HIDUPKATOLIK.com – BUKU karya Dr Osbin Samosir memberikan optimisme bagi para calon legislatif. Mengapa? Di tengah pragmatisme politik dan banalitas pemilu, buku bertajuk “Keterwakilan Politik Kristen di Basis Islam yang Kuat” memberikan terobosan dalam bidang kampanye untuk meraih simpati konstituen agar terpilih sebagai wakil rakyat. Buku ini merupakan hasil karya riset doktoral ilmu politik di Universitas Indonesia. Jadi, kita tidak usah meragukan kesahihannya dan sudah diuji oleh para guru besar.
Ada dua teori pokok penelitian ini, yakni teori Alan Ware dimana ada tiga level keterpilihan seorang caleg yang diusung oleh partai. Level terendah adalah mengusung ideologi partai kepada pemilih. Ini sekarang masih sangat kuat dengan Partai Peronist di Argentina. Level kedua yang lebih baik adalah mengusung program partai, dimana sikap koinsistensi partai untuk sepanjang tahun menjalankan programnya yang menyentuh langsung kehidupan konkrit warga pemilih. Dan di level tertinggi saat ini adalah figur atau sosok personal dari caleg yang diusung oleh partai.
Dalam hasil penelitian Dr Osbin Samosir menyuguhkan data bahwa orang-orang Kristen justru menang di basis Islam yang kuat. Misalnya, Maruarar Sirait PDI Perjuangan di dapil Jawa Barat, Ribka Tjiptaning PDI Perjuangan dapil Kabupaten Sukabumi dan Kota Sukabumi dan Enggartiasto Lukito Partai Golkar di Jawa Barat. Secara empiris para caleg tersebut tidak mengalami hambatan yang signifikan dalam berkampanye. Untuk pengalaman pilkada DKI menjadi pengecualian.
Menurut ilmuwan politik Indonesia Maswadi Rauf, untuk konteks Indonesia dua ikatan primordialisme terpenting adalah suku dan agama. Sangat berbahaya ketika ikatan primordialisme baik suku maupun agama dicampur-baurkan dengan politik karena membuat warga akan membela habis-habisan partai tersebut hanya karena ikatan agama atau suku tertentu, bukan karena kinerja atau program yang diusung oleh partai dan caleg bersangkutan.
Dalam hal ini saya mencoba untuk mengulas dengan perbandingan pilkada DKI Jakarta 2017. Kebetulan saya menjadi salah satu aktor sebagai penyelenggara pilkada. Pilkada DKI menjadi barometer politik nasional. Buruknya kualitas penyelenggaraan pilkada DKI akan menjadikan perwajahan buruk pula bagi proses konsolidasi demokrasi di level nasional. Hal ini berkaitan dengan mudahnya informasi pilkada DKI tersebar dan menjadi diskursus warga di media massa dan media sosial di dalam negeri hingga ke mancanegara.
Hoax via Medsos
Harus kita akui kampanye via media sosial di pilkada DKI menjadi paling hiruk-pikuk dibandingkan dengan 100 daerah lain yang juga menyelenggarakan pilkada serentak 2017. Media sosial kini diwarnai dengan pertarungan sengit para pendukung tiga pasang pasangan calon. Fenomena ini sangatlah wajar sebab para pasangan calon ini memiliki pendukung yang identik dengan anak-anak muda yang dekat dengan dunia maya. Misalnya, Basuki Tjahaja Purnama didukung Teman Ahok yang dimotori anak-anak muda dan warga kelas menengah.
Selanjutnya, Anies Baswedan ialah inisiator gerakan Indonesia Mengajar dan gerakan Turun Tangan yang dimotori anak muda serta warga kelas menengah yang menjadikan media sosial sebagai media kampanye utama. Sedangkan, Agus Harimurti Yudhoyono merupakan tentara muda dengan segudang prestasi. Terlepas dari rekam jejak figur para kandidat media sosial memang efektif dan efisien dalam berkampanye.
Posisi media sosial menjadi strategis. Tidak semua kampanye di media sosial bersifat positif dalam arti mengenalkan visi, misi dan program pasangan calon. Yang terjadi justru sebaliknya banyak sekali hoax atau berita bohong misal terkait SARA dan ujaran kebencian. Bahkan, di masa tenang pun tidak pernah berhenti kampanye di media sosial. Fenomena ini belum dapat direspon secara antisipatif oleh penyelenggara pemilu, yakni KPU dan Bawaslu. Penyelenggara pemilu ke depan harus memikirkan bagaimana mengawasi dan menindak kampanye hitam di media sosial.
Problematika Daftar Pemilih
Fakta banyak warga DKI yang tidak dapat menggunakan hak pilih mereka pada putaran pertama diduga karena minimnya pemahaman dari petugas di tempat pemungutan suara. Kekhawatiran bahwa kesengkarutan data pemilih akan menimbulkan masalah dalam pemungutan suara di pilkada serentak 2017 menjadi kenyataan. Persoalan itu menjadi noda di tengah pelaksanaan pilkada yang secara umum berlangsung lancar dan aman, termasuk di DKI. Di beberapa tempat pemungutan suara (TPS) di DKI, kericuhan mewarnai pencoblosan. Data hasil investigasi dan klarifikasi terhadap KPPS, Panwas menemukan di empat kecamatan dari total enam kecamatan di Jakarta Utara, yaitu kecamatan Penjaringan, Pademangan, Kelapa Gading, dan Cilincing.
Misalnya, di kecamatan Cilincing. Ratusan warga Rusun Marunda, Jakarta Utara. Mereka tidak dapat memilih karena kehabisan formulir DPTb di TPS 30, hanya tersedia 19 lembar sedangkan kertas suara masih sisa 110 lembar. Selanjutnya, kejadian yang sama terjadi di kelurahan Sukapura TPS 60 RW 08 sempat terjadi kericuhan karena ada lima warga ingin memilih menggunakan e-KTP dan KK tetapi formulir DPTb habis, sedangkan sisa surat suara masih sebanyak 71 lembar.
Secara umum DPT setiap pemilu/pilkada selalu bermasalah. problematika daftar pemilih ini sebenarnya sudah masalah klasik. KPU sejauh ini tidak dapat bekerja secara efektif dan efisien dalam pemutakhiran data. Verifikasi secara sensus oleh PPDP dalam putaran pertama juga tidak berjalan secara optimal dan cenderung mencari jalan pintas. Sehingga proses pencocokan dan penelitian pemilih di lapangan sering kali diabaikan. Terbukti, tetap saja ada pemilih yang belum terdaftar, pemilih sudah meninggal, serta pemilih sudah berpindah tempat tinggal. Akibat kekurangcermatan ini membuat pemilih akhirnya tidak dapat memilih.
Menjerat Politik Uang
Selama pilkada DKI Jakarta menurut catatan saya, hanya ada dua kasus tindak pidana pemilihan yang dapat diproses hingga vonis di pengadilan, yaitu kasus penghadangan kampanye di Jakarta Barat dan penyalahgunaan C6 orang lain di Jakarta Utara. Untuk kasus penghadangan kampanye dihukum dengan hukuman percobaan dan kasus C6 dihukum dua tahun. Kedua kasus ini jika diselidiki lebih mendalam tentu tidak berdiri sendiri, ada kaitan dengan persoalan politik uang.
Kasus pidana pemilu yang laten adalah politik uang. Materi UU 10/2016 tidak menjamin meminimalisasi politik uang dalam pilkada serentak 2017. UU 10/2016 menambah wewenang dan fungsi Bawaslu untuk memeriksa dan menjatuhkan sanksi administrasi bagi partai/calon yang melakukan politik uang, manakala politik uang tersebut memenuhi unsur terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Syarat politik uang harus memenuhi unsur TSM, hal ini membuat sanksi administratif mandul. UU 10/2016 juga melegalkan politik uang dengan mengakomodasi pemberian barang dan uang transportasi kepada pemilih dalam nilai yang ditentukan KPU. Ketentuan ini makin mengaburkan konsep politik uang.
UU 10/2016 juga menjerat penerima politik uang selain pemberinya. Politik uang adalah aktivitas yang cenderung tertutup (underground) dan melibatkan jaringan yang luas, ada tim kampanye dan sejumlah tim relawan atau tim bayangan. Dimungkinkan ketentuan ini hanya mampu menjerat operator politik uang dan pemilih yang menerima politik uang di tingkat desa/kelurahan, bukan aktor intelektualnya.
Benny Sabdo
Sekretaris Jenderal ISKA