HIDUPKATOLIK.com – Banyak orang Yahudi ia selamatkan ketika tentara Hitler menginvansi Italia. Tindakan heroiknya harus dibayar dengan nyawa. Berkat pengorbanannya, pemerintah Israel menganugerahkan bintang jasa kepada ahli Kitab Suci ini.
Kedatangan tentara Jerman ke Italia menebar aroma teror. Serdadu Adolf Hitler (1889-1945) menjadi mesin pembunuh untuk meluluskan Politik Lebensraum, yaitu menciptakan ruang hidup yang luas bagi ras Arya. Rezim Hitler mendata semua orang, mencinduk dan menjebloskan golongan non-Arya, terutama Yahudi, dan membunuhnya dalam kamp-kamp konsentrasi.
Situasi yang sangat memprihatinkan itu menggerakkan hati Romo Giuseppe Girotti OP. Ia tak tega mendengar dan menyaksikan kabar penculikan dan pembunuhan terhadap rakyat tak berdosa, hanya karena ideologi sesat. Akhirnya, imam alumnus program doktoral bidang Kitab Suci di Universitas École Biblique et Archéologique Française (EBAF), Yerusalem ini membangun jejaring dengan orang-orang Yahudi.
Melalui jejaring ini, Romo Girotti membuat identitas baru untuk orang orang Yahudi. Di dalam akte kelahiran, ia akan menggantikan nama Yahudi dengan nama Jerman. Dengan demikian, mereka bisa luput dari penangkapan, penyiksaan, atau bahkan pembunuhan.
Imam kelahiran Alba, Italia, 19 Juli 1923 ini pun menunjukkan dan mengantar sejumlah umat Yahudi keluar Italia. Aksinya sempat terendus tentara Nazi, tapi upaya mereka menangkap sang imam selalu gagal.
Pejuang Kemanusiaan
Pasukan Nazi diperintahkan segera menghentikan aksi sang imam. Akhirnya, mereka menerjunkan sejumlah mata-mata ke tengah masyarakat untuk mengetahui pergerakan dan keberadaan Romo Girotti. Strategi Nazi itu terbukti sahih. Mereka berhasil menangkap sang imam pada 29 Agustus 1944.
Romo Girotti tertangkap, ketika ada seorang meminta bantuannya ternyata orang itu adalah mata-mata Nazi. Begitu ia hendak membantu, tentara sudah mengepung. Sang imam lantas digelandang ke Villa Cavorette. Di tempat itu, para tentara juga menangkap Joseph Diena, profesor Yahudi yang disembunyikan Romo Girotti.
Mereka menjebloskan imam yang ditahbiskan pada 3 Agustus 1930 itu ke Penjara Turin. Setelah mendekam selama beberapa waktu di Turin, tentara Jerman memindahkan Romo Girotti ke Penjara San Vittore, Milan, kemudian ke Kamp Gries, Bolzano, Italia Utara. Menurut kesaksian Romo Angelo Dalmasso, yang sempat bersamanya sewaktu di penjara, Romo Girotti sering berada di antara para tahanan, bergaul dengan mereka dan senantiasa mewartakan Kabar Baik, serta memberi peneguhan pada para tahanan.
Dari Kamp Gries tiga bulan kemudian, mereka memindahkan Romo Girotti ke Kamp Konsentrasi Dachau,di Jerman. Di tempat ini, tentara Nazi mengumpatnya dengan kata-kata kasar, menelanjangi, menyetrum, dan membiarkannya menggigil kelaparan. Tak hanya itu, mereka memaksa Romo Girotti dan para tahanan lain untuk bekerja dengan iming-iming kebebasan. Arbeit macht frei, kerja membuat Anda bebas! Namun kenyataannya, semuanya hanya jargon. Sebenarnya Nazi hanya ingin memerah tenaga para tahanan, membuatnya menderita, dan mati secara perlahan-lahan.
Kendati siksa fisik dan batin menghujaninya, Romo Girotti tetap tabah memikul salib sebagai pengikut Kristus. Ia menjaga kesalehannya dengan mengisi hari-hari di dalam penjara dengan doa. Ia pun membantu para tahanan yang sakit dan tak segan memberi jatah makanannya pada penghuni kamp konsentrasi yang lebih muda dan menderita darinya. “Mereka masih muda, lebih membutuhkan tenaga agar bisa hidup ketimbang saya,” ungkapnya.
Pada 1 April 1945, sang penyelamat kaum Yahudi ini tutup usia setelah menanggung penderitaan hebat dalam kamp konsentrasi pada usia 40 tahun. Banyak tahanan menduga, tentara membunuhnya dengan suntikan beracun. Di selnya bernomor 26, para rekan tahanan menulis: “Di sini terbaring Santo Giuseppe Girotti”.
Panggilan Tuhan
Sejak masih belia, Girotti dikenal sebagai anak yang saleh, tekun, dan cerdas. Tiap pagi, sebelum berangkat ke sekolah, ia rajin mengikuti Ekaristi. Selain itu, ia aktif sebagai misdinar di parokinya. Di sekolah, para guru dan teman seangkatanya mengakui Girotti sebagai siswa cerdas, tak pelit berbagi ilmu dan peduli pada teman yang kesulitan dalam studi. Banyak orang senang bergaul dengannya lantaran pribadinya yang supel, rendah hati, dan tak pandang bulu. Teladan rohani dan keutamaan hidupnya sebenarnya berakar dari didikan orangtuanya. Sejak kecil, ayah dan ibunya senantiasa berpesan, “Berkorban bagi orang lain lebih besar nilainya ketimbang bagi diri sendiri”.
Keterlibatannya dalam kegiatan Gereja serta relasinya yang akrab dengan pastor paroki menumbuhkan benih-benih panggilan dalam diri Girotti. Namun, niat untuk masuk seminari mendapat penolakan dari orangtuanya, terutama sang ayah. Meski demikian, Girotti tak patah arang. Ia tetap teguh pada pendirian dan pilihan hidupnya. Suatu kali ayahnya bertanya kepadanya, “Nak, apakah kamu tidak mencintai kami sampai harus menjadi imam?”
“Aku mencintai kalian, Ayah. Tapi Tuhan lebih dulu memanggilku,” jawab Girotti. Setelah berbagai pertentangan, pelan-pelan ayahnya mulai sadar. Ia tak akan berhasil mengubah cita-cita buah hatinya. Mereka pun akhirnya mengiklaskan Girotti untuk menjawab panggilan Tuhan.
Pada usia 13 tahun, Girotti masuk Seminari Dominikan Chieri, Italia. Ia menjalani masa formasi di sana dengan sungguh-sungguh. Waktu doa, kerja, dan studi ia manfaatkan dengan optimal. Tak pelak, keutamaan itu mengukir namanya sebagai seminaris cerdas, saleh, gigih, dan disiplin. Ia juga menunjukkan minat yang besar pada Kitab Suci, Bahasa Latin dan Yunani.
Setelah melalui masa pembinaan di seminari, 3 Agustus 1930, Girotti menerima tahbisan imam Dominikan, Ordo Praedicatorium (OP) di Seminari Chieri, Italia. Berkat kemahiran menafsir Kitab Suci, pembesar tarekat mengutusnya belajar Kitab Suci di Yerusalem selama dua tahun. Kembali dari studi, ia menjadi pengajar dan ekseget di Seminari Maria delle Rose, Italia. Berbagai karya pun bermunculan dari imam Dominikan ini. Salah satu karya terbesarnya adalah Prolita di Sacra Scrittura.
Di sela tugasnya mengajar, Romo Girotti kerap mengunjungi dan membantu orang-orang miskin dan manula di dekat biaranya. Dalam refleksinya, ia menuturkan segala tugas yang diemban semata-mata demi cinta dan amal pada Tuhan dan sesama.
Anugerah Kemartiran
Pada peringatan 50 tahun kemartirannya, pemerintah Israel menganugerahkan Medali Kemanusiaan pada imam Dominikan ini. Girotti telah berjasa menyelamatkan orang Yahudi selama peristiwa holocaust. Nama dan sebuah pohon untuk Romo Girotti ditanam di lokasi yang dikhususkan untuk mengenang dan mendoakan para korban kebiadaban Nazi di Yad Vashem, Yerusalem.
Pada 27 Maret 2013, Takhta Suci mengesahkan dekrit kemartirannya. Berkat jasa, teladan rohani, dan keutamaan hidupnya ini, Paus Fransiskus membeatifikasi Romo Girotti pada 26 April 2014. Perayaan beatifikasi Romo Girotti berlangsung di Katedral San Lorenzo, Alba yang dipimpin Prefek Kongregasi Penggelaran Kudus, Kardinal Angelo Amato SDB.
Gereja mengenang kemartiran, teladan rohani, dan keutamaan hidup Beato Girotti tiap 1 April.
Yustinus H. Wuarmanuk