HIDUPKATOLIK.com – Benarkah seorang pria dilarang menikah dengan perempuan yang sebaya atau lebih tua? Dasar ajaran ini ialah Adam diciptakan terlebih dulu (bdk 1 Kor 11:8-9; 1 Tim 2:11-15) dan perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam (Kej 2:21).
Katherine, 085785788xxx
Pertama, dalam kisah penciptaan Kej 2:4b-25, sering terjadi salah tafsir. Kata “manusia” (Ibrani: ho Adam) langsung diartikan sebagai laki-laki, padahal dalam bahasa Ibrani ho adam berarti manusia pada umumnya. Jadi, kata “manusia” mewakili baik laki-laki maupun perempuan, belum dibedakan antara laki-laki atau perempuan. Yang dikatakan tentang manusia, berlaku baik untuk laki-laki maupun perempuan (ay 4b sampai ay 20). Perlu ditegaskan bahwa perbedaan gender harus diletakkan di bawah kemanusiawian. Perbedaan gender muncul untuk mengerti manusia secara lebih mendalam. Dengan demikian, tidak bisa dikatakan bahwa laki-laki sudah ada terlebih dahulu sebelum perempuan. Mereka berdua diadakan secara bersama. Ini sesuai Kej 1:27, yang secara eksplisit menegaskan, baik laki-laki maupun perempuan diciptakan menurut citra Allah, sepadan martabat dan diciptakan secara bersamaan.
Kedua, penciptaan manusia Hawa dari tulang rusuk manusia menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan berasal dari kesatuan yang lebih mendalam daripada perbedaan gender di antara mereka. Bisa saja Allah membuat sejak awal dua manusia, laki-laki dan perempuan. Tapi hal ini tidak dilakukan Allah, justru untuk menunjukkan kesatuan asali antara laki-laki dan perempuan. Jeritan kegembiraan Adam yang terkenal, “Inilah dia, tulang dari tulangku, dan daging dari dagingku” (Kej 2:23), bisa ditafsirkan bahwa manusia “terbangun dari tidurnya” dan mencapai kesadaran tentang perbedaan antara manusia sebagai laki-laki dan perempuan. Laki-laki mengenali dalam diri perempuan teman “yang sepadan” (Kej 2:18), bukan yang lebih rendah, dan yang berbeda dengan binatang. Kesadaran akan kehadiran sesama yang sepadan ini mengatasi kesendirian asali (Kej 2:18). Mereka menemukan maskulinitas dan femininitas yang saling melengkapi, dan karena itu mereka bisa bersatu. Jadi, Kej 2:21 tidak menunjukkan perempuan lebih rendah atau lebih muda daripada laki-laki. Laki-laki dan perempuan setara dan saling melengkapi.
Ketiga, dari kisah penciptaan manusia, tidak bisa disimpulkan bahwa dalam perkawinan usia pria harus lebih tua daripada perempuan. Kisah penciptaan lebih berbicara tentang martabat dan sifat saling melengkapi dan sama sekali tidak merujuk kepada usia.
Mengapa dalam agama Katolik pembaptisan dilakukan dengan cara pengucuran, bukan dengan penenggelaman (baptis selam)? Bukankah Yesus dibaptis di Sungai Yordan dengan baptis selam?
Katarina Dyah Ayu, Pontianak
Pembaptisan Yesus oleh Yohanes Pembaptis di Sungai Yordan memang dipandang sebagai model pembaptisan kristiani. Namun, mengikuti Yesus atau menjadi murid- Nya tidak diartikan meniru segala sesuatu yang dilakukan Yesus dalam arti harfiah. Sejak semula, para Rasul tidak hendak meniru tempat pembaptisan, yaitu Sungai Yordan, atau cara penggunaan air yaitu pembaptisan selam. Para Rasul melihat Sakramen Baptis sebagai kelahiran kembali, artinya melalui Sakramen Baptis manusia dilahirkan kembali dan dibarui oleh Roh Kudus (Tit 3:5; Yoh 3:3-5; bdk 1 Ptr 1:3.23).
Kelahiran kembali itu dilakukan melalui air, yaitu dengan ikut serta mati bersama Kristus dan dalam kebangkitan-Nya (Rom 6:3-11). Dua fungsi alami air yaitu membersihkan dan memberi hidup, diangkat menjadi fungsi rohani Sakramen Baptis; membersihkan dari semua dosa dan memberikan hidup kekal. Jelas bahwa yang menjadi fokus bukan cara penggunaan air, dikucurkan, ditenggelamkan, dipercikkan, tetapi fungsi air itu, membersihkan dan memberi hidup. Juga bukan tempat yaitu Sungai Yordan yang memberi keselamatan.
Petrus Maria Handoko CM