HIDUPKATOLIK.com – Berawal dari Belgia, para Krosier (sebutan anggota Salib Suci) menyemai karyanya. Saat Revolusi Perancis, OSC hampir punah. Berkat benih panggilan di Belanda, mereka bisa sampai ke Indonesia dan beberapa negara lainnya.
Ordo Sanctae Crucis (OSC) didirikan sebagai Ordo Kanonik Regulir lewat Bulla Paus Innocentius IV, tahun 1248. Dari tempat berdirinya, di Clair Lieu (tempat cahaya), Huy, Belgia, ordo ini kemudian berkembang ke daerah yang sekarang menjadi negara Inggris, Perancis, Belanda, dan Jerman.
Revolusi Perancis sempat menghancurkan OSC, dua biara yang tersisa, cuma St Agatha dan Uden (keduanya di Belanda). Perlahan tapi pasti, OSC kembali berkembang di Belanda, Belgia dan Jerman.
Saat semangat misi berkobar di Eropa pada abad ke-19 dan 20, OSC mengutus anggotanya ke Amerika Serikat (1910), lalu mengirimkan misionaris ke Kongo (1920) dan ke Indonesia (1927).
Kardinal W. Van Rossum, saat itu Prefek Proganda Fide dan Kardinal Protektor untuk OSC, meminta OSC menyediakan tenaga guna membantu daerah misi. Walaupun OSC sedang kekurangan tenaga, Romo A. Van Asseldonk OSC yang saat itu tinggal di Roma sebagai Prokurator General mengatakan, “Beri kami tugas, maka kami akan mendapatkan tenaga”. Kardinal akhirnya meminta OSC ke Kongo dan Hindia Belanda (Indonesia).
OSC menyambut tugas itu dengan mengirimkan tiga orang utusan ke Indonesia. Mereka adalah Romo H. Goumans OSC, Romo J. De Rooij OSC dan Romo M. Nillesen OSC. Mereka tiba di Pelabuhan Tanjung Priok, Batavia pada 6 Februari 1927. Ketiga OSC ini kemudian mengambil alih tugas dari tujuh imam Yesuit yang telah bertugas di beberapa daerah seperti: Karesidenan Preanger Tengah, Preanger Timur, Cheribon dan Karawang. Karena ketiga OSC tadi kewalahan, Magister General OSC, Mgr W. van Dinter OSC kemudian mengutus beberapa imam muda untuk membantu.
Ketika wilayah ini diangkat menjadi Prefektur Apostolik Bandoeng (1932), Romo H. Goumans OSC menjadi Prefek Apostolik. OSC kemudian tetap mengirim personel, tetapi berada di bawah wewenang seorang pimpinan yang disebut Superior Regularis yang saat itu dijabat Romo A. Van Asseldonk OSC.
Dalam kurun waktu pendudukan Jepang, semua imam OSC dimasukkan ke kamp konsentrasi. Hanya satu orang yang masih bisa berkarya, yaitu Romo H. Reichert OSC, imam Indo yang berasal dari paroki Katedral. Dialah ke sana ke mari mengurus wilayah OSC yang ditinggalkan para gembalanya. Sesudah perang, OSC masih membantu wilayah ini. Pada 1941, wilayah tersebut berubah status menjadi Vikariat Apostolik, dan pada 1961 menjadi Keuskupan Bandung.
Sejak awal kedatangannya, OSC tidak memiliki sekolah seperti para OSC di Eropa. Mereka hanya bekerja membantu misi/ keuskupan seperti di Yayasan Salib Suci dan Universitas Katolik Parahyangan. Mereka juga berkarya dalam bidang kategorial dan sebagai pastor di paroki. Tidak heran, kalau orang zaman dahulu “Ingat Bandung tentu akan ingat OSC”.
Para imam OSC lebih dikenal sebagai pastor daripada pater kebanyakan berkarya di paroki karena tuntutan situasi. Sejak awal hal ini juga menjadi “alarm” bagi OSC. Dalam dua kunjungan berbeda, Magister General Mgr Wilhelmus van Dinter OSC mengingatkan, agar elemen-elemen hidup membiara dan hidup bersama tetap dipelihara.
Pada akhir tahun 1980-an, OSC diminta untuk melayani di wilayah lain seperti: di Keuskupan Agung Jakarta (Karawaci dan Bumi Serpong Damai), Keuskupan Agung Medan (Tanjung Selamat-Medan dan Tebing Tinggi), dan Keuskupan Sibolga (Sirombu-Pulau Nias). OSC juga diminta membantu Keuskupan Agats bersama dengan para imam OSC yang berasal dari Amerika Serikat.
Menata Hidup Bersama
Soal identitas rupanya menjadi persoalan dalam Kapitel General 2003 di Brazil. Di Kapitel itu muncul istilah “komunitas normatif”. Istilah ini muncul kembali dalam Kapitel General 2009 yang diadakan di Rumah Retret Pratista, Cimahi, Jawa Barat. Tuntutan situasi di Indonesia tentunya meminta ordo untuk menginterpretasi makna “komunitas normatif”. Pada awalnya, ordo memang didirikan sebagai priorat-priorat yang berdiri sendiri, seperti Biara Benediktin. Namun, cara hidup federasi seperti itu dianggap kembali ke masa lalu tanpa melihat situasi yang ada. Maka, “komunitas normatif” lebih ditafsirkan sebagai komunitas dengan elemen hidup bersama, perayaan liturgi komunitas yang terbuka untuk umum dan karya apostolat. Penekanan pada elemen ini dikuatkan oleh Regula St Agustinus yang menjadi pegangan umum OSC. Regula ini menekankan hidup bersama tanpa melupakan karya apostolat. OSC menyebutnya vita mixta.
Kapitel General 2015 kembali diadakan di Rumah Retret Pratista, Minggu-Sabtu, 7/6-4/7. Tema Kapitel ini adalah “Sentinels of the Dawn Fashioning Evangelical Community” (Para Penjaga Fajar Menata Komunitas Injili). Ada dua motif besar di balik tema ini: Pertama, OSC ingin mengambil inspirasi dari Konstitusi, dan kedua, mengambil inspirasi dari Mzm. 130:6, Yes 21:11-12. Menurut Konstitusi 2.2, Komunitas Krosier berakar pada Salib Kristus, simbol penyerahan diri kepada Bapa dan sesama sehabis-habisnya. Lalu, Mazmur dan Kitab Yesaya memberikan inspirasi untuk menekankan aspek kenabian. Krosier generasi berikutnya harus berjalan sebagai nabi serta meneruskan warisan spiritual ordo.
Bergerak ke Selatan
Provinsi Sang Kristus Indonesia sekarang memiliki 110 anggota yang sudah mengucap kaul kekal dan sekitar 30 frater yang menjalani masa novisiat sampai skolastikat. OSC Kongo, juga memiliki anggota yang cukup banyak yaitu 93 orang. Sedangkan anggota di Eropa berjumlah sekitar 60-an, Amerika Serikat sekitar 50-an, dan Brazil berjumlah enam orang. Karena itu, kalau dilihat dari jumlah, OSC bergerak ke wilayah “Selatan”.
Dalam Kapitel yang dihadiri para delegasi dari Amerika Serikat, Eropa, Brazil, Kongo dan Indonesia ini, terpilihlah Mgr Laurentius Tarpin OSC sebagai Magister General. Dia akan dibantu oleh Romo Yohanes Berchmans Rosaryanto OSC (Indonesia), Romo Pierre-Paul Walraet OSC (Belgia) dan Romo Henri Paluku Muhumira OSC (Kongo) sebagai Konselor General.
Dalam upacara resmi, Magister General OSC memakai mitra, membawa tongkat, dan menggunakan mozetta ungu dengan salib di dada. Atribut yang mirip uskup ini dipakai oleh Magister General OSC sejak Mgr Augustinus Nerius OSC (1619-1648). Menurut buku “750 Years of the Crosiers” yang disusun Romo Roger Janssen OSC, dituliskan bahwa pada 1630, Mgr Augustinus Nerius OSC menerima pontificalia atau kehormatan dengan hak-hak atas liturgi yang khusus. Mulai sejak itu, pemimpin OSC memakai mozetta dan menyandang gelar “monsigneur”.
Magister General OSC juga diakui sebagai Superior Maior dari ordo yang exempt. Artinya ia bertanggung jawab kepada Paus. Ia memiliki kewenangan untuk pentahbisan rendah yang sekarang sudah tak ada lagi, seperti subdiakon, lektor, dan akolit. Namun, Magister General OSC tidak diperbolehkan melaksanakan pentahbisan diakon dan imam. Yang disebut terakhir ini menjadi wewenang uskup.
Leonardus Samosir OSC
Imam/ Dosen Teologi Universitas Katolik Parahyangan, Bandung