HIDUPKATOLIK.com – Gereja punya wadah bagi insan pendidikan Katolik, Sentra Belajar Guru (SBG). Mereka bisa berkumpul, berbagi, memupuk iman dan wawasan. SBG berusaha mengangkat hidup para pahlawan tanpa tanda jasa lebih layak.
Mentari sudah sedikit condong ke arah barat. Menurut Lucia Christyanti, jam pelajaran di atas pukul 12.00 merupakan saat-saat rawan. Pada saat itu, konsentrasi dan semangat siswa mulai kendor. Bahkan, tak jarang ada murid yang mengantuk dan tidur di kelas.
Guru Biologi SMA Negeri 6 Bekasi ini memaklumi situasi itu. Saat ditemui HIDUP, Jumat, 10/7, ia membeberkan, pelajaran di sekolahnya berlangsung pukul 07.00-16.00, siswa berangkat dari rumah sekitar pukul 06.00. Artinya, mereka bangun pukul 05.00. Pulang sekolah, ada siswa yang melanjutkan bimbingan belajar (bimbel) atau mengerjakan tugas sampai larut malam. Besoknya, mereka harus bangun pagi kembali.
Meski demikian, guru yang beberapa kali mengharumkan nama sekolah di bidang lingkungan hidup mulai dari tingkat Kota Bekasi hingga nasional ini tak mau menyerah dengan keadaan. Alumna Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia ini menerapkan berbagai metode pembelajaran, antara lain memutar film motivasi, diskusi, dan praktik di laboratorium. Syukur, usahanya berbuah manis. Anak didiknya kembali bersemangat dan mampu mengikuti pelajaran dengan baik.
Lucia mengakui, film yang digunakan di kelas ia peroleh saat ikut kegiatan SBG. Beberapa kali ikut kegiatan SBG, ia disadarkan kembali perannya sebagai pendidik. “Guru jangan hanya mengejar materi pelajaran. Dengarkan dan hargai murid, sebab tak jarang mereka datang ke sekolah membawa kompleksitas masalah, baik di rumah maupun lingkungan,” ungkap peraih predikat Guru Teladan se-Kota Bekasi ini.
Soal Mentalitas
Tantangan berbeda dialami Intan Hermina Yuliana Siagian. Satu-satunya guru Katolik di SD Negeri Aren Jaya 18, Perumnas 3, Bekasi Timur ini justru mengalami problematika dengan rekan guru di sekolahnya. Ia mengisahkan, ada seorang guru honorer yang selalu datang terlambat. Ulah guru ini tak hanya merugikan siswa di kelasnya, tapi juga siswa dan guru kelas lain. Meski demikian Kepala Sekolah belum menindak.
Tak hanya itu, ia miris dengan etos kerja guru di sekolahnya. Misal dalam pembuatan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), banyak yang hanya mengganti tahun ajaran. “Mereka mengubah tahun pelajaran dengan typex, lalu menulis kembali dengan pena,” katanya.
Guru-guru di sana juga memberikan pertanyaan yang sama persis ketika ulangan atau ujian dari tahun ke tahun. Ironisnya, guru-guru ini keberatan, bahkan menolak bila dirotasi ke kelas lain. Hal itu terjadi karena mereka sudah nyaman dan ingin santai. “Jangan kaget, budaya itu terjadi hampir di semua sekolah negeri. Jika demikian, mana mungkin mereka bisa berkembang?” kata alumna Bimbingan Konseling Universitas Negeri Jakarta ini.
Berada di tengah iklim pendidik yang tak kondusif, umat Paroki St Arnoldus Janssen Bekasi ini tak ingin larut. Bahan RPP ia ketik rapi dan diserahkan sebelum batas waktu pada Kepala Sekolah. Ia datang dan pulang mengajar tepat waktu, mempersiapkan dan me-review materi dan pengalaman mengajar. Ia selalu menitipkan tugas untuk siswanya pada guru lain saat ia berhalangan hadir di sekolah.
Tak pelak, sikapnya ini kerap menuai antipati dari beberapa rekannya. Menjadi guru adalah suatu panggilan. Saya malu seandainya terima gaji, tapi mengajarnya ecek-ecek,” katanya.
Stereotype negatif guru di sekolah negeri sudah kadung melekat di masyarakat. Intan sempat merasa dipandang sebelah mata oleh sejumlah guru sekolah swasta saat pertama kali ikut seminar SBG Dekanat Bekasi. Namun, pandangan itu tak mematahkan semangatnya terlibat di paguyuban ini. Ia aktif bertanya, menjawab, dan berbagi kisah dengan para peserta. Keaktifannya selama kegiatan perlahan-lahan mengikis apriori rekan-rekannya terhadap guru negeri.
Ajakan Teman
Lucia dan Intan ikut SBG berkat ajakan teman. Dua guru ini ikut beberapa kegiatan SBG, seperti rekoleksi, seminar, dan workshop seputar dunia pendidikan. “Para pembicara sangat kompeten. Penyampaian materinya pun bagus dan mengena,” kata Lucia.
Intan beruntung bisa mendapat materi konkret sesuai bidang mengajar secara gratis. Ia tak bisa membayangkan berapa biaya yang harus di keluarkan jika ikut kegiatan serupa di luar SBG.
Lucia dan Intan sepakat, SBG memberikan sumbangan positif bagi guru Katolik di sekolah negeri maupun swasta. Selain mendapat materi dan tools mengajar, mereka membangun relasi dengan guru Katolik dari berbagai sekolah.
Sementara menurut anggota SBG Dekanat Barat II dan guru TK Damai, Jakarta Barat, Margaretha Tri Setyowati, wadah bagi insan pendidik Katolik belum ada selain SBG. Di SBG mereka bisa saling memperkaya ketrampilan sekaligus mengembangkan diri.
Kegiatan SBG tak hanya aplikatif dalam kegiatan belajar mengajar, tapi juga menunjang kebutuhan administrasi. Sertifikat yang diperoleh usai kegiatan SBG bisa menjadi portofolio kenaikan golongan bagi guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau sertifikasi bagi guru swasta. Saya pun terbantu memberikan penilaian obyektif bagi anak didik berdasarkan kemampuan mereka,” kata Intan.
Lucia, Intan, dan Setyowati beruntung. Memang tak semua kegiatan SBG bisa mereka ikuti .tergantung loading pekerjaan di sekolah dan keluarga. Misal, Lucia beberapa kali harus absen dari kegiatan SBG karena jadwal mengajarnya sampai Sabtu. Sementara Minggu ia gunakan beristirahat dan berkumpul dengan keluarga.
Lucia berharap di tahun ajaran baru jadwal kegiatan belajar mengajar di sekolahnya hanya sampai Jumat. Sehingga Sabtu atau Minggu ia bisa mengembangkan diri, bersosialisasi, dan meneguhkan panggilannya sebagai Insan Pendidikan Katolik.
Menjaring Guru Pria
Lucia berharap, SBG terus eksis, kian variatif dan inovatif dalam berbagi spirit dan informasi seputar pendidikan dan pendampingan siswa. Sementara Setyowati ingin agar SBG semakin menyadarkan para guru Katolik untuk mengembangkan diri dan jangan tenggelam dalam rutinitas.
Lain halnya Intan. Ia berharap SBG mampu menjaring lebih banyak guru pria Katolik. Mereka paling perlu dibantu sebab gaji guru kecil dan posisi mereka sebagai kepala keluarga. Jangan sampai mereka stress memikirkan kebutuhan keluarga dan membawa problem rumah tangga ke sekolah. Ia berharap, SBG mampu menguatkan iman mereka agar guru semakin baik mengajar dan tak melakukan kesalahan dalam mengajar. Soalnya ada beberapa kejadian negatif yang dilakukan guru kepada muridnya.
Yanuari Marwanto