HIDUPKATOLIK.com – Menyusul ramai-ramai pendaftaran calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru-baru ini, ada komentar dari kalangan yang tidak jadi atau tak mau mendaftar. Menurut mereka, Panitia Seleksi tidak bakal menemui orang yang memiliki rekam jejak sempurna. “Semua orang punya kesalahan,” kata kalangan ini, entah karena pernah ditilang polisi, dikenai denda, atau yang lain.
Bila kesalahan itu dikorek-korek untuk satu dan lain sebab, maka jadilah mereka bernasib sama dengan Abraham Samad atau Bambang Widjojanto. Dua pimpinan KPK ini dijadikan tersangka oleh kepolisian terkait hal-hal yang telah terjadi 10 atau bahkan 20 tahun lalu.
Benarkah semua orang punya kesalahan pada masa lalu? Kemungkinan besar itu benar, terutama kesalahan tingkat folkways dan mores. Folkways adalah suatu kesepakatan setempat, atau sering disebut dengan adat istiadat. Seiring peran adat yang melemah dewasa ini, banyak pemangku adat yang tak lagi mengikuti adat istiadat, karena dianggap tidak praktis, memakan waktu, dan sebagainya.
Sementara, mores adalah hal yang secara umum disebut tabu, di mana orang diharapkan tidak melanggar. Anak gadis tak boleh duduk di pintu atau anak-anak harus berhenti bermain saat Maghrib, adalah contoh tabu. Bagi masyarakat yang mulai kritis atau yang memang tidak peduli, maka tabu tinggallah tabu. Ketika dilanggar, juga tak ada hal buruk yang terjadi.
Selain folkways dan mores, ada perilaku menyimpang minor yang bisa diberikan sanksi, seperti menyerobot antrian, buang sampah atau meludah sembarangan, berpakaian eksentrik, adalah beberapa contoh. Di beberapa negara, ada penyimpangan minor yang dimasukkan dalam tindakan punishable by law atau dapat diberi sanksi pidana. Misal, Singapura melarang membuang sampah atau meludah sembarangan. Maka di negara ini, orang Indonesia pasti bisa berperilaku tertib.
Kesalahan-kesalahan jenis tersebut bukanlah sesuatu yang bakal mengisi lembaran track recordseseorang. Sebaliknya, rekam jejak akan penuh, jika seseorang melakukan perilaku menyimpang mayor dan atau tindak pidana, seperti melanggar aturan hukum (offence) atau melakukan kejahatan.
Bila folkways, mores, dan perilaku menyimpang minor lebih mengarah kepada pembentukan bad habit atau kebiasaan buruk, maka tidak demikian dengan kelompok perilaku menyimpang mayor dan tindak pidana. Perilaku menyimpang mayor dan tindak pidana memunculkan kerugian negara atau korban masyarakat. Walaupun tidak ada korban dan kerugian, minimal telah terjadi pelanggaran secara administratif. Maka, perilaku menyimpang mayor dan tindak pidana dipersepsi sebagai memiliki seriusitas tinggi dan perlu penanganan lebih serius, salah satunya melalui pemberkasan.
Pemberkasan yang hakikatnya adalah pencatatan atau pendataan, nampak menakutkan. Sekali terdata, tidak bisa dihapus, apalagi bila sempat menjadi berita media massa, maka hal itu akan menjadi memori abadi tentang orang tersebut. Inilah yang bisa menjadi jalur masuk untuk mengungkit- ungkit kesalahan seseorang pada masa lalu.
Bagi umat Katolik atau orang muda Katolik yang bercita-cita menduduki jabatan publik atau jabatan apapun, pesan moralnya adalah jangan pernah melakukan tindak pidana atau perilaku menyimpang yang ekstrim. Jika pernah, usahakan untuk menghapuskan atau menyelesaikan. Ada berbagai cara untuk itu, salah satunya dengan menjalani kewajiban hukum sebagai orang yang memang bersalah.
Pesan yang lain, mungkin bernada agak nyeleneh, adalah silakan berbuat apapun, tapi jangan sampai ketahuan atau terberitakan. Bagi masyarakat di negara yang memiliki sistem pengamanan kuat, persoalan “khawatir ketahuan” memang menjadi penangkal perilaku menyimpang dalam masyarakat.
Adrianus Meliala