HIDUPKATOLIK.com – Satu-satunya perempuan di Parlemen Austria ini gigih memperjuangkan kesejahteraan dan perlindungan kaum buruh dan anak-anak serta tegas melawan aborsi. Ia menjadi Katolik setelah mengalami mukjizat serta kagum akan kekuatan doa.
Beberapa hari setelah tiba di Vienna, Austria hati Hildegard terasa pilu. Ia kerap menyaksikan buruh pabrik –terutama perempuan dan anak-anak– bekerja 12-15 jam setiap hari tanpa upah layak. Demi menambal kebutuhan mereka ada yang melacurkan diri dan meninggalkan anak-anak di rumah.
Kaum buruh itu tinggal di permukiman padat dan kumuh. Miris, banyak di antara mereka terserang aneka penyakit. Pola pembinaan dan pendidikan anak di lingkungan itu juga terseok-seok.
Realitas itu menggugah nurani Hildegard. Ia bernadar memperbaiki kondisi kaum buruh. Ia memulai dengan menyerukan pada para majikan untuk mengupah pembantu rumah tangga (PRT) secara layak. “Seringkali, yang berkecukupan menuntut agar penjaga toko miliknya bisa menjual barang dengan harga mahal. Hal itu justru kian memiskinkan buruh rumah tangga,” tandas nya saat menyampaikan orasi di Sidang Tahunan Liga Perempuan Katolik tahun 1912.
Pejuang Kemanusiaan
Perempuan lulusan Fakultas Ekonomi dan Kebijakan Publik dari salah satu universitas di Berlin, Jerman ini membentuk Asosiasi Asisten Rumah Tangga Kristiani (Verein Christlicher Heimarbeiterinnen, VCH) pada 1912. Lewat organisasi ini, Hildegard bersama sejumlah rekannya memperjuangkan upah yang layak, jaminan sosial, bantuan hukum, dan pendidikan bagi PRT.
Banyak orang simpatik dengan kehadiran dan misi organisasi itu, tapi tidak sedikit pula yang mencibir keberadaan gerakan itu. Meski demikian, Hildegard tetap tegar menghadapi berbagai kritik dan tantangan. Alih-alih bungkam, perempuan kelahiran Görlitz, Jerman, 30 Januari 1883 ini justru kian lantang memperjuangkan martabat dan kesejahteraan buruh.
VCH juga menaruh perhatian sangat serius terhadap persoalan pekerja anak. Berdasarkan hasil observasi VCH, satu dari tiga anak di Vienna adalah korban perbudakan. Jumlah kematian mereka juga sangat signifikan. Sementara itu, anak-anak yang mampu bertahan hidup terpaksa menanggung gangguan mental sepanjang hidup.
Hildegard menganggap, anak-anak yang bekerja selama 14 jam perhari, baik di pabrik maupun di rumah, sangat tak manusiawi. Ia mendesak pihak berwajib agar memenjarakan para pelaku eksploitasi dan perbudakan anak. Ia menuntut agar sistem kerja sadis seperti itu segera dihapuskan.
Selain itu, Hildegard gencar menyebarkan pamflet berisi tuntutan perbaikan kehidupan anak. Demi menopang bangunan
argumentasinya, ia bersandar pada ajaran Paus Leo XIII (1810-1903), Ensiklik Rerum Novarum(1891). Dalam dokumen itu, Bapa Suci mengajak agar setiap orang bertanggung jawab untuk menciptakan keadilan sosial.
Tahun 1918, Hildegard lagi-lagi mendirikan sebuah organisasi, Asosiasi Pembantu Sosial (Soziale Hilfe). Organisasi ini menaungi seluruh perserikatan buruh perempuan di Austria. Selain itu, ia aktif membangun jaringan dan mendistribusikan makanan untuk masyarakat yang menderita kelaparan di sekitar pegunungan Ore, daerah perbatasan Jerman dengan Republik Cekoslovakia.
Berkat kegigihannya memperjuangkan hak dan martabat kaum buruh serta misi kemanusiaan, Hildegard terpilih mewakili Partai Kristen Sosialis sebagai anggota Parlemen Austria setelah negara itu merdeka tahun 1918. Di parlemen, dia satu-satunya yang bersuara lantang memperjuangkan nasib buruh, perempuan dan anak-anak.
Meski berada dalam lingkaran pemerintahan, perjuangan Hildegrad dalam membela hak buruh dan anak terus berlanjut. Ia merancang sejumlah un dangundang untuk kesejahteraan buruh dan menghapus eksploitasi anak. Gagasannya mengenai jaminan sosial keselamatan kerja dan kesehatan buruh serta bantuan rumah untuk para pekerja akhirnya disah kan menjadi undang-undang.
Hildegard juga mendirikan Tarekat Suster Karitas Sosialis pada Oktober 1919. Tarekat ini berfokus pada pastoral bagi ibu dan anak, kaum miskin, tuna wisma, serta bagi pengidap Alzheimer.
Titik Balik
Kegetolan perjuangan Hildegard punya latar unik. Suatu hari, Hildegard kecil dari kamar tidurnya melihat beberapa perempuan berpakaian putih berkumpul pudan mendaraskan puji-pujian. Gadis cilik yang lahir di tengah keluarga Yahudi itu heran dan bertanya pada ibunya, Berta.
“Bu, siapakah mereka? Dan apa yang mereka lakukan?”
“Mereka adalah suster. Mereka sedang berdoa,” jawab sang ibu.
“Berdoa? Mereka berdoa pada siapa? Kenapa mereka berdoa?” imbuhnya.
“Berdoa kepada Tuhan,” jawab Berta seadanya.
“Seberapa baikkah Tuhan sehingga mereka harus berdoa pada-Nya?
Jika seperti itu, aku pun ingin berdoa pada Tuhan”, lanjut Hildegard.
Keinginannya untuk bisa berdoa pada Tuhan terjawab setelah 26 tahun kemudian. Sebelumnya ia adalah penganut Yudaisme, ia lebih condong hidup sebagai Agnos tik.
Pada 1907, Hildegard menikah dengan Alexander Burjan penganut Agnostik. Selang setahun, ia hendak melahirkan anak pertama di RS Katolik St Hedwig, Berlin. Di sanalah, titik balik pergulatan imannya terjadi.
Dokter memvonis Hildegard sulit melahirkan anak akibat penyakit kolik ginjal. Jika dipaksakan, proses persalinan bakal mengancam keselamatan nyawa sang ibu. Dokter menyarankan agar ia menggugurkan kandungannya. Hildegard menolak keras saran dokter. “Aborsi adalah pembunuhan. Jika saya mati, itu sudah menjadi konsekuensi sebagai seorang ibu. Tapi anakku harus tetap hidup!” tandasnya.
Operasi persalinan ternyata berjalan mulus. Hildegard dan buah hatinya, Elisabeth selamat. Namun, karena penyakit yang ia derita, Hildegard harus diopname selama tujuh bulan dan sempat menjalani beberapa kali operasi. Dalam salah satu operasi, nyawanya terancam. Namun, ia berhasil melewati sakratul maut dan selamat. Meski begitu, semua upaya medis tak berhasil menghilangkan penyakitnya.
Selama berada di rumah sakit, Hildegard merefleksikan pengalaman hidupnya. Ia kagum pada semangat devosi dan pelayanan para suster Tarekat St Carolus Borromeus (CB). Momen ini membuatnya tertarik menjadi Katolik. Pada 11 Agustus 1909, ia dibaptis. Setahun kemudian, sang suami mengikuti jejaknya. “Dalam Gereja Katolik, saya mengalami semua mukjizat ini. Dan ketika melihat para suster, saya merasakan kekuatan karunia”, ungkapnya.
Mencium Salib
Pada Pentakosta 1933, Hildegard terserang radang ginjal kronis dan berbagai penyakit komplikasi lain. Ia merasa ajalnya segera tiba. Ia sangat tenang menghadapi cobaan itu. Para dokter pun mengakui hal itu. Menurut dokter, dari semua pasien, baru kali ini mereka melihat pasien yang tak takut menghadapi sang maut.
Akhirnya, 11 Juni 1933, Hildegard kembali mengalami sakratul maut. Ia berterima kasih pada suaminya yang telah setia menemani sepanjang hidup dan membantu semua karyanya. “Betapa indah bisa beristirahat di dalam Tuhan. Tuhan, buatlah semua orang bisa saling mencintai agar Engkau pun mencintai mereka. Dan penuhi lah mereka dengan cinta-Mu”, ucapnya lirih. Ia lalu mencium salib dan meng hembuskan nafas terakhir.
Selang 74 tahun, Paus Benediktus XVI merestui dekrit keutamaan hidup dan teladan iman Hildegard. Ia dibeatifikasi pada 29 Januari 2012 dalam Perayaan ekaristi di Katedral St Stephanus Vienna, Austria, yang dipimpin Prefek Kongregasi Penggelaran Kudus, Kardinal Angelo Amato SDB dan didampingi Uskup Agung Vienna, Kardinal Franz König. Gereja memperingatinya setiap 12 Juni.
Christoporus Marimin/Yanuari Marwanto