HIDUPKATOLIK.com – Ada tiga macam Liturgi Tahbisan yang diberikan secara bertahap. Diawali liturgi tahbisan diakon[at], lalu imam/presbiter[at], dan yang tertinggi adalah uskup/episkopat. Ketiganya di bawah satu nama: Sakramen Tahbisan (Sacramento ordinis; KHK kan. 1008). Inilah nama yang tepat, bukan Sakramen Imamat, karena “imamat” terjemahan dari “presbiterat”, tahap kedua dalam Sakramen Tahbisan.
Tak semua penerima Sakramen Tahbisan mengalami tiga tingkat Liturgi Tahbisan. Terbanyak adalah penerima tahbisan diakon dan imam. Yang langka dan istimewa adalah penerima tahbisan uskup, entah menjadi uskup dioses atau uskup lainnya. Merekalah para pilihan yang diangkat Paus. Mereka pula yang diberi otoritas memilih dan menahbiskan imam dan diakon. Para uskup pun diperkenankan menahbiskan uskup terpilih jika diminta.
Tata cara tiga Liturgi Tahbisan terdapat dalam satu buku berjudul De Ordinatione Episcopi, Presbyterium, et Diaconorum (1989). Buku ini adalah revisi buku De Ordinatione Diaconi, Presbyteri, Episcopi (edisi pertama, 1968). Ada perbedaan urutan penyebutan jenis tahbisan pada judul dua buku itu. Semula (1968) diakon disebut pertama dan uskup terakhir. Pada buku 1989 dibalik. Buku revisi tampaknya menyesuaikan penyebutan urutan itu dengan Kitab Hukum Kanonik baru (1983).
Ketiga macam Liturgi Tahbisan selalu berlangsung dalam Misa, yakni sesudah Liturgi Sabda dan sebelum Liturgi Ekaristi. Ritus hakiki dari Liturgi Tahbisan sama pada ketiga jenjang itu: penumpangan tangan oleh Uskup atas kepala orang yang ditahbiskan dan Doa Tahbisan oleh Uskup memohon dari Tuhan curahan Roh Kudus dan anugerah-anugerah rahmat yang khusus untuk pelayanan, sesuai dengan jenjang tahbisannya. Ketiganya juga memiliki ritus pelengkap yang khas. Sebagai penutup rangkaian Liturgi Tahbisan, ada ritus yang sama bentuknya lagi, yakni “Baku Salam”, tapi makna simbolisnya berbeda-beda. Aslinya dalam ritus ini terjadi baku cium (Latin: osculum) antara (para) penahbis dengan tertahbis. Tidak ada rumus verbal yang harus diucapkan sesuai rubrik.
Gestur berbaku salam itu ada juga dalam Liturgi Ekaristi. Kita biasa menyebutnya dengan “salam damai”. Ada yang diucapkan imam sesudah membawakan Doa Damai: “Damai Tuhan bersamamu”. Lalu imam dapat mengajak umat saling bersalaman. Maka, gestur ini diberi nama ritus “Salam Damai”. Tak heran, acara berbaku salam dalam Liturgi Tahbisan pun diberi nama yang sama, karena menggambarkan gestur yang serupa.
Dalam Tahbisan Uskup, salam oleh para uskup kepada uskup baru bermakna penerimaan uskup baru ke dalam Dewan Para Uskup. Untuk Tahbisan Imam, salam oleh uskup penahbis dan para imam kepada imam baru melambangkan imam baru diterima dalam Dewan Para Imam. Sementara dalam Tahbisan Diakon, salam uskup kepada diakon baru menandakan penerimaan diakon baru ke dalam kelompok pembantu uskup.
Salam Damai dalam Liturgi Ekaristi berbeda dari salam penerimaan dalam Liturgi Tahbisan. Yang sama: keduanya bukan salam profan, bukanlah penyampaian ucapan selamat atas prestasi atau status baru, bukan pula pengungkapan rasa simpati atau empati, dsb.
Makna sejati dari salam dalam Liturgi Tahbisan perlulah dipertahankan. Panitia tahbisan perlu mempertimbangkan dengan cermat bila ingin mengubah atau merekayasa tradisi ritus baku salam ini. Jangan bersikukuh pada pertimbangan pastoral-populis, yang seolah baik dan bernilai, tapi malah mengabaikan kemurnian simbolismenya.
Menambahkan pribadi lain yang tidak terdapat dalam norma liturgi malah mengaburkan pesan ritualnya. Misalnya, demi alasan tertentu maka dipersilakanlah para tamu undangan, wakil pemerintah, masyarakat, umat, atau orangtua sang tertahbis untuk ikut antre memberi selamat. Pribadi-pribadi itu tak ada kaitannya dengan makna penerimaan uskup baru dalam Dewan Uskup, imam baru dalam Dewan Imam, atau diakon baru dalam tugas pelayanan Uskupnya. Bila ingin ada acara “pemberian selamat” secara simbolis oleh beberapa perwakilan, sebaiknya dicarikan saat lain di luar Liturgi Tahbisan, misalnya pada Ritus Penutup sebelum berkat atau seusai Misa itu.
C. H. Suryanugraha OSC