HIDUPKATOLIK.com – Seorang umat Katolik selama 20 tahun beribadah di gereja lain. Saat ini, ia sama sekali tidak bisa ke gereja, karena terserang stroke. Apakah ia boleh menerima Sakramen Tobat, Sakramen Mahakudus, dan Sakramen Pengurapan Orang Sakit?
Agustinus, Jakarta
Pertama, menurut Hukum Gereja Katolik, seorang Katolik yang murtad dari imannya terkena hukuman ekskomunikasi otomatis (Lat: latae sententiae), sehingga dianggap berada di luar Gereja (KHK Kan 1364). Hukuman ekskomunikasi ini tidak memiliki jangka waktu tertentu. Hukuman ini bisa dihapus jika yang bersangkutan mau bertobat, yaitu menerima Sakramen Rekonsiliasi atau Tobat. Sebelum menerima absolusi, ada doa khusus yang diucapkan imam untuk melepaskan orang itu dari hukuman ekskomunikasi. Sesudah itu, yang bersangkutan harus mengucapkan kembali doa Sahadat Gereja Katolik di hadapan imam dan komunitas paroki atau lingkungan. Kemudian, yang bersangkutan bisa diterima kembali secara resmi oleh paroki atau lingkungan. Sesudah semua proses ini, sebagai anggota Gereja, dia boleh menerima sakramen-sakramen lain. Inilah norma umum dalam Hukum Gereja Katolik.
Kedua, secara pastoral proses penerimaan kembali seorang yang pernah murtad perlu didahului dengan pemeriksaan kesungguhan motivasi berbaliknya orang tersebut ke dalam Gereja Katolik, dan bukan hanya “memanfaatkan” secara egois sarana-sarana rohani, karena situasi sakit. Di samping itu, sangat perlu dilakukan pemeriksaan kemurnian imannya kepada ajaran Gereja Katolik disertai pendidikan iman. Sesudah sekian lama berada di luar Gereja Katolik dan mendapatkan pengajaran iman yang lain, apakah yang bersangkutan masih mengetahui ajaran iman Katolik yang benar? Apakah pengetahuan iman itu sungguh dipercayai? Dibutuhkan kesatuan iman dalam Gereja dan iman yang benar tentang sakramen-sakramen, agar pelayanan sakramental yang diberikan sungguh membawa buah-buah rohani seperti yang diajarkan oleh Gereja Katolik.
Ketiga, kembalinya si anak yang hilang adalah peristiwa yang menyangkut seluruh Gereja. Kerahiman Allah yang ditunjukkan kepada si anak hilang tidak melemahkan keteguhan iman anggota-anggota lain, sehingga tidak timbul kesan “easy come easy go”. Di sinilah pertimbangan dan kebijakan praktis pastor paroki sangat menentukan.
Di manakah Yusuf, suami Maria ketika Yesus menjalani saat sengsara hingga disalibkan? Karena keberadaan Yusuf saat kejadian itu tidak saya temukan dalam Injil. Jujur hal ini sedikit mengusik iman saya.
James Banjarnahor, Tangerang
Pertama, penampilan terakhir Yusuf dalam Kitab Suci adalah saat peristiwa Yesus berumur 12 tahun dalam Bait Allah di Yerusalem (Luk 2:41-52). Sesudah itu, tidak ada penampilan Yusuf sama sekali. Menurut tradisi, Yusuf meninggal dunia ketika Yesus berumur belasan tahun. Yusuf wafat didampingi Yesus dan Maria. Maka, kepada St Yusuf dimintakan perantaraannya agar bisa meninggal dunia dengan baik.
Kedua, indikasi kuat bahwa Yusuf sudah lama meninggal dunia bisa ditemukan pada Injil yang tertua, yaitu Markus, “Bukankah Ia ini tukang kayu, anak Maria,…” (6:3). Markus menyebut Yesus langsung sebagai tukang kayu, bukan “anak tukang kayu” seperti pada Mat 13:55. Ini menunjukkan, Yusuf, bapak asuh Yesus, sudah lama meninggal dunia dan lalu Yesus mengambil alih pekerjaan bapak-Nya sebagai tukang kayu. Setelah belasan tahun, maka ketika Yesus mengajar di Nazaret, Dia dikenal sebagai Si Tukang Kayu, bukan lagi anak tukang kayu.
Menarik juga, Markus maupun Matius, tidak menyebut Yesus sebagai anak Yusuf, tetapi anak Maria. Dalam budaya Yahudi yang patriarkal, seorang anak disebut sebagai keturunan ayah, bukan ibunya. Hal ini sekali lagi menunjukkan bahwa Yusuf sudah cukup lama meninggal dunia, sehingga Yesus lebih dikenal sebagai anak Maria, bukan anak Yusuf.
Petrus Maria Handoko CM