HIDUPKATOLIK.com – Tahun Ajaran 2017/2018 sudah mulai. Problematika yang menghantui setiap tahun ajaran baru, secara signifikan muncul berita menyedihkan; Sekolah Katolik tutup dan guru Katolik harus berusaha mencari sekolah baru. Saatnya merefleksi nasib Sekolah Katolik.
Catatan Keuskupan Agung Semarang (KAS) secara kuantitatif perkembangan sekolah dan siswa. Dari semua Sekolah Kanisius yang masih ada, hampir semuanya kekurangan siswa. Disebutkan, pada 1975-1980, Yayasan Kanisius mengelola sekitar 250 unit sekolah dengan 12 cabang. Dalam kurun waktu 30 tahun, jumlah unit Sekolah Kanisius berkurang sekitar 50 unit. Pada 1975, peserta didik mencapai 56.035. Tapi, pada 2012/2013, jumlah murid hanya 23.305. Pun begitu dengan sekolah lainnya.
Kemerosotan jumlah siswa mesti menjadi keprihatinan stakeholder. Seolah terjadi pembiaran sehingga pemilik dan pengelola harus bekerja keras sendirian guna tetap hidup. Berbagai kebijakan yang berbeban ditempuh demi tetap hidupnya Sekolah Katolik.
Realita dan ekspektasi, butuh gerakan penyelamatan. Sebab kader militan Katolik 100 persen dan Indonesia 100 persen seperti di kampanyekan Mgr A. Soegijapranata SJ, secara optimal lahir dari pendidikan Sekolah Katolik. Tumbuh kembangnya siswa di tempat yang tepat, maka tidak akan menghilangkan iman dan nasionalismenya. Sekolah Katolik menjadi tempat bersemainya karakter katolisitas dan nasionalisme.
Berbeda saat zaman keemasan; era setelah kemerdekaan, orde lama, dan orde baru. Tanpa promosi intens, siswa dan orangtua berebut dan berusaha mendapatkan tempat, meski harus membayar mahal. Namun, zaman telah berubah sejak era reformasi, dengan munculnya transparansi dan tuntutan sekolah murah dan berkualitas. Terjadi perubahan paradigma, nasib Sekolah Katolik di ujung tanduk.
Ini adalah tanda, perlunya gerakan untuk melakukan penyelamatan sekolah Katolik yang masih tersisa. Bagaimana menyiasati dengan munculnya program dan propaganda sekolah gratis dengan bantuan operasional sekolah (BOS) bagi sekolah negeri. Meski setiap menjelang tahun baru, berbagai spanduk, baliho, pamflet, dan brosur banyak tersebar di gereja maupun tempat peziarahan menjelang Natal, itu belum mampu menghipnotis secara masif masyarakat, terutama umat Katolik.
Bila umat Katolik sendiri secara sadar masih mempercayai sekolah Katolik, iming-iming pendidikan gratis di sekolah negeri tidak akan mampu membius. Sebab bila dihitung-hitung, biaya yang dikeluarkan selama mengenyam pendidikan, tidaklah jauh berbeda. Bahkan selalu diyakini, bila pendidikan di sekolah Katolik dalam pendampingan jauh lebih intensif, karena didasari cinta kasih dan disiplin yang tinggi.
Ada apakah dengan umat Katolik sendiri, yang sudah tidak lagi mengidolakan sekolah pembentukan karakter sejati ini? Memudarnya rasa militansi merupakan bentuk kegagalan Gereja dalam melakukan kaderisasi umat. Menyedihkan saat antarpemimpin Gereja, pemilik (yayasan) Sekolah Katolik yang juga biarawan/i justru saling bersiteru; saling memperebutkan gengsi, martabat, dan citra dengan menganggap sekolah seiman sebagai pesaing berat.
Stakeholder Sekolah Katolik mesti duduk bersama membahas persoalan makro yang menjadi penyebab menurunnya minat terhadap Sekolah Katolik. Itu bisa ditelaah dari sisi politik, pertumbuhan ekonomi, perubahan perilaku, dan strata sosial masyarakat, kebijakan pemerintah.
Pemilahan permasalahan, mendiskusikan, kemudian mencari alternatif solusi menjadi penting. Sebab “perang spanduk” dan sejenisnya menjadi kurang efektif. Aplikasi, prestasi nyata dibutuhkan masyarakat pelanggan, juga biaya yang terjangkau secara umum.
Komprehensif pelaksanaan kurikulum 2013 (kurtilas) tahun 2018 yang menekankan karakter, kebangsaan, dan akhlak mulia sebagai peluang emas. Sekolah Katolik mesti membuktikan diri sudah menjadi habitus dalam pengelolaan pendidikan menekankan religiositas, kedisiplinan, etika, budi pekerti, kesalehan, dan kejujuran. Tidak kalah penting, persamaan ide dan gagasan antara Gereja, sekolah Katolik (pemilik, pengelola) dan umat demi ekspektasi.
F.X. Triyas Hadi Prihantoro