HIDUPKATOLIK.com – Ia masuk SMP pada usia 26 tahun. Keinginannya untuk kuliah gagal lantaran menanggung biaya pendidikan adik-adiknya. Kilaunya berpendar di pedalaman.
Klemens Bele langsung menggantung seragam begitu tamat SD. Keinginannya untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah kandas. Bila dulu memikul tas dan buku, kini Klemens membawa parang dan pacul. Sekolahnya bukan lagi bangunan, tapi kebun. Semua ia lakukan demi membiayai kebutuhan adik-adiknya.
Kelapa, jagung, singkong, dan kacang tumbuh di kebun Klemens. Tapi ia tak pernah menjual itu semua. Hasil kebun hanya cukup untuk konsumsi keluarga. Sementara beras, lauk, gula, kopi, dan pakaian, ia beli dari hasil menyuling tuak dan membuat gula aren. “Kondisi tanah di kampung saya tak cocok untuk pertanian,” ujarnya.
Suatu ketika, Klemens bertemu dengan dua sahabatnya semasa SD. Mereka telah menjadi guru dan pastor. Tak dinyana, pertemuan itu menyulut semangatnya untuk menuntut ilmu lagi. Setelah sebelas tahun berkubang di kebun, pria kelahiran Riti, Nagekeo, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) melanjutkan ke SMP. Kala itu, usianya sudah 26 tahun.
Batal Kuliah
Seperti parang yang semakin diasah makin tajam, demikian pula otak Klemens. Meski lama tak menyentuh buku, tapi berkat ketekunan, ia lulus dari SMP. Bahkan ketika melanjutkan ke Sekolah Pendidikan Guru (SPG) St Fransiskus Xaverius Boawae, Flores, NTT, Klemens lulus tepat waktu dengan hasil memuaskan.
Ketekunan Klemens menarik simpati Pater Clemens Cletus da Cunha SVD. Pater Cletus mendorong Klemens masuk STKIP St Paulus Ruteng. Sayang, kakaknya keburu menentang rencana itu. Klemens pun batal kuliah. “Kakak yang selama ini membiayai studi saya tidak bersedia membiayai lagi. Saya diminta segera bekerja untuk membiayai sekolah adik-adik,” kenang anak ketiga dari delapan bersaudara ini.
Klemens pun mengikuti tekanan sang kakak. Pada 1974, ia mengajar di SMPK Nangaroro selama enam bulan. Setahun kemudian, ia diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil. Klemens lantas mendapat penempatan di SDI Warikeo, Bajawa. Letak sekolah itu jauh di udik. Meski demikian, ia bangga banyak muridnya menjadi “orang”. Ada yang menjadi imam, bruder, dan frater. Ada pula yang mengikuti jejaknya sebagai abdi negara. “Keberhasilan mereka dalam hidup, juga keberhasilan saya. Saya maknai ini sebagai panggilan Tuhan untuk mengolah dan mempersiapkan ‘kebun anggur’ yang terbaik bagi-Nya,” ujar Klemens.
Pengalaman selama 35 tahun di pedalaman menempa hidup Klemens. Ia dituntut serba bisa di segala medan, baik di sekolah maupun Gereja. Di sekolah, ia mengajar agama. Sementara di Gereja, Klemens memberikan pembinaan rohani untuk para calon penerima Sakramen. Ia juga mempersiapkan dan memimpin ibadat mingguan, sebab pastor tak selalu bisa datang. Para pelayan pastoral butuh tenaga ekstra dan daya tahan tangguh sampai ke sana.
Akses jalan menuju daerah Klemens kian menantang saat musim hujan. Jalan becek ditambah banyak pohon tumbang. Situasi seperti itulah, menurut Klemens, tantangan berat dalam pelayanan. Bila menuruti keinginan, orang lebih memilih untuk tinggal di rumah. Tak hanya itu, mayoritas umat di sana prasejahtera. Tak ayal, mereka lebih gemar mencari uang ketimbang ikut kegiatan Gereja.
Surga Dunia
Terkait kondisi seperti itu, Klemens, menganjurkan untuk meneladani para misionaris. Menurut Klemens, mereka membangun keseimbangan antara iman, ilmu, dan ekonomi. Contohnya, lanjut Klemens, para misionaris Eropa tak hanya membangun gereja. Mereka juga membuka bengkel kayu, kebun masyarakat, sekolah, rumah sakit, dan infrastruktur air bersih. Gereja, lanjut Klemens, harus mampu menghadirkan “surga” di dunia, yakni kesejahteraan umat.
Umat Paroki St Fransiskus Xaverius Boawae ini mengakui, mayoritas katekis di paroki atau keuskupannya adalah orang tua, bahkan tak sedikit pula yang sudah usia senja seperti dirinya. Menyadari hal itu, Ketua Komunitas Basis (KUB) ini, mulai gencar mendorong dan membuka lebar kesempatan anak-anak, remaja, dan orang muda untuk giat dalam kegiatan Gereja.
Ia menggunakan cara sederhana, yakni menugaskan mereka sebagai pemimpin doa Rosario atau ibadat malam bersama di KUB. Dalam kegiatan sharing Kitab Suci, anak-anak dan remaja juga diberi kesempatan membaca Kitab Suci dan membagikan pengalaman mereka sebagai anak-anak dan remaja.
Gereja, pesan Klemens, sudah saatnya memperlakukan anak-anak dan remaja sebagai umat Allah yang sanggup mengambil tugas pelayanan dalam Gereja, meski kecil dan sederhana. Namun, dengan cara yang terlihat sepele seperti itu, Gereja pada masa mendatang tidak akan kekurangan katekis, yang membaktikan diri mereka secara total kepada Gereja.
Sebagai katekis, pengetahuan tentang Kitab Suci dan ajaran Gereja menjadi “amunisi” utama. Tetapi, seorang katekis, di mata Klemens, tak cukup hanya itu. Para katekis harus mengenal situasi masyarakat, di mana ia berada. Hal itu, menurutnya, penting agar katekis bisa memposisikan diri dalam masyarakat, dan mengena di hati mereka saat membuat kegiatan.
Katekis juga harus memiliki pribadi terbuka agar bisa menerima perbedaan dan dinamika di tengah umat. Selain itu, seorang katekis harus memiliki pengetahuan praktis. Misal, di Flores, katekis tidak cukup hanya khatam soal iman, atau terampil membagikan nilai kekatolikan kepada umat. Katekis di sana harus bisa dan pandai mengajarkan kepada masyarakat tentang cara bertani, membangun dan menghidupkan koperasi, serta berorganisasi. “Gereja harus mengajarkan tentang iman dan ilmu, serta meningkatkan kesejahteraan umat,” sarannya.
Harapan Terakhir
Saat ini, Klemens tinggal berdua bersama sang istri, Maria Anifrida Tue. Ketiga anak mereka telah mentas, dan berdiaspora ke berbagai tempat. Karena itu, Klemens dan Maria yang mengurus segala pekerjaan rumah. Seperti pada suatu pagi, saat mentari baru beranjak dari peraduan, Klemens bangkit dan bergegas ke belakang rumah. Di sana, ada babi dan ayam piaraannya. Klemens memberi makan ternak, Maria menjenang air di dapur.
Pada penghujung usia yang telah merangkak tinggi, tak banyak harapan muluk yang terlontar dari bibirnya. Klemens hanya ingin menjadi cahaya iman dan ilmu hingga tutup usia. Ibarat lilin, yang membakar habis dirinya demi menerangi segala sesuatu di sekitar, demikian pula Klemens.
Ivonne Suryanto