HIDUPKATOLIK.com – Satu tantangan pendidikan saat ini adalah memberikan pendidikan moral kepada peserta didik sejak dini. Peserta didik yang dibiasakan sadar dan peduli akan prinsip hidup yang benar dan yang salah. Menurut Lawrence Kohlberg (1976), anak-anak taat karena orangtua meminta mereka agar taat. Bila tidak taat, maka akan ada hukuman. Namun, bila anak taat, maka akan mendapat pujian atau mendapatkan apa yang sudah dijanjikan kepada anak itu. Level perkembangan moral ini disebut Kohlberg sebagai level prekonvensional.
Perkembangan moral selanjutnya, seorang anak melakukan yang baik karena mengharapkan penghargaan orangtua atau guru sebagai anak yang baik. Artinya, anak melakukan yang baik dan benar karena dihargai guru atau orangtua. Dalam tahapan ini anak sudah mulai menginternalisasi aturan dan norma sosial yang berlaku. Level perkembangan moral ini disebut Kohlberg sebagai level konvensional. Anak sudah sadar aturan, norma sosial, dan hukum keadilan. Anak taat, bukan sekadar menghindari hukuman, tapi karena sadar dan memahami aturan sosial.
Perkembangan moral yang lebih tinggi terjadi ketika anak sudah menginternalisasikan nilai-nilai menjadi keyakinan dan prinsip berperilaku. Di sini, anak sadar bahwa aturan sosial dan hukum adalah penting untuk melindungi nilai yang lebih penting. Anak sudah lebih mengandalkan prinsip etika universal yang didasarkan kepada hati nurani. Level ini disebut Kohlberg sebagai level post-konvensional. Perkembangan moral seorang anak sangat tergantung kepada proses pendidikan yang dialami. Bisa jadi, ada anak yang perkembangan moralnya terfiksasi di level prekonvensional. Taat aturan untuk menghindari hukuman. Perilaku seperti itu yang sering terlihat dalam pribadi orang yang hanya taat kepada rambu lalu lintas jika ada Polisi. Bila tak diawasi, maka demi mencapai keinginan pribadi, ia melawan arus, sekalipun hal itu sangat berbahaya bagi orang lain. Pendidikan yang menekankan hukuman, akan menghasilkan pribadi-pribadi seperti ini. Misal, ketika peserta didik datang terlambat ke sekolah, tanpa ditanyai alasan, sang guru langsung menghukum. Atau ketika peserta didik menyontek, tanpa diajak dialog, kertas ulangan langsung disobek dan diberi nilai nol. Dalam situasi ini, peserta didik tak mendapat kesempatan mengembangkan penalaran moral, “mengapa seharusnya dia tidak terlambat” dan “mengapa tidak boleh menyontek”.
Beda hal dengan sistem pendidikan yang bila anak melakukan kesalahan, guru mengajak anak berdialog dan merefleksikan. Misal, ketika peserta didik terlambat, guru tak langsung menghukum. Anak diterima dan lalu dipersilakan masuk kelas dan mengikuti pelajaran. Setelah pulang sekolah, anak diajak berdialog tentang keterlambatan datang ke sekolah. Anak diajak menelusuri seluruh ritme hidup harian. Peserta didik diajak menalar tentang nilai-nilai hidup serta perilaku. Sekolah yang menerapkan proses pendampingan seperti ini akan mempromosikan perkembangan moral peserta didik ke level yang lebih tinggi, membentuk pribadi yang taat aturan, bukan karena takut hukuman, tapi karena sadar bahwa hal itu baik.
Tentu, para pendidik yang mampu menunaikan tugas seperti ini juga harus memiliki level moral yang lebih tinggi, level post-konvensional. Bila level moral pendidik masih level moral kanak-kanak, maka biasanya lebih bersemangat menegakkan aturan melalui hukuman. Peserta didik di sekolah seperti ini juga akan dibentuk dengan moral kanak-kanak. Ia tidak pernah dewasa secara moral. Kelak setelah dewasa, bila ada kesempatan memanipulasi aturan demi kepentingan diri sendiri, mereka akan memanipulasi tanpa rasa bersalah sedikit pun.
Tentu sekolah-sekolah, terutama sekolah Katolik tak mau membentuk pribadi seperti itu. Maka, para pendidik perlu menyediakan waktu untuk membimbing peserta didik tentang prinsip hidup yang benar justru ketika peserta didik ini melakukan kesalahan. Dengan demikian sekolah-sekolah Katolik menjadi tempat pendidikan moral terbaik bagi generasi mendatang.
Fidelis Waruwu