HIDUPKATOLIK.com – Apakah Dewan Paroki dan seksi-seksinya harus mengidentifikasi penyebab kerusakan lingkungan? Tak perlu, karena banyak ahli telah melakukannya secara ilmiah. Apakah umat Paroki harus mengumpulkan botol-botol bekas air minum dalam kemasan, membersihkan selokan, menanam pohon, dan lain lain? Pekerjaan ini dilakukan juga oleh banyak organisasi kemasyarakatan dengan cara yang canggih, berkelanjutan, dan terukur. Apakah pastor paroki bersama dengan Dewan Paroki ketika rapat harus membawa sendiri tumbler (botol minuman) dari rumah, untuk memberi contoh pelestarian lingkungan hidup? Contoh ini boleh jadi hanya menjadi drama sejenak, berpuas diri, tetapi belum tentu menyentuh hati pengusaha kemasan botol plastik.
Tentu saja, patut dipuji usaha setiap orang dan komunitas-komunitas tertentu untuk menghindari penggunaan plastik dan kertas, menggunakan air secukupnya, memilah sampah, menggunakan transportasi umum ketimbang transportasi pribadi, hemat energi, dan lain lain. Semua usaha itu dilakukan juga oleh banyak orang dalam masyarakat pada umumnya. Lalu apa sumbangan khas umat paroki? Paus Fransiskus menegaskan, “Bersama-sama dengan pentingnya pelbagai gerakan kecil sehari-hari, cinta kasih sosial mendorong kita untuk merancang strategi besar yang secara efektif dapat menghentikan perusakan lingkungan hidup dan mendorong budaya perlindungan yang meresapi seluruh masyarakat. Ketika kita mengenali panggilan Allah untuk bertindak bersama-sama dengan orang lain dalam dinamika sosial ini, hendaknya kita ingat bahwa itupun merupakan bagian dari spiritualitas kita, merupakan pelaksanaan belas kasih dan bahwa dengan cara ini kita dimatangkan dan dikuduskan” (Laudato Si’, Art. 231).
Jelaslah, sumbangan khas umat Paroki adalah menumbuhkan dan meningkatkan spiritualitas Kristiani. Dalam hal ini membina keutamaan ugahari, dengan inspirasi Kitab Suci, Ajaran Sosial Gereja, tradisi, dan moralitas Kristiani. Kepada umat dihidupkan dan disegarkan kembali spiritualitas yang menggerakkan St Fransiskus Asisi, semangat yang menghidupi St Teresia dari Lisieux, St Yohanes dari Salib, dan yang utama adalah cara hidup dan hidup Yesus sendiri.
Yesus mengajak kita untuk melihat bunga bakung di ladang dan burung-burung di langit dengan penuh kasih (Mrk. 10:21). Yesus memberi contoh tentang kesederhanaan hidup, kemampuan untuk bersukacita dan berbahagia dengan hal-hal yang sedikit. Kebahagiaan tidak ditentukan oleh banyaknya harta kekayaan dengan sikap konsumtif. Justru dengan materi kebutuhan seadanya, kita mampu menemukan kebahagiaan dalam perjumpaan persaudaraan, dalam pelayanan, dalam pengembangan bakat, dalam musik dan seni, dalam kontak dengan alam dan terlebih perjumpaan dengan Tuhan dalam doa. Sikap konsumtif
justru membius manusia menjadi egois dan puas dengan diri sendiri.
Bersama warga masyarakat lainnya, umat paroki merancang dan melaksanakan strategi dan teknis pelestarian lingkungan. Namun, sumbangan umat Kristiani adalah spiritualitas dan motivasi Kristiani. Terlalu kecil dan sederhana mengumpulkan botol-botol plastik bekas minuman untuk penataan kandang Natal. Untuk apa? Lebih baik diadakan novena, retret, rekoleksi, pelatihan, pembinaan, yang semuanya secara khusus tentang ugahari, tentang hidup sederhana selaras semangat dan corak hidup St Fransiskus Asisi.
Tidak perlu terlalu banyak ceramah informatif. Yang lebih penting adalah latihan dalam komunitas terbatas. Hidup sederhana dibina dalam keluarga, di Sekolah Katolik, dalam paguyuban kaum muda. Pastoran dan rumah-rumah biara harus menampilkan kehidupan sederhana. Kita tidak boleh tenggelam dalam urusan teknis-praktis saja tentang lingkungan hidup (bdk. Laudato Si’, Art. 224).
Perlu pendidikan dan pembinaan secara berkesinambungan tentang kepekaan akan keindahan. Allah sendiri adalah keindahan yang sesungguhnya. Akhirnya setiap orang dapat mengagumi keindahan alam semesta dan manusia yang tak dapat dipisahkan dengan Allah. Alam semesta dan manusia berkembang sepenuhnya dalam Allah. Dalam Madah Sang Surya, St Fransiskus Asisi yang juga dikutip dalam Laudato Si’, menyebut semesta alam sebagai saudara dan saudari: “Terpujilah Engkau Tuhan melalui semua ciptaan-Mu”.
Jacobus Tarigan