HIDUPKATOLIK.com – Wilayah Toli di Kabupaten Tolikara, Papua, kemungkinan besar tidak pernah didengar sebagian besar masyarakat Indonesia. Demikian pula, sebagian besar umat kristiani di Indonesia bisa jadi mengira Tolikara sebagai nama kawasan di Afrika atau nama pulau di Lautan Pasifik.
Namun demikian, sejak hari Lebaran yang lalu, nama wilayah itu tiba-tiba mendunia. Melalui media sosial, orang ramai membicarakan. Pasalnya pada hari-hari itu ramai diberitakan bentrok antarpenganut agama disertai pembakaran musala, bahkan pembunuhan orang. Pemicunya adalah larangan bagi elemen masyarakat Muslim setempat untuk mengadakan Salat Idul Fitri di lapangan terbuka dengan mempergunakan pengeras suara.
Apa yang sebenarnya terjadi dan bagaimana kronologinya, nampak tak penting benar. Yang penting untuk disimak adalah tiga hal berikut ini. Pertama,sebagai wilayah dengan mayoritas umat Kristen, gereja dan masyarakat setempat nampak tidak memberi ruang kondusif bagi penganut Islam. Kedua, ketaksenangan diperlihatkan secara terbuka, dekat dengan kekerasan, dan mengarah kepada pelanggaran hak asasi manusia. Ketiga, terkait ketaksenangan yang terbuka itu lalu bisa berimplikasi meluas, bahkan menasional.
Tiga hal itu yang menurut penulis, merugikan kelompok umat kristiani pada umumnya, termasuk umat Katolik, saat berdinamika mencari bentuk hubungan antarumat beragama di negeri ini. Jika salah satu bentuk dinamika itu terkait pembangunan rumah ibadah, maka mau tak mau, akan terdampak setelah hari-hari ini. Bentuknya bisa berupa ijin yang tak kunjung dipermudah atau yang lain. Mari kita telaah satu per satu!
Mayoritas penduduk Tolikara adalah kristiani. Situasi kondusif bagi kelompok minoritas tidak tercipta di tempat ini, yang pada dasarnya sama dengan situasi di beberapa tempat di mana umat Islam menjadi mayoritas. Masalahnya, kejadian di Tolikara kemudian dilihat sebagai upaya balas-membalas.
Jika masyarakat Muslim di berbagai tempat secara serempak menciptakan kondisi yang tidak kondusif, maka kerugian akan dialami jauh lebih banyak umat kristiani. Selanjutnya, pola hubungan persuasif dan kekeluargaan yang selalu dibangun umat kristiani guna meredam posisi minoritas, menjadi tidak ada gunanya.
Selanjutnya, seiring dengan penciptaan situasi tak kondusif itu, ketidaksenangan terhadap umat Islam di Tolikara ditunjukkan secara terbuka dan bernuansa kekerasan. Ini juga merugikan bagi hubungan Islam dengan Kristen secara keseluruhan. Kerugian lain adalah soal citra yang senantiasa dibangun umat kristiani sebagai yang penuh kasih dan cinta damai. Ternyata, melalui insiden ini, kita dianggap sama saja dengan orang-orang lain.
Kerugian ketiga terkait eskalasi. Walau insiden ini terjadi di suatu ibukota kabupaten yang hampir tak terdengar, tapi media sosial membantu mendekatkan, sehingga seolah-olah terjadi di sebelah rumah kita. Media sosial dikenal buruk dari segi pemberitaan secara objektif dan mendetail. Sebaliknya, mudah muncul informasi yang bias, hoax, dan berujung meningkatkan emosi dan antipati. Untunglah, kasus ini terjadi saat orang sedang berhari raya. Jika tidak, tentu akan lebih ramai. Tiga hal yang terlihat di Tolikara, dan tiga kerugian besar yang ditimbulkan, perlu disimak serius dan dijadikan pelajaran bagi siapapun, termasuk umat Katolik.
Pelajaran pertama, jangan melakukan aksi balas membalas atau langkah menang-menangan. Selain karena tidak dibenarkan secara Biblis, secara strategis juga merugikan diri sendiri. Pelajaran kedua, apapun yang dilakukan di tingkat lokal, harus diingat bahwa akan berdampak ke tingkat nasional. Artinya, orang yang tak tahu apa-apa akan mengalami dampak dari ketegangan yang terjadi di suatu daerah. Pelajaran ketiga, selalu waspada dengan media sosial yang amat bisa membuat api semakin membesar, padahal faktanya jauh dari kebenaran.
Adrianus Meliala