HIDUPKATOLIK.com – Melalui musik, Paduan Suara Magnificat menganimasi liturgi sehingga menjadi liturgi yang hidup dan menarik. Paduan Suara Magnificat telah go internasional.
Rasa syukur bercampur haru tak bisa terkatakan, saat Maria Anggraini Pasaribu menjuarai kontes nyanyi Mama Mia 2. Dalam konser grand final yang berlangsung di Sport Mall Kelapa Gading, Jakarta Utara, Maria dan Mama Sally memperoleh jumlah dukungan terbanyak dari juri vote log, yakni 147 suara. Kontestan asal Medan, Sumatera Utara itu mengungguli dua pasangan finalis lain, Willianda Saraswati-Mama Ratna dari Surabaya dan Shelly Olivia-Mama Nanny dari Pekanbaru, Riau.
Kemenangan ini membuat nama Maria melejit dalam dunia tarik suara. Sebagai juara Mama Mia 2, Maria berhak mendapatkan penghargaan termasuk hadiah uang tunai 100 juta rupiah. “Puji syukur pada Tuhan, Maria senang dan bangga sekali. Terima kasih kepada semua keluarga, para guru, dan teman-teman sekolah. Tak lupa kepada teman-teman Paduan Suara Magnificat Medan. Tanpa kalian, Maria tidak seperti sekarang,” ungkap perempuan kelahiran Medan, 4 Oktober 1992 ini.
Memuji Maria
Pendiri PS Magnificat, Pastor Redemptus Simamora OFMCap mengatakan, Maria Pasaribu adalah satu dari sekian murid PS Magnificat. Pastor Redemptus mengisahkan, awal terbentuknya PS Magnificat berangkat dari refleksi panjang soal minatnya pada dunia musik. Ketika menjalani studi di Seminari Tinggi St Petrus Pematangsiantar, ia sudah terbiasa bernyanyi. Ia pun kerap menciptakan lirik lagu dan mahir memainkan beberapa alat musik. Lagu-lagu karyanya lalu direkam di studio rekaman milik Komisi Komunikasi Sosial (Komsos) Keuskupan Agung Medan. Tak ia duga, alunan lagu-lagunya disukai dan kerap dinyanyikan, terutama saat perayaan Ekaristi bagi orang muda. Beberapa lagu ciptaannya, “Yesus Bertanya”, “Kususuri Jalan”, “Di Keheningan Malam”, dan “Yesus Sahabat Anak Muda”.
Ketika melihat minat Pastor Redemptus, pimpinan Ordo Saudara Dina Kapusin mengutusnya studi di jurusan Animazione Liturgica-Musicale, Roma. Selama tiga tahun, ia menimba pengetahuan tentang seluk-beluk musik. Sepulang dari Roma, Pastor Redemptus membuka kursus musik di Medan. Ia juga mengajar di jurusan musik Universitas HKBP Nommensen dan Sekolah Tinggi Pastoral Deli Tua.
Dalam perjumpaan dengan para mahasiswa, Pastor Redemptus kemudian membentuk paduan suara yang kemudian diberi nama Magnificat pada 1998. Nama ini diambil dari kidung Maria, Magnificat Anima Mea, “Jiwaku Memuliakan Tuhan”. Pastor Redemptus mengaku, memiliki devosi khusus kepada Bunda Maria.
Dari tahun ke tahun, PS Magnificat berkembang dan semakin dikenal. Beberapa kali PS Magnificat mengadakan konser. Namun, Pastor Redemptus tak pernah puas. Setelah beberapa kali pentas, ia mulai mencari terobosan baru. Ia mencoba memadukan paduan suara dengan iringan orkestra, tarian, serta drama. Ide besar ini tentu saja membutuhkan kerjasama dengan banyak pihak serta melibatkan banyak orang. Jaringan pertemanannya yang luas memungkinkan hal itu. Ia pun menjalin kerjasama dengan Grup Kesenian Taman Budaya (GKTB) Medan. Ia lalu membagi tugas. PS Magnificat menyiapkan lagu-lagu, sementara GKTB merancang pentas drama dan tarian. Kendati tema pergelaran selalu berkaitan dengan kekatolikan, tidak sedikit pemain yang beragama Kristen Protestan dan Islam ikut dalam pementasan. “Perbedaan suku dan agama tak pernah menjadi masalah,” ujarnya tegas.
Kerjasama tersebut tak sia-sia. Di Keuskupan Agung Medan, beberapa even besar dipercayakan kepada PS Magnificat. Sebut saja, pada 2001, mereka tampil dalam Natal Ekumene Provinsi Sumatera Utara, Pembukaan Tahun Martyria Keuskupan Agung Medan di Stadion Teladan Medan, dan konser Yubileum 75 tahun Gereja Katolik Samosir. Pada 2013, mereka mengadakan konser rohani dengan tema “Memuliakan Tuhan” di Ball Room Hotel Santyka Dyandra Medan. Dalam konser ini, PS Magnificat berkolaborasi dengan Delon, Victor Hutabarat, dan Maria Pasaribu.
Melihat ketekunan anggota paduan suara ini, Pastor Redemptus berupaya keras agar PS Magnificat bisa go internasional. Alhasil, mereka diundang konser di Kuala Lumpur, Malaysia. Ribuan umat memadati Gereja Divine March, Shah Alam untuk menyaksikan pentas anak-anak muda Kota Medan ini. Mereka juga pernah tour ke Johar, Malaysia dan Singapura. Di dua tempat ini, mereka memukau para penonton dengan lagu-lagu pop klasik. Beberapa tarian daerah juga mereka tampilkan. Pada Juli 2017 lalu, mereka mengadakan konser di Penang, Malaysia.
Satu Iman
Pastor kelahiran Simangulampe, Bakkara, 1 Maret 1953 ini menegaskan, proses rekruitmen anggota PS Magnificat terbilang ketat. Setiap tahun, Pastor Redemptus akan berkeliling ke sekolah-sekolah Katolik dan sekolah negeri untuk mencari anak muda Katolik yang mau bernyanyi. Untuk menjadi anggota paduan suara ini mesti melalui beberapa tahap seleksi. Anggota PS Magnificat bervariasi, dari usia sebelas hingga 35 tahun. “Tapi, mereka saling mendukung,” sergah Pastor Redemptus.
Setiap Sabtu dan Minggu pukul 14.00-18.00, anggota PS Magnificat berlatih. Biasanya mereka berlatih di aula belakang Gereja St Antonius Padua Hayam Wuruk, Medan. Tempat ini, kata Pastor Redemptus, cukup strategis karena dekat dengan Catholic Center Keuskupan Agung Medan. “Saya cuma ingin satu hal, yaitu orang muda Katolik bisa berkumpul dan berbicara tentang iman,” ujar Pastor Redemptus.
Salah satu keutamaan yang ditanamkan di PS Magnificat adalah kedisiplinan. Kepada anak-anak, Pastor Redemptus selalu mengingatkan, dalam paduan suara yang paling penting bukan suara, tetapi kedisiplinan. Dampaknya pun terasa. “Mereka terbiasa tepat waktu, tidak suka menganggu teman, tidak mudah putus asa, dan kreatif,” tambah Pastor Redemptus.
Kendati begitu, Pastor Redemptus mengakui, tidak mudah menghimpun anak-anak muda dengan latar belakang yang berbeda-beda. Tetapi imam yang ditahbiskan 19 Juli 1980 ini yakin, perjuangan itu akan menghasilkan buah yang baik. Maka tujuan utama PS Magnificat bukan soal bayaran atau mengejar popularitas, tapi agar PS Magnificat menjadi sarana menganimasi liturgi bagi orang muda, sehingga corak liturgi semakin berkembang. Dalam pengalaman sebagai pastor paroki, Pastor Redemptus menyaksikan, liturgi Gereja Katolik itu sebagai liturgi yang tak berdaya, lemas, bahkan suka-suka hati. “Maka, kehadiran PS Magnificat untuk menganimasi liturgi, baik lewat lagu, musik, atau tarian,” kata Pastor Redemptus.
Yusti H. Wuarmanuk