HIDUPKATOLIK.com – Pengasuh yang baik, nama saya Anita, umur 39 tahun. Saya single parent, tinggal dengan putri tunggal yang masih duduk di kelas XI SMA. Suami saya meninggal empat tahun lalu.
Saat ini, secara diam-diam saya menjalin hubungan dengan adik angkatan saya saat kuliah dulu. Ia belum menikah dan usianya terpaut empat tahun lebih muda dari saya. Hubungan itu saya jalani secara diam-diam karena takut ketahuan putri saya. Suatu hari, saya pernah mengutarakan keinginan untuk menikah lagi kepada putri saya dan dia hanya memberi respon singkat, “Iya gak apa-apa, saya nanti juga akan pergi, kok.”
Saat ini, saya dan pasangan baru saya itu serius untuk menikah. Bagaimana caranya, agar putri saya bisa menerima keinginan saya? Dan bagaimana caranya, untuk memperkenalkan pasangan saya itu kepada putri saya?
Anita, Jakarta
Ibu Anita, saya bisa memahami kebingungan yang Ibu rasakan. Di satu sisi, Ibu ingin mendapatkan pasangan baru, di sisi lain Ibu masih takut dengan sikap putri Ibu. Untuk mengatasi hal ini, membutuhkan komunikasi untuk menyampaikan isi hati Ibu kepada putri Ibu. Dengan begitu, diharapkan ia bisa memahami apa yang sedang Ibu hadapi, sebaliknya Ibu juga mengerti apa yang ia rasakan.
Respon singkat dari putri Ibu dalam menanggapi keinginan untuk menikah bisa dimaklumi. Kemungkinan ia merasa khawatir akan kehilangan Ibu setelah mendapat pasangan baru. Atau, khawatir ‘tempat’ sang ayah di hati ibu akan digantikan orang lain.
Penyelesaian masalah ini membutuhkan komunikasi terbuka antara kedua belah pihak. Dari pihak Ibu, dibutuhkan keterbukaan dalam menyampaikan keinginan. Sedangkan putri Ibu juga diharapkan terbuka untuk mendengarkan perasaan Ibu.
Pertama-tama, yang perlu dilakukan adalah mengadakan pendekatan terlebih dulu. Pendekatan ini bisa dilakukan dengan menciptakan suasana santai dan nyaman. Setelah tercipta, mulailah berkomunikasi. Komunikasi yang terjadi sebaiknya seperti komunikasi antara dua orang dewasa, bukan hanya relasi antara ibu dan anak. Suasana seperti itu akan bisa tercipta jika diadakan pada waktu luang, misalnya hari Minggu sepulang dari gereja atau waktu liburan.
Untuk memulai komunikasi, Ibu bisa mulai menyinggung bahwa dalam hidup orang perlu berpasangan – pria dan wanita. Oleh karena itu, seorang wanita akan membutuhkan seorang pria dan sebaliknya. Jadi, akan kurang lengkaplah hidup seorang wanita tanpa pendampingan seorang pria, karena wanita biasanya membutuhkan tempat untuk bersandar, mengadu atau menangis. Setelah itu, utarakanlah perasaan Ibu dan beri penjelasan bahwa tak lama lagi putri Ibu pun juga akan merasakan hal yang sama.
Lalu, Ibu juga harus mengutarakan bahwa Ibu pernah memiliki seorang pendamping pria yang ‘luar biasa’, yaitu almarhum suami Ibu yang tempatnya takkan tergantikan oleh siapa pun di hati Ibu. Sebagai buktinya, Ibu bisa menunjukkan bahwa selama ini Ibu masih mendoakan almarhum suami agar mendapat kedamaian di sisi-Nya, ‘mengadu’ bila Ibu mendapat kesulitan hidup, atau mengunjungi makam beliau.
Setelah itu, ceritakanlah kepada putri Ibu, bahwa sekarang ada calon baru yang akan memasuki hidup Ibu. Pasangan baru ini tidak akan bisa menggantikan tempat almarhum suami Ibu melainkan akan berada di ‘ruang yang lain’. ‘Ruang yang lain’ di hati Ibu itu tidak akan menghilangkan kenangan Ibu terhadap almarhum suami Ibu.
Demikian pula, tegaskan juga bahwa putri Ibu tetap akan memiliki ‘tempat yang sama’ di hati Ibu. Perasaan dan perlakuan Ibu terhadapnya tidak akan berubah, sama seperti yang dulu. Yang bisa berubah adalah waktu dan perhatian yang bisa Ibu berikan. Jika setelah suami Ibu meninggal, perhatian Ibu hanya kepada putri Ibu, maka saat ini ada orang lain yang juga butuh waktu dan perhatian Ibu. Itu perlu Ibu komunikasikan sehingga dia bisa mengerti perubahan yang akan terjadi.
Bila sebelum ini Ibu sudah membicarakan dengan calon pasangan tentang status Ibu sebagai janda berputri satu, dan ia juga sudah sanggup menerima kehadiran putri Ibu, maka pada perbincangan itu, Ibu juga bisa menyampaikan hal itu kepada putri Anda. Katakan, bahwa pasangan Ibu yang baru juga siap menerima putri Ibu seperti anaknya sendiri. Semoga, Tuhan merestui semua usaha baik Ibu.
Drs George Hardjanta MSi