web page hit counter
Jumat, 22 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Surat Larangan dari Denpasar

3.2/5 - (8 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Fenomena peneguhan perkawinan Katolik di luar tempat ibadat resmi Katolik marak terjadi di wilayah yurisdiksi Keuskupan Denpasar. Mgr Silvester San melarang meneguhkan dan menyelenggarakan perkawinan Katolik di luar tempat-tempat ibadat resmi Gereja Katolik.

Para imam, para biarawan-biarawati, dan umat di seluruh wilayah Keuskupan Denpasar mendapat surat dari Uskup Denpasar Mgr Silvester Tung Kiem San, akhir April lalu. Surat bernomor 121/ KDPS/APR/2011 tentang Kebijakan Keuskupan Denpasar tentang Peneguhan Perkawinan Katolik ini juga dilayangkan kepada para uskup di seluruh Indonesia, bahkan beberapa keuskupan mancanegara. Surat bertanggal 26 April 2015 ini ditandatangani Mgr Silvester San.

Surat ini diawali dengan pemaparan wilayah yurisdiksi Keuskupan Denpasar yang memiliki potensi pariwisata. Wilayah yurisdiksi Keuskupan Denpasar meliputi Pulau Bali, Lombok, dan Sumbawa. Wilayah-wilayah ini telah menjadi tujuan wisata para pelancong, baik dari dalam negeri maupun mancanegara. Tak bisa dipungkiri, situasi ini juga membawa dampak yang besar bagi karya pastoral Gereja Katolik di keuskupan ini.

Pada tahun-tahun belakangan ini, seiring dengan promosi pariwisata, banyak pasangan yang berasal dari keuskupan-keuskupan lain, baik dari wilayah Indonesia maupun mancanegara, ingin meneguhkan perkawinan di wilayah Keuskupan Denpasar. Tapi sayang, upacara saling menerimakan Sakramen Perkawinan, yang merupakan sesuatu yang sakral dan suci dilangsungkan di tempat-tempat yang bukan tempat ibadat resmi Gereja Katolik. Mereka saling menerimakan Sakramen Perkawinan di hotel, vila, atau di tempat wisata, seperti pantai, taman, dan yang lain.

Hal ini tentu saja mengganggu dan mengurangi nilai kesakralan perkawinan Katolik. Bahkan, perkawinan-perkawinan yang diteguhkan dan diselenggarakan di tempat-tempat tersebut merupakan bagian dari “paket wisata”, sehingga kesakralan atau kesucian perkawinan Katolik kurang dihargai lagi. “Bilamana kita tidak menyikapi perkembangan ini, maka kita akan menghadapi banyak persoalan ke depan, dan akan menjadi sorotan sehubungan dengan kasus-kasus perkawinan yang akan terjadi,” tulis Mgr San dalam surat tersebut.

Kebijakan pastoral
Terkait dengan fenomena tersebut, maka sebagai Uskup, Pemimpin Gereja Lokal Keuskupan Denpasar, Mgr San mengeluarkan Kebijakan Pastoral Keuskupan Denpasar sehubungan dengan peneguhan perkawinan Katolik yang menuntut persetujuan Ordinaris Wilayah berdasarkan Hukum Gereja Katolik KHK 1983. Pertama, pada prinsipnya setiap Pastor Paroki, termasuk Pastor Kuasi Paroki dan Stasi yang diangkat secara resmi oleh Uskup Denpasar dapat meneguhkan perkawinan secara sah di dalam batas-batas wilayah yurisdiksinya terhadap umat dan bukan umatnya (bdk. Kan. 1109-1110), dengan tetap memperhatikan hukum-hukum kanon Gereja Katolik yang berlaku. Dan sangat diharapkan agar peneguhan perkawinan Katolik dilangsungkan di Paroki, di mana salah satu pihak dari mempelai memiliki domisili atau kuasi-domisili (bdk. Kan. 1115).

Kedua, peneguhan perkawinan Katolik, termasuk perkawinan campur, di wilayah Keuskupan Denpasar diselenggarakan hanya di Gereja dan Kapela Paroki, yang adalah tempat ibadat resmi Gereja Katolik (bdk Kan. 1118). Oleh karena itu tidak diperkenankan atau dilarang untuk meneguhkan dan menyelenggarakan perkawinan Katolik di luar tempat-tempat ibadat resmi Gereja Katolik, baik yang ada di hotel, vila, rumah tinggal, maupun di tempat-tempat pariwisata dan sejenisnya. Sedangkan di kapela-kapela biara, seminari, rumah retret, dan keuskupan bisa menyelenggarakannya sejauh Gereja dan Kapela Paroki tidak memungkinkan, dan atas persetujuan Pastor Paroki. Hal ini dilatar belakangi pertimbangan teologis bahwa sesungguhnya perayaan perkawinan Katolik memiliki nilai sakral, liturgis, dan setiap tempat memiliki makna tersendiri. Larangan ini perlu diperhatikan untuk mencegah dan menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, terutama penyelewengan terhadap hukum Gereja Katolik dan desakralisasi terhadap kesakralan atau kesucian perkawinan Katolik.

Ketiga, peneguhan perkawinan Katolik bagi umat yang berasal dari luar wilayah Keuskupan Denpasar, baik dari keuskupan-keuskupan di Indonesia, maupun dari keuskupan-keuskupan mancanegara, harus mendapat persetujuan atau izin dari Uskup Denpasar selaku Ordinaris wilayah (bdk. Kanon 107). Untuk mendapatkan persetujuan atau izin yang dimaksud, keuskupan-keuskupan tersebut perlu mengirim surat permintaan resmi yang disertakan dengan dokumen penyelidikan kanonik perkawinan, yang tentu saja harus dilaksanakan di keuskupan pasangan itu berasal.

Keempat, dalam konteks ini perlu ditegaskan pula agar para Pastor Paroki sebelum meneguhkan perkawinan harus menghubungi Uskup Denpasar selaku Ordinaris Wilayah untuk memperoleh Nihil Obstat (tidak keberatan) dalam hal bila kedua calon mempelai tidak mempunyai tempat tinggal, domisili/ kuasi domisili atau berasal dari wilayah keuskupan lain, baik mancanegara maupun keuskupan-keuskupan lain di Indonesia. Termasuk dalam kategori ini adalah perkawinan orang-orang pengembara (bdk. Kan. 1071 §1 dan InstruksiSacrosantum Matrimonii, 29 Juni 1941).

Kelima, petugas resmi yang menjadi peneguh perkawinan Katolik di Keuskupan Denpasar adalah para Pastor Paroki Keuskupan Denpasar, sebab pelayanan Sakramen Perkawinan adalah salah satu tugas yang melekat dengan fungsinya secara yuridis sebagai Pastor Paroki. Dalam hal ini, adalah tidak sah perkawinan yang diteguhkan oleh seorang Rektor Seminari (bdk. Kan. 262), Rektor Biara atau Pemimpin Institusi Religius (bdk. Kan. 558), para Kardinal dan para Duta Paus (bdk. Kan. 366, § 1), jika tanpa ada pelimpahan wewenang (delegasi) yang legitim dari Pastor Paroki. Peneguhan perkawinan yang mereka buat adalah tidak sah, karena mereka tidak memiliki wewenang. Tetapi, jika ada pelimpahan wewenang (delegasi) mereka dapat meneguhkan perkawinan secara sah. Juga para imam ataupun diakon baik di Keuskupan Denpasar maupun dari luar Keuskupan Denpasar, bisa meneguhkan perkawinan secara sah, kalau mereka mendapat pelimpahan wewenang (delegasi), baik dari Uskup Denpasar selaku Ordinaris Wilayah maupun dari Pastor Paroki setempat (bdk. Kan. 1111). Tanpa pelimpahan wewenang (delegasi), peneguhan perkawinan yang mereka lakukan adalah tidak sah.

Keenam, peneguhan perkawinan Katolik di wilayah Keuskupan Denpasar perlu mengindahkan norma liturgi Gereja Katolik. Oleh karena itu, tidak diperkenankan atau dilarang untuk menyelenggarakan peneguhan perkawinan Katolik pada masa-masa yang tidak diijinkan oleh norma Liturgi Gereja Katolik, seperti pada masa Prapaskah, Pekan Suci, Masa Adventus dan lain-lain (bdk. PUMR No. 372, 374).

Y. Prayogo

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles