HIDUPKATOLIK.com – Menjadi pengusaha butuh kerja keras. Bila sukses ada tanggung jawab untuk memperhatikan semua orang.
Kini, nama Susi Susanti memang tak sepopuler dulu. Istri Alan Budikusuma ini pernah mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional. Melalui bulu tangkis, ia pernah meraih medali emas pertama dalam ajang Olimpiade Barcelona 1992. Atas prestasi itu, ia mendapat penghargaan Bintang Jasa dari pemerintah Indonesia.
Sebagai mantan atlet bulu tangkis, Susi berniat terus menghidupi olahraga yang pernah membesarkannya. Ia tak ingin kisah kelam mantan atlet yang tidak diperhatikan terulang. Setelah berhenti dari kesibukan bermain raket, Susi terjun ke dunia bisnis. Bersama suami, ia menggeluti bisnis peralatan olahraga, khususnya bulu tangkis. Susi menggunakan merek dagang Astec, akronim dari Alan Susi Technology dan mendirikan perusahan dengan nama PT Astindo Jaya Sport.
Perempuan bernama lengkap Lucia Francisca Susi Susanti Haditono ini mengakui, kendati berjalan cukup lama, bisnis ini tak langsung jadi. Semua dimulai dari nol. Sebagai produk baru, Susi terus mempromosikan Astec dalam berbagai kesempatan. Salah satu yang gencar dibuat adalah turnamen bulu tangkis tingkat kampung sampai nasional. “Sebagai produk dalam negeri, Astec berkembang karena berniat mengenalkan dunia olahraga pada masyarakat,” ujar Susi.
Pahit manis dunia bisnis telah ia rasakan. Ia mengisahkan, sebelum melahirkan Astec, Susi pernah bisnis jual beli kendaraan. Tapi usaha ini tak bertahan lama. Ia lalu mencoba menjadi agen raket asal Jepang, tapi juga gagal. Lewat hobi dan pengalaman di bidang olahraga, Susi mengembangkan Astec. “Astec adalah raket dengan kualitas internasional yang diproduksi Indonesia,” terang perempuan kelahiran Tasikmalaya, 11 Februari 1971 ini.
Kini, produk Astec tak hanya untuk kalangan di dalam negeri. Ia telah merambah ke mancanegara, seperti Vietnam, Perancis, Malaysia, dan Filipina. Susi menceritakan, semua ini tak lepas dari kerja keras. Tak ada hasil yang sempurna tanpa proses yang menyakitkan.
Ketua Bidang Pembinaan dan Prestasi Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) ini mengakui, salah satu keberhasilan mengembangkan perusahaan adalah kaderisasi karyawan. Susi selalu mengingatkan karyawannya bahwa perusahan ini adalah milik bersama. Artinya perlu dukungan sistem dan tenaga dari para karyawan. Dalam Astec, tidak ada pihak yang untung dan lain rugi. Kalau untung semua harus untung. “Atas semangat itu, karyawan benar-benar bertanggung jawab penuh. Bila ada yang kurang selalu dikomunikasikan. Sebab karyawan adalah keluarga besar kami.”
Bisnis Merangkul
Hal senada juga diungkapkan Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, Tuty Laswardi Yusuf. Bisnis akan semakin kuat, ujarnya, jika lingkungannya diwarnai dengan suasana kekeluargaan. Sebagai seorang dokter hewan, ia juga mengelola bisnis Praktek Dokter Hewan Bersama (PDHB) sejak 1990.
Dalam menjalankan roda bisnis ini, Tuty senantiasa membuat agar setiap karyawan merasa bekerja di rumah sendiri. “Maka, sebagai pemimpin, hal utama yang harus diperhatikan adalah bisa dipercaya, transparan, dan jujur,” kata Ketua komunitas
Profesional dan Usahawan Katolik (PUKAT) Keuskupan Bogor ini.
Bagi Tuty, keberhasilan bisnis klinik PDHB ini karena setiap karyawan dan mitra kerja selalu diberdayakan, saling mendukung, dan mengusahakan perbaikan pelayanan terus-menerus. Bermula dari satu klinik, kini PDHB telah membuka empat cabang praktik. “Klinik ini telah memiliki dokter hewan sebanyak 40 orang,” ujar Tuty.
Dalam menghadapi persaingan bisnis, Tuty mengaku, selalu mengedepankan nilainilai Kristiani. Nilai-nilai Kristiani seperti bekerja demi kebaikan, terbuka, keinginan untuk maju, dialog, dan kerja sama, juga menjadi bagian penting dalam mengembangkan kualitas perusahaan.
Hal penting yang juga perlu diperhatikan adalah aspek manusia. Pengusaha Katolik, kata Tuty, dipanggil untuk ikut serta memberdayakan orang lain. Setiap pengusaha yang telah mapan, harus pula melihat para usahawan Katolik yang sedang merintis usaha. “Ada banyak orang Katolik yang punya kemampuan, tetapi tak memiliki peluang dan dana. Maka, para pengusaha perlu bertukar pikiran untuk merangkul mereka,” tutur Tuty.
Mewariskan Tradisi
Sementara Pieneke Mariana Sutandi mempunyai cara sendiri untuk memberdayakan kaumnya. Sembilan puluh persen lebih, karyawannya perempuan. “Hubungan saya dengan karyawan seperti orangtua dengan anak-anaknya,” ujar Presiden Komisioner Parang Kencana ini. Dalam menahkodai bisnis batik ini, Pieneke selalu terbuka dalam menjalin komunikasi dengan para karyawannya. “Karena banyak karyawan yang orang muda, saya selalu obyektif dalam melakukan penilaian. Kalau bagus, saya katakan bagus, tapi jika tidak bagus ya katakan tidak bagus.”
Meskipun usianya sudah berkepala tujuh, Pieneke terus mendorong agar karyawan kreatif dan menghasilkan produk batik yang berkualitas. Melalui usaha ini, Pieneke juga sedang mewariskan tradisi bangsa ini kepada generasi muda. Maka, ia kerap membuat pelatihan-pelatihan batik bagi orang muda. Ia juga sering melibatkan pengrajin batik untuk ikut serta pelatihan mengembangkan usahanya. “Saya sadar, semua usaha ini bisa terjadi berkat Tuhan, maka saya mesti berbuat sesuatu untuk Tuhan dan sesama,” ujarnya.
Menjadi Berkat
Hal yang hampir serupa dibuat Suryani Wongso. Bersama sang suami, Herman Tanujaya, ia mengelola bisnis alat-alat bangunan. Sebagai pemilik perusahaan, Suryani sadar pemberdayaan karyawan menjadi penting. “Saya menganggap karyawan sebagai satu keluarga besar dalam perusahaan kami. Karena dengan merekalah, kami bergandengan tangan bersama-sama memajukan perusahaan,” ujarnya.
Ketua PUKAT Keuskupan Surabaya ini menambahkan, bisnis apapun bentuknya adalah titipan Tuhan. Maka hal utama yang harus dikembangkan adalah menggunakan rahmat Tuhan itu sebagai berkat bagi orang lain. Oleh karena itu, ia berharap, agar para pengusaha Katolik mau menggandeng para pengusaha dan profesional muda, terutama perempuan agar mau terlibat dalam upaya pemberdayaan masyarakat, sehingga kehadirannya menjadi saluran berkat bagi sesama.
Yusti H. Wuarmanuk
Laporan: Christophorus Marimin/Marchella A. Vieba