HIDUPKATOLIK.com – Minggu Biasa XXVI: Minggu Biasa XXVI: Yeh 18:25-28; Mzm 25:4bc-5,6-7,8-9; Flp 2:1-11; Mat 21:28-32
BARANGKALI spiritualitas “ingkar diri” tidak laku lagi di pasar hidup generasi milenium ini, tapi hemat penulis ini mestinya tetap harus relevan bagi seorang murid Yesus Kristus. Hal ini terutama ketika harus bergulat dengan kecenderungan “ingat diri”, maka dia akan merasakan ketegangan batiniah yang menguji kemuridannya pada Kristus Tuhan. Firman Tuhan hari Minggu ini menantang sekaligus memandu kita murid-murid-Nya.
Dengan kata dan tindakan yang diteladankan-Nya, Yesus menandaskan pentingnya “Spiritualitas Ingkar Diri”. Dalam gaya bahasa perumpamaan (bdk. Perumpamaan tentang dua orang anak, Mat 21:28-32) Dia mengingatkan orang-orang yang punya keyakinan diri di zona aman, merasa percaya diri tentang jaminan hidup selamat. Sementara mereka sesungguhnya bukan melaksanakan kehendak Bapa-Nya, tetapi mereka melekat pada kesalehan kultis, privilese status, kebanggaan primordialis, dan interese egosentris. Tanpa sadar “diri sendiri” menjadi pusat keseharian perilaku hidupnya dan mengabaikan kehendak Tuhan Allahnya.
Suara kenabian Yehezkiel (Yeh 18:25-28) sudah lebih awal mengungkapkan kritik yang sama tentang Israel yang merasa nyaman dengan privilesenya di mata Allah, lalu mengira secara otomatis menjadi “orang baik” dan selamat. Padahal mereka tidak berbuat baik, sebaliknya yang mereka lakukan adalah perbuatan yang jahat. Lalu mereka tega menilai bahwa Allah keliru menanggungkan kutuk dosa leluhur mereka kepada anak-cucunya, “Tetapi kamu berkata: Tindakan Tuhan tidak tepat! Dengarlah dulu, hai kaum Israel, apakah tindakan-Ku yang tidak tepat ataukah tindakanmu yang tidak tepat?” (Yeh 18:25).
Awasan seperti di atas ini mestinya tetap aktual untuk segala zaman. Ini tidak terutama sebagai ancaman, tetapi sebagai hikmah ilahi yang menuntun perilaku hidup kemuridan kita di jalan yang diretas Yesus. Kata-kata Yesus dikonkritkan-Nya dengan tindakan nyata. Ia yang adalah Allah turun serendah-rendahnya menjadi manusia, hamba Allah. Dengan itu, Ia memberi contoh bagaimana manusia dapat melepaskan diri dari wajah-wajah kelekatan pada kecenderungan “ingat diri” yang primordialistis dan konyol.
Yesus menawarkan jalan pertobatan untuk berubah menjadi murid-murid-Nya yang mampu dan rela “ingkar diri” demi idealisme kemuridan sejati di jalan Yesus. Teladan “kerendahan hati” Guru kita Yesus tidak ada tandingannya. Menjadi murid Yesus yang rendah hati, adalah pintu masuk kepada sikap tahu diri, bertobat, dan mencintai kesatuan erat dengan Sang Guru utama, Yesus Kristus. Karena rasul Paulus meyakini bahwa yang sanggup mengubah seseorang menjadi manusia baru, yang kaya dengan kasih kebaikan dari Tuhan Allahnya untuk diabdikan keluar dirinya, hanyalah Yesus Kristus (bdk. Fil 2:1-5).
Refleksi singkat tersebut meneguhkan keyakinan iman penulis, untuk memberanikan diri menyimpulkan, bahwa awasan Yeheskiel, Paulus, dan Yesus mestinya dipahami dan diyakini, tidak hanya inspiratif tetapi juga imperatif untuk menguji kesejatian kemuridan seseorang kepada Yesus Kristus. Tak patut membuang hikmah yang mahal ke mulut babi, karena di dalam “hikmah” selalu terkandung jaminan untuk seseorang bisa meyakini “nikmatnya” bisa hidup benar dan bermutu, serta boleh mengharapkan hidup yang selamat, baik di dunia ini maupun kelak bersama Guru dan Sahabat seperjalanan kita, Yesus Kristus yang sudah dimuliakan selamanya. Tuhan memberkati. Amin.
Mgr Vincentius Sensi Potokota