegiatan harian juga.
Dunia kita sekarang serba bising dan sibuk. Akibatnya hidup terasa dangkal, jika situasi seperti ini terus berlangsung maka akan berhenti menjadi orang beriman. Para pewarta harus mengalami kedalaman hidup. Sebab dalam dunia modern, pewartaan yang efektif adalah kesaksian hidup. Pengetahuan memang penting, tapi bukan yang pertama dan utama.
Manusia modern butuh keheningan sehingga bisa menemukan sesuatu. Misal ziarah, mereka pergi untuk mengalami sesuatu, katakan lepas dari kesibukan pekerjaan atau sejenak menjauh dari kebisingan kota. Keheningan membantu manusia masuk ke dalam relung hati paling dalam. Di sana kita menemukan misteri, yang menurut umat beriman disebut Tuhan.
Apa yang Bapa Uskup harapkan selama BKSN?
Membaca Kitab Suci penting, sebab Kitab Suci adalah Sabda Allah. Sebagai Sabda Allah, Kitab Suci adalah misteri, semakin dihayati akan semakin memahami. Tapi, pemahaman itu tak ada batasnya, sebab Kitab Suci sebagai Sabda Allah adalah misteri.
Membaca satu ayat Kitab Suci tiap hari akan memberi inspirasi baru. Meski besok kita membaca ayat yang sama, tapi inspirasi yang kita dapat berbeda. Saya berharap, tiap umat mengambil satu ayat Kitab Suci sebagai semboyan hidup. Semakin menghayati ayat itu, makin penuh makna hidup kita. Saya juga berharap kegiatan BKSN bisa lebih berkembang, tersebar merata dan menyesuaikan diri dengan konteks atau situasi Keuskupan setempat.
Yanuari Marwanto