HIDUPKATOLIK.com – Sebelum mengemban jabatan guru PNS dan setiap kali sebelum menjaga ujian nasional, bersama dengan rekan-rekan Kristen, saya diminta untuk mengucapkan janji. Apakah seharusnya sebagai orang Katolik saya mengucapkan sumpah seperti rekan-rekan guru yang beragama Islam? Bolehkah orang Katolik bersumpah?
Anastasia Yunani, Malang
Pertama, seringkali masyarakat kita belum bisa membedakan dan menganggap sama saja antara orang Kristen dan Katolik, antara ajaran Kristen dan ajaran Katolik. Sangat mungkin saudara-saudari kita yang Kristen juga lebih vokal menyuarakan ajaran mereka, yaitu bahwa orang Kristen tidak boleh bersumpah.
Ajaran Gereja Kristen ini dianggap berlaku sama juga untuk orang-orang Katolik. Karena itu orang Katolik diperlakukan sama dengan orang Kristen, yaitu hanya mengucapkan janji, bukan sumpah. Maka, sebaiknya orang-orang Katolik berani menyuarakan ajaran Gereja Katolik bahwa orang Katolik boleh melakukan sumpah sehingga masyarakat luas mengetahui ajaran Gereja Katolik yang resmi. Praktik janji guru (Katolik) sebaiknya diubah menjadi sumpah guru (Katolik).
Kedua, praktik Gereja Katolik yang memperbolehkan anggotanya bersumpah ini didasarkan pada ajaran Yesus. Yesus tidak melarang murid-murid-Nya bersumpah. Larangan bersumpah dari Gereja-gereja Kristen didasarkan pada teks Matius 5:34-37. Sebenarnya, di sini Yesus mengambil bersumpah hanya sebagai contoh dari ajaran yang hendak disampaikan, yaitu agar ya kita berarti ya, dan tidak kita berarti tidak (Mat 5:37).
Yang dilarang Yesus ialah berkata berputar-putar sehingga untuk memperoleh kebenaran orang harus bersumpah. Rasul Yakobus mengulangi ajaran Yesus tentang hal ini (Yak 5:12). Contoh-contoh pada Mat 23:16-22 menunjukkan bahwa Yesus tidak melarang murid-murid-Nya untuk bersumpah tetapi meminta ketulusan dalam kata-kata kita. Seandainya Yesus melarang bersumpah, pasti Dia sudah mengatakannya secara eksplisit.
Ketiga, dalam Injil kita bisa menunjukkan bukti bahwa Yesus juga bersumpah, yaitu memanggil Allah sebagai saksi-Nya. Memang sama sekali tidak digunakan kata “sumpah”. Sumpah ini diberikan bukan karena Yesus tidak bisa dipercaya, tetapi karena pihak lain yang tidak mau percaya. Yesus menempatkan Allah Bapa-Nya sebagai saksi, ketika Dia menunjukkan jati diri dan membela pekerjaan-Nya. “Pekerjaan itu juga yang Kukerjakan sekarang, dan itulah yang memberi kesaksian tentang Aku, bahwa Bapa yang mengutus Aku. Bapa yang mengutus Aku, Dialah yang bersaksi tentang Aku” (Yoh 5:36-37). Yesus menyebut Allah Bapa-Nya sebagai saksi, “Akulah yang bersaksi tentang diri-Ku sendiri, dan juga Bapa yang mengutus Aku, bersaksi tentang Aku” (Yoh 8:18).
Keempat, Rasul Paulus juga kerapkali menghadirkan Allah sebagai saksi untuk menyatakan suatu kebenaran. “Jadi, adakah aku bertindak serampangan dalam merencanakan hal ini? Atau adakah aku membuat rencanaku itu menurut keinginanku sendiri, sehingga padaku serentak terdapat ‘ya’ dan ‘tidak’? Demi Allah yang setia, janji kami kepada kamu bukanlah serentak ‘ya’ dan ‘tidak’” (2 Kor 1:17-18). Sekali lagi dalam 2 Kor 1:23, Paulus menghadirkan Allah sebagai saksinya: “Tetapi aku memanggil Allah sebagai saksiku – Ia mengenal aku – bahwa sebabnya aku tidak datang ke Korintus ialah untuk menyayangkan kamu”.
Paulus adalah orang tulus dan tidak berbelit-belit, namun demikian Paulus memanggil Allah sebagai saksi untuk menyatakan kebenaran yang dia katakan. Sekali lagi, 1 Tes 2:5, “Karena kami tidak pernah bermulut manis – hal itu kamu ketahui – dan tidak pernah mempunyai maksud loba yang tersembunyi – Allah adalah saksi …” Paulus memanggil Allah sebagai saksi tentang hal-hal tersembunyi yang tidak langsung bisa diketahui oleh manusia biasa, tetapi bagi Allah tidak ada hal yang tersembunyi.
Petrus Maria Handoko CM